Review Gowok: Kamasutra Jawa, Eksplorasi Budaya yang Gagal Fokus
Home > Detail

Review Gowok: Kamasutra Jawa, Eksplorasi Budaya yang Gagal Fokus

Sumarni

Sabtu, 07 Juni 2025 | 09:51 WIB

Suara.com - Mungkin ekspektasi saya terlalu tinggi terhadap karya terbaru Hanung Bramantyo ini.

Wajar, mengingat Gowok: Kamasutra Jawa hadir dengan janji akan membawa penonton menyelami sisi eksotis dan filosofis budaya Jawa yang jarang disentuh oleh film-film mainstream.

Dengan embel-embel "Kamasutra Jawa," publik tentu berharap akan menyaksikan sebuah narasi yang berani, menggugah, namun tetap sarat nilai budaya.

Sayangnya, film ini justru terjebak dalam ambisi besar yang tidak diimbangi dengan eksekusi cerita yang rapi.

Terlalu ambisius, sampai-sampai ceritanya berantakan dan membuat saya benar-benar kecewa.

Ekspektasi Tinggi yang Tak Terpenuhi

Film Gowok-Javanese Kamasutra (instagram)
Film Gowok-Javanese Kamasutra (instagram)

Dari judulnya saja, Gowok: Kamasutra Jawa sudah memancing rasa penasaran.

Gowok sendiri merupakan istilah dalam budaya Jawa untuk seorang dukun perempuan yang memiliki tugas mendidik para pemuda mengenai seksualitas sebelum menikah.

Ini adalah konsep yang unik dan sangat potensial untuk digali lebih dalam dari sisi budaya, spiritualitas, dan bahkan emansipasi perempuan.

Namun sayangnya, potensi ini tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh Hanung Bramantyo.

Film ini dimulai dengan cukup menjanjikan, mengisahkan tentang Ratri (Alika Jantinia), seorang perempuan muda yang dididik oleh Nyai Santi untuk menjadi gowok.

Asal-asul dari karakter Ratri yang dicap sebagai anak lonte (pelacur) juga sangat menarik, membuat saya penasaran, bagaimana prosesnya menjadi Gowok.

Latar waktu 1950-an memberi kesan atmosferik tersendiri, membawa penonton ke masa lampau dengan gaya busana, dialog, dan suasana pedesaan Jawa yang otentik.

Namun semua ini segera memudar begitu film mulai memasuki paruh kedua.

Cerita Berantakan, Fokus Terpecah

Cuplikan trailer film Gowok: Kamasutra Jawa (IMDb.com)
Cuplikan trailer film Gowok: Kamasutra Jawa (IMDb.com)

Masalah utama dari Gowok: Kamasutra Jawa adalah plotnya yang berantakan dan tidak konsisten.

Narasi yang awalnya fokus pada hubungan guru-murid antara Nyai Santi (Lola Amaria) dan Ratri, mulai kehilangan arah ketika konflik-konflik baru bermunculan tanpa transisi yang halus.

Hubungan cinta antara Ratri dan Jaya (Devano Danendra) sebenarnya memiliki daya tarik tersendiri.

Proses bagaimana mereka bisa saling jatuh cinta, hingga muncul kesalahpahaman yang berujung perpisahan, dieksekusi dengan apik.

Sayangnya, kehadiran konflik eksternal seperti isu PKI dan Gerwani terasa dipaksakan.

Alih-alih memperkaya lapisan cerita, elemen-elemen ini justru membuat narasi menjadi terlalu kompleks dan kehilangan fokus.

Pergantian genre secara tiba-tiba juga membuat penonton kebingungan, dari drama romantis menjadi semi-tragedi sejarah, bahkan thriller, kemudian berbelok lagi ke melodrama.

Pergeseran ini tidak didukung oleh pengembangan karakter yang kuat sehingga motivasi tokoh-tokohnya terasa lemah.

Karakter Ratri misalnya, digambarkan sebagai perempuan yang terkekang dan berjuang melawan sistem patriarki.

Namun perjuangannya terasa dangkal karena pengambilan keputusan yang terlalu impulsif, terutama saat dia nekat membuat pilihan hidup hanya karena patah hati.

Akting yang Menyelamatkan

Film Gowok Kamasutra Jawa (MVP Pictures)
Film Gowok Kamasutra Jawa (MVP Pictures)

Meski secara cerita film ini bermasalah, Gowok: Kamasutra Jawa diselamatkan oleh kualitas akting para pemerannya.

Devano Danendra dan Alika Jantinia tampil kuat sebagai versi muda dari Ratri dan Jaya.

Keduanya memperlihatkan chemistry yang meyakinkan dan dinamika emosional yang intens.

Begitu pula dengan versi dewasanya, yang diperankan oleh Reza Rahadian dan Raihaanun.

Tak begitu mengejutkan, keduanya mampu menghidupkan karakter mereka dengan emosi yang lebih matang dan kompleks.

Reza Rahadian, seperti biasa, tampil solid sebagai Denmas Kamanjaya.

Sementara itu, Raihaanun yang memerankan Nyai Ratri versi dewasa mampu memadukan kelembutan sekaligus luka batin dalam penampilannya.

Namun yang paling mencuri perhatian tentu saja Lola Amaria sebagai Nyai Santi.

Sang aktris berhasil membawakan karakter ini dengan nuansa otoritas, misterius, namun tetap penuh empati.

Gestur tubuh dan kehadirannya di layar memberi kekuatan tersendiri pada film ini.

Visual dan Nuansa Budaya yang Kuat

Lola Amaria dan Raihaanun di lokasi syuting film Gowok Kamasutra Jawa. [MVP Pictures]
Lola Amaria dan Raihaanun di lokasi syuting film Gowok Kamasutra Jawa. [MVP Pictures]

Selain akting, spek visual dan suasana budaya juga menjadi salah satu kekuatan film ini.

Setting pedesaan Jawa antara 1950 sampai 1960-an ditampilkan dengan detail dan otentik.

Tata busana, properti, serta pemilihan lokasi sangat mendukung terciptanya atmosfer yang immersive.

Namun semua itu terasa kurang maksimal karena lemahnya cerita, ditambah editing yang terasa kasar dan terkesan buru-buru.

Sinematografinya memang memanjakan mata, tapi transisi beberapa adegan membuat saya bingung.

Saking bingungnya, saya jadi kurang bisa mencerna informasi yang berniat disampaikan melalui setiap adegan.

Silakan Nonton, Tapi Jangan Berharap Banyak

Poster Film Gowok-Javanese Kamasutra (IMDb)
Poster Film Gowok-Javanese Kamasutra (IMDb)

Secara keseluruhan, Gowok: Kamasutra Jawa adalah film dengan ambisi besar yang tidak diimbangi dengan struktur naratif yang kuat.

Hanung Bramantyo tampak ingin mengangkat isu perempuan, seksualitas, cinta terlarang, hingga sejarah kelam bangsa dalam satu wadah yang sama.

Sayangnya, alih-alih menghasilkan harmoni, film ini justru menjadi terlalu berantakan.

Meski begitu, film ini cukup layak ditonton, terutama bagi mereka yang tertarik pada budaya Jawa dan ingin melihat eksplorasi tema gowok yang jarang diangkat.

Penampilan kuat dari para aktor dan visual yang menarik menjadi nilai plus tersendiri.

Namun, jika kamu datang ke bioskop dengan ekspektasi tinggi, bersiaplah untuk sedikit kecewa.

Gowok: Kamasutra Jawa adalah sebuah karya yang memiliki banyak potensi, tapi tidak berhasil mencapai kedalaman yang diharapkan.

Kontributor : Chusnul Chotimah


Terkait

Saat Ananta Rispo Kasih Celengan Ayam Buat Anies Baswedan Tabung Dana Pilpres 2029
Jum'at, 06 Juni 2025 | 22:00 WIB

Saat Ananta Rispo Kasih Celengan Ayam Buat Anies Baswedan Tabung Dana Pilpres 2029

Ananta Rispo menjatuhkan pilihan ke Anies Baswedan saat pembagian doorprize celengan ayam.

Profil Lola Amaria, Comeback Akting setelah 12 Tahun Lewat Film Gowok
Kamis, 05 Juni 2025 | 13:48 WIB

Profil Lola Amaria, Comeback Akting setelah 12 Tahun Lewat Film Gowok

Selama lebih dari 10 tahun terakhir,Lola Amaria lebih banyak berada di belakang layar perfilman Indonesia.

Terbaru
Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring
nonfiksi

Review Film The Conjuring: Last Rites, Penutup Saga Horor yang Kehilangan Taring

Sabtu, 06 September 2025 | 08:00 WIB

Plot yang lemah, jumpscare yang klise, serta kurangnya ide segar membuat film terasa datar.

Review Panji Tengkorak, Tetap Worth It Ditonton Meski Meski Penuh Cacat nonfiksi

Review Panji Tengkorak, Tetap Worth It Ditonton Meski Meski Penuh Cacat

Sabtu, 30 Agustus 2025 | 08:00 WIB

Film ini justru hadir dengan nuansa kelam, penuh darah, dan sarat pertarungan.

'Sudahlah Tertindas, Dilindas Pula', Kesaksian Teman Affan Kurniawan yang Dilindas Rantis Brimob polemik

'Sudahlah Tertindas, Dilindas Pula', Kesaksian Teman Affan Kurniawan yang Dilindas Rantis Brimob

Jum'at, 29 Agustus 2025 | 13:04 WIB

Affa Kurniawan, driver ojol yang baru berusia 21 tahun tewas dilindas rantis Brimob Polda Jaya yang menghalau demonstran, Kamis (28/8) malam. Semua bermula dari arogansi DPR.

Review Film Tinggal Meninggal: Bukan Adaptasi Kisah Nyata tapi Nyata di Sekitar Kita nonfiksi

Review Film Tinggal Meninggal: Bukan Adaptasi Kisah Nyata tapi Nyata di Sekitar Kita

Sabtu, 23 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Film Tinggal Meninggal lebih banyak mengajak penonton merenungi hidup ketimbang tertawa?

80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror polemik

80 Tahun Indonesia Merdeka; Ironi Kemerdekaan Jurnalis di Antara Intimidasi dan Teror

Minggu, 17 Agustus 2025 | 15:38 WIB

Di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, jurnalis masih menghadapi intimidasi, teror, hingga kekerasan.

Review Jujur Merah Putih One for All: Film yang Seharusnya Tidak Dibuat polemik

Review Jujur Merah Putih One for All: Film yang Seharusnya Tidak Dibuat

Sabtu, 16 Agustus 2025 | 11:46 WIB

Efek suaranya minim, mixing audionya berantakan, dan dubbing-nya seperti orang membaca teks sambil menunggu pesanan makanan datang.

Review Weapons, Horor Intelektual yang Mengguncang Pikiran nonfiksi

Review Weapons, Horor Intelektual yang Mengguncang Pikiran

Sabtu, 09 Agustus 2025 | 09:05 WIB

Weapons adalah film horor yang berani, cerdas, dan penuh emosi.