Suara.com - Tentara Nasional Angkatan Darat atau TNI AD membuka rekrutmen 24 ribu calon tamtama pada 2025. Mereka direkrut bukan untuk tujuan perang atau pertahanan negara, melainkan untuk mengisi struktur baru Batalyon Teritorial Pembangunan.
Batalyon tersebut sedianya akan mengurusi sejumlah hal mulai dari ketahanan pangan hingga kesehatan.
Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Wahyu Yudhayana telah menjelaskan bahwa Batalyon Teritorial Pembangunan akan tersebar di ratusan kabupaten/kota seluruh Indonesia. Nantinya, setiap batalyon akan berdiri di atas lahan seluas 30 hektare.
Masih menurutnya, Batalyon Teritorial Pembangunan terdiri dari empat kompi, yakni pertanian yang akan mengurusi ketahanan pangan; peternakan yang akan mendukung ketersediaan protein hewani; medis untuk mengurusi kesehatan masyarakat; dan zeni untuk mengurusi pembangunan infrastruktur, utamanya di wilayah tertinggal dan rawan bencana.
Dalam prosesnya, rencana tersebut tak terlepas dari kritikan. Sebab pembentukan batalyon tersebut dinilai sudah keluar dari tugas dan fungsi TNI yang seharusnya fokus terhadap pertahanan negara.
Pengamat militer, sekaligus Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf menegaskan bahwa TNI direkrut kemudian dilatih dan dididik untuk persiapan perang, bukan justru mengurusi pertanian.
"Dengan demikian, kebijakan perekrutan itu sudah menyalahi tugas utama TNI sebagai alat pertahanan negara sebagaimana diatur dalam konstitusi dan Undang-Undang TNI itu sendiri," kata Al kepada Suara.com, Selasa 10 Juni 2025.
Dia menjelaskan, tugas baru yang dikhususkan untuk mengurusi wilayah sipil seperti ketahanan pangan, akan merusak profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara.
Bahkan, secara tidak langsung akan mengancam kedaulatan negara. Sebab, TNI dikhawatirkan akan lebih sibuk mengurusi tugas non-pertahanan negaranya dibanding sibuk berlatih perang.
Al mengingatkan, ketimbang mengurus bidang yang bukan tugasnya, TNI harusnya meningkatkan kemampuan dan keterampilan pertahanannya dengan berkaca dari situasi global saat ini.
Ia kemudian mengungkapkan bahwa situasi geopolitik dunia saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Beberapa konflik yang terjadi dalam skala internasional di Kawasan regional seperti ketegangan ekonomi antara China dengan Amerika, Perang Rusia-Ukraina, dan Perang Palestina-Israel menjadi contoh nyata.
Selain itu, Indonesia sendiri juga memiliki konflik perbatasan dengan sejumlah negara yang membutuhkan kekuatan pertahanan negara untuk menjaganya.
"Seperti konflik Laut Cina Selatan, sengketa perbatasan Indonesia harus jadi pelajaran bahwa kekuatan militer kita harus terus dilatih dan di persiapkan untuk kemungkinan terjadinya perang. Seharusnya tugas militer disana bukan mengurusi urusan pertanian," tegasnya.
Sementara itu, Co-founder Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) Dwi Sasongko saat mengkritisi revisi Undang-undang TNI pada Maret 2025 lalu, juga meyakini bahwa masih banyak yang harusnya diperkuat dalam konteks pertahanan negara, namun luput dari revisi itu.
Ia mencontohkan, di antaranya persoalan antariksa dan siber yang tidak diakomodasi secara signifikan dalam revisi UU TNI. Bahkan, dalam revisi UU TNI, siber hanya dimasukkan dalam Operasi Militer Selain Perang.
Padahal, Dwi menilai bahwa perang modern, siber telah menjadi bagian dari operasi militer. Lantaran itu, menurut pandangannya, TNI membutuhkan kerangka hukum untuk pembangunan kekuatan siber yang komprehensfi.
Terkait antariksa, Dwi mengemukakan, hal tersebut tidak termuat dalam revisi UU TNI. Padahal, dari sisi perkembangan perang modern menunjukkan pentingnya kemampuan ruang angkasa yang terkait dengan C5ISR (Pusat Komando, Kontrol, Komunikasi, Komputer, Siber, Intelijen, Pengawasan, dan Pengintaian).
Sementara di sisi lain, ia beranggapan bahwa pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan yang akan mengurusi pertanian hingga kesehatan masyarakat, dinilai berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan.
Seperti yang disampaikan, batalyon baru ini akan dibangun di ratusan kabupaten/kota. Sementera diketahui, di tingkat kabupaten/kota sudah memiliki dinas yang mengurusi berbagai hal itu, seperti dinas pertanian, dinas kesehatan hingga dinas pembangunan umum.
"Selain akan menimbulkan tumpang tindih, justru menimbulkan ketidakefisienan dalam pengelolaan sektor pertanian," ujar Al.
Sementara itu, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya, menilai rekrutmen 24 ribu calon tamtama yang bukan dipersiapkan untuk perang, sebagai bentuk kegagalan negara menjaga batas demokrasi yang tegas antara urusan sipil dan militer.
Padahal, menurut Dimas, UUD 1945 dan bahkan UU TNI telah menegaskan batas tugas dan fungsi TNI, yang secara jelas tidak memiliki kewenangan mengurusi pertanian, perkebunan, peternakan, dan pelayanan kesehatan.
"Hal ini tentu mencederai semangat Reformasi TNI yang menginginkan terbentuknya TNI yang profesional dan tidak lagi ikut-ikutan mengurusi urusan sipil," tegasnya.
Untuk itu Al dan KontraS yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar rencana TNI AD mendapatkan pengawasan dan evaluasi dari Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI.
"Karena telah menyalahi jati diri TNI itu sendiri sebagai kekuatan perang," tegas Al.
Terlibatnya TNI untuk mengurusi ketahanan pangan dan pertanian bukan suatu hal yang baru. Misalnya pada Januari lalu, TNI pernah menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) Ketahanan Pangan Tahun Anggaran 2025 yang digelar selama tiga hari di Yonif 315/Grd dan lahan Polbantan Kementerian Pertanian RI di Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Bimtek tersebut setidaknya diikuti 41 peserta, dengan rincian 15 Babinsa dari Matra Darat, 3 Babinpotmar dari Matra Laut, 3 Babinpotdirga dari Matra Udara, dan 20 perwakilan kelompok tani dari wilayah binaan.
Dalam bimtek tersebut diberikan pelatihan terkait penanaman padi unggulan menggunakan pendekatan inovatif 'Jajar Legowo Super Sinar Mentari'.
Selain itu, pada Agustus 2024 lalu, TNI AD juga membuka rekrutmen calon bintara ahli pertanian dan perkebunan. Tujuannya juga untuk mendukung program pemerintah dalam hal ketahanan pangan.
Saat itu TNI AD berhasil merekrut 269 calon Bintara yang memiliki berbagai latar belakang keahlian, 47 calon Bintara dengan keahlian di bidang pertanian, 28 di bidang perkebunan, 70 di bidang perikanan, dan 30 di bidang peternakan.
Empat keahlian itu disebut relevan untuk mendukung program ketahanan pangan yang sedang dijalankan pemerintah.
Rajiv mengatakan keterlibatan ini menunjukkan komitmen Polri dalam mendukung program pemerintah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
"Dan Alhamdulillah, bahwa dari sinergitas seluruh stakeholder yang ada, Indonesia saat ini mungkin berada di peringkat terbaik di ASEAN untuk ketahanan pangan..."
Gubernur DKI Jakarta soroti peran Dandim dalam menjaga stabilitas harga dan pasokan pangan nasional. Keterlibatan TNI, termasuk pendampingan petani, dinilai krusial.
Sejak awal, 28 Years Later tampil dengan gaya visual yang mencengangkan.
AI memiliki keterbatasan terkait aspek moral kemanusian, potensi bias dalam algoritma, serta kekhawatiran terhadap keamanan data dan privasi.
Vonis ini belum menunjukkan sikap keras terhadap korupsi di Indonesia.
Jadi sebenarnya Satgas Saber Pungli ini lahir dari kegagalan sistemik dalam penanganan korupsi kecil di birokrasi, jelas Zaenur.
"Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan oleh tiga kader PMII dengan membentangkan poster merupakan tindak pidana? Kami berpendapat bukan," tegas Andrie.
Prasejarah itu bukan sejarah awal. Saya sebagai pra sejarawan berpikir apakah yang mengganti itu tidak berpikir panjang akan implikasi yang ditimbulkan, ujar Truman.
"BUMN merupakan badan usaha milik rakyat, bukan milik rezim. Sudah seharusnya penunjukan direksi maupun komisaris harus melalui seleksi kualitas individu," ujar Huda.