Suara.com - Mungkin ekspektasi saya terlalu tinggi terhadap karya terbaru Hanung Bramantyo ini.
Wajar, mengingat Gowok: Kamasutra Jawa hadir dengan janji akan membawa penonton menyelami sisi eksotis dan filosofis budaya Jawa yang jarang disentuh oleh film-film mainstream.
Dengan embel-embel "Kamasutra Jawa," publik tentu berharap akan menyaksikan sebuah narasi yang berani, menggugah, namun tetap sarat nilai budaya.
Sayangnya, film ini justru terjebak dalam ambisi besar yang tidak diimbangi dengan eksekusi cerita yang rapi.
Terlalu ambisius, sampai-sampai ceritanya berantakan dan membuat saya benar-benar kecewa.
Ekspektasi Tinggi yang Tak Terpenuhi

Dari judulnya saja, Gowok: Kamasutra Jawa sudah memancing rasa penasaran.
Gowok sendiri merupakan istilah dalam budaya Jawa untuk seorang dukun perempuan yang memiliki tugas mendidik para pemuda mengenai seksualitas sebelum menikah.
Ini adalah konsep yang unik dan sangat potensial untuk digali lebih dalam dari sisi budaya, spiritualitas, dan bahkan emansipasi perempuan.
Namun sayangnya, potensi ini tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh Hanung Bramantyo.
Film ini dimulai dengan cukup menjanjikan, mengisahkan tentang Ratri (Alika Jantinia), seorang perempuan muda yang dididik oleh Nyai Santi untuk menjadi gowok.
Asal-asul dari karakter Ratri yang dicap sebagai anak lonte (pelacur) juga sangat menarik, membuat saya penasaran, bagaimana prosesnya menjadi Gowok.
Latar waktu 1950-an memberi kesan atmosferik tersendiri, membawa penonton ke masa lampau dengan gaya busana, dialog, dan suasana pedesaan Jawa yang otentik.
Namun semua ini segera memudar begitu film mulai memasuki paruh kedua.
Cerita Berantakan, Fokus Terpecah

Masalah utama dari Gowok: Kamasutra Jawa adalah plotnya yang berantakan dan tidak konsisten.
Narasi yang awalnya fokus pada hubungan guru-murid antara Nyai Santi (Lola Amaria) dan Ratri, mulai kehilangan arah ketika konflik-konflik baru bermunculan tanpa transisi yang halus.
Hubungan cinta antara Ratri dan Jaya (Devano Danendra) sebenarnya memiliki daya tarik tersendiri.
Proses bagaimana mereka bisa saling jatuh cinta, hingga muncul kesalahpahaman yang berujung perpisahan, dieksekusi dengan apik.
Sayangnya, kehadiran konflik eksternal seperti isu PKI dan Gerwani terasa dipaksakan.
Alih-alih memperkaya lapisan cerita, elemen-elemen ini justru membuat narasi menjadi terlalu kompleks dan kehilangan fokus.
Pergantian genre secara tiba-tiba juga membuat penonton kebingungan, dari drama romantis menjadi semi-tragedi sejarah, bahkan thriller, kemudian berbelok lagi ke melodrama.
Pergeseran ini tidak didukung oleh pengembangan karakter yang kuat sehingga motivasi tokoh-tokohnya terasa lemah.
Karakter Ratri misalnya, digambarkan sebagai perempuan yang terkekang dan berjuang melawan sistem patriarki.
Namun perjuangannya terasa dangkal karena pengambilan keputusan yang terlalu impulsif, terutama saat dia nekat membuat pilihan hidup hanya karena patah hati.
Akting yang Menyelamatkan

Meski secara cerita film ini bermasalah, Gowok: Kamasutra Jawa diselamatkan oleh kualitas akting para pemerannya.
Devano Danendra dan Alika Jantinia tampil kuat sebagai versi muda dari Ratri dan Jaya.
Keduanya memperlihatkan chemistry yang meyakinkan dan dinamika emosional yang intens.
Begitu pula dengan versi dewasanya, yang diperankan oleh Reza Rahadian dan Raihaanun.
Tak begitu mengejutkan, keduanya mampu menghidupkan karakter mereka dengan emosi yang lebih matang dan kompleks.
Reza Rahadian, seperti biasa, tampil solid sebagai Denmas Kamanjaya.
Sementara itu, Raihaanun yang memerankan Nyai Ratri versi dewasa mampu memadukan kelembutan sekaligus luka batin dalam penampilannya.
Namun yang paling mencuri perhatian tentu saja Lola Amaria sebagai Nyai Santi.
Sang aktris berhasil membawakan karakter ini dengan nuansa otoritas, misterius, namun tetap penuh empati.
Gestur tubuh dan kehadirannya di layar memberi kekuatan tersendiri pada film ini.
Visual dan Nuansa Budaya yang Kuat
![Lola Amaria dan Raihaanun di lokasi syuting film Gowok Kamasutra Jawa. [MVP Pictures]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/07/11/78389-lola-amaria-dan-raihaanun-gowok-kamasutra-jawa.jpg)
Selain akting, spek visual dan suasana budaya juga menjadi salah satu kekuatan film ini.
Setting pedesaan Jawa antara 1950 sampai 1960-an ditampilkan dengan detail dan otentik.
Tata busana, properti, serta pemilihan lokasi sangat mendukung terciptanya atmosfer yang immersive.
Namun semua itu terasa kurang maksimal karena lemahnya cerita, ditambah editing yang terasa kasar dan terkesan buru-buru.
Sinematografinya memang memanjakan mata, tapi transisi beberapa adegan membuat saya bingung.
Saking bingungnya, saya jadi kurang bisa mencerna informasi yang berniat disampaikan melalui setiap adegan.
Silakan Nonton, Tapi Jangan Berharap Banyak

Secara keseluruhan, Gowok: Kamasutra Jawa adalah film dengan ambisi besar yang tidak diimbangi dengan struktur naratif yang kuat.
Hanung Bramantyo tampak ingin mengangkat isu perempuan, seksualitas, cinta terlarang, hingga sejarah kelam bangsa dalam satu wadah yang sama.
Sayangnya, alih-alih menghasilkan harmoni, film ini justru menjadi terlalu berantakan.
Meski begitu, film ini cukup layak ditonton, terutama bagi mereka yang tertarik pada budaya Jawa dan ingin melihat eksplorasi tema gowok yang jarang diangkat.
Penampilan kuat dari para aktor dan visual yang menarik menjadi nilai plus tersendiri.
Namun, jika kamu datang ke bioskop dengan ekspektasi tinggi, bersiaplah untuk sedikit kecewa.
Gowok: Kamasutra Jawa adalah sebuah karya yang memiliki banyak potensi, tapi tidak berhasil mencapai kedalaman yang diharapkan.
Kontributor : Chusnul Chotimah
Ananta Rispo menjatuhkan pilihan ke Anies Baswedan saat pembagian doorprize celengan ayam.
Berikut rekomendasi film terbaru di Netflix.
Kiki Narendra berinisiatif mewarnai rambutnya menjadi merah muda.
Selama lebih dari 10 tahun terakhir,Lola Amaria lebih banyak berada di belakang layar perfilman Indonesia.
Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.
nonfiksi
No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.
nonfiksi
Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?
nonfiksi
Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.
nonfiksi
Mouly Surya dan Marsha Timothy kembali menunjukkan kerja sama yang memukau di film Tukar Takdir.
nonfiksi
Ada alamat di Jakarta yang tak tercatat di peta teror, namun denyutnya adalah neraka. Menelusuri 'Kremlin', ruang-ruang interogasi Orde Baru, dan persahabatan aneh di Cipinang
nonfiksi
Ingatan kolektif masyarakat tentang tapol PKI dari balik jeruji penjara Orde Baru telah memudar, seiring perkembangan zaman. Jurnalis Suara.com mencoba menjalinnya kembali.