Suara.com - Proyek penulisan ulang sejarah hanya memasukkan dua pelanggaran hak asasi manusia masa lalu. Langkah pemerintah ini dikhawatirkan untuk menegasikan pelanggaran HAM yang lain, serta semakin menghambat keadilan bagi para korban. Selain itu, penulisan ulang sejarah disinyalir bagian upaya untuk memuluskan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.
PEMERINTAH melalui Kementerian Kebudayaan sedang menggarap penulisan ulang sejarah. Sejarah yang ditulis terdiri dari 10 jilid, mulai dari sejarah awal Nusantara, Orde Baru 1967-1998, dan era reformasi 1999-2024.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan penulisannya melibatkan 100 sejarawan, profesor, hingga doktor di bidangnya masing-masing. Dia mengklaim pada proses penulisan tidak ada sejarah yang akan diubah, tetapi memperbaharui dengan versi terbaru. Penulisan sejarah ulang ini bertepatan dengan HUT RI ke-80 pada 17 Agustus nanti.
Termutakhir, Fadli Zon mengatakan hanya terdapat dua pelanggaran HAM yang masuk dalam penulisan sejarah ini. Penulisannya memiliki kecenderungan positif.
"Tone kita adalah tone yang lebih positif karena kalau mau mencari-cari kesalahan mudah, pasti ada saja kesalahan dari setiap zaman, setiap masa,” kata Fadli Zon di Cibubur, Jawa Barat, Minggu 1 Juni 2025.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM merespons ihwal hanya dua pelanggaran HAM berat masa lalu yang termuat dalam penulisan ulang sejarah itu. Ketua Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan belum mendapatkan informasi resmi dari Kementerian Kebudayaan.
Anis mempertanyakan tone positif yang dimaksud Fadli Zon. Sebab beberapa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menyisakan berbagai penderitaan bagi para korban, seperti psikologis dan fisik, diskriminasi, stigma, serta umumnya mereka berada dalam garis kemiskinan.
"Nah saya tidak paham apa yang dimaksud dengan tone positif. Karena pelanggaran HAM berat itu secara umum situasinya korban mengalami penderitaan," kata Anis kepada Suara.com, Rabu, 5 Juni 2025.
Manipulasi Sejarah
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid memandang perspektif yang digunakan Fadli Zon adalah manipulasi sejarah.
"Betapapun gelapnya sejarah, ia harus tetap ditulis meski berdampak terhadap tragedi kemanusiaan dan mengungkapkan kesalahan kebijakan negara di masa lalu," kata Usman kepada Suara.com.
Dia menegaskan, keputusan Kementerian Kebudayaan yang hanya memasukkan dua pelanggaran HAM berat berpotensi menghapus tragedi kelam kemanusian lainnya.
"Seperti pelanggaran HAM 1965 dan penculikan aktivis pro demokrasi pada tahun 1998 akan hilang dari memori kolektif masyarakat Indonesia," ujarnya.
Padahal diketahui, terdapat 12 pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui negara, termasuk peristiwa berdarah 1965-1966, dan penghilangan paksa 1997-1998. Pelanggaran HAM lainnya seperti peristiwa Talangsari, Lampung 1989; peristiwa penembakan misterius 1982-1985; peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989; dan Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999.
Selain berpotensi menghilangkannya dari ingatan, langkah itu menyakiti perasaan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Tak kalah mengkawatirkan, tindakan manupulasi sejarah dengan cara tebang pilih tersebut, lanjut Usman, berpotensi menghambat proses penegakan hukum kepada pelaku dan pihak yang bertanggung jawab atas 12 pelanggaran HAM berat masa lalu. Terlebih para korban dan keluarganya banyak yang tak memperoleh keadilan.
"Ini merupakan angin segar bagi para pelaku yang hingga hari ini belum tersentuh hukum. Penulisan sejarah ini hanya akan melanggengkan budaya impunitas di Indonesia," tutur Usman.
"Pun penulisan sejarah dengan nada positif hanya akan melahirkan produk tulisan yang bertujuan mengglorifikasi rezim yang berkuasa," sambungnya.
Sementara pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah menilai pernyataan Fadli Zon tersebut semakin membuktikan kekhawatiran banyak pihak selama ini soal upaya menghapus peristiwa-peristiwa kelam masa lalu.
"Makanya ujar-ujaran banyak orang tentang sejarah akan ditafsirkan oleh pemenang, ya benar adanya," kata Herdiansyah kepada Suara.com.
Dia berpandangan, penulisan ulang sejarah yang hanya memasukkan dua pelanggaran HAM bagian dari upaya menjadikan Presiden ke-2 Soeharto untuk mendapatkan gelar pahlawan. Presiden Prabowo Subianto yang berkuasa saat ini dinilai memiliki kepentingan untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan.
"Begitupun sekarang, karena yang berkuasa adalah Prabowo yang erat atau yang punya genealogi politik bagian dari Orde Baru, menantunya Soeharto bahkan. Makanya kemudian proyek penulisan sejarah tidak mengherankan kalau dikeluarkan, jadi hanya ada dua (pelanggaran HAM)," katanya.
Dengan menuliskan sejarah yang memiliki kecenderungan positif akan menghilangkan dosa-dosa dan jejak pelanggaran HAM yang terjadi selama 32 tahun Soeharto berkuasa.
"Sehingga pada akhirnya orang menganggap Soeharto layak menjadi pahlawan nasional. Karena itu tujuan yang dikehendaki oleh penulisan sejarah ini," tutur Herdiansyah.
Sebagaimana diketahui, Soeharto termasuk dari 10 tokoh yang diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional. Dorongan itu semakin menguat dengan dicabutnya nama Soeharto dari Ketetapan MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme pada September 2024 lalu.
Wakil Menteri HAM Mugiyanto menanggapi perihal hanya ada dua pelanggaran HAM yang masuk dalam penulisan sejarah itu. Mantan aktivis 1998 itu menyebut bahwa yang ditulis adalah sejarah nasional, bukan sejarah HAM.
"Yang jelas, yang dilakukan itu bukan penulisan sejarah HAM, tapi penulisan sejarah Indonesia. Mesti tahu konteks dan tujuannya. Semuanya perlu ditulis,” kata Mugiyanto dilansir dari Antara, Kamis 6 Juni.
Sementara Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai menilai penulisan ulang sejarah dengan tone yang positif bukan berarti penulisannya sesuai dengan keinginan pihak tertentu, tapi apa adanya.
"Itu artinya tidak bermaksud mempositifkan semua peristiwa. Semua peristiwa itu kan up and down, ada titik tertentu baik, titik tertentu jelek. Tapi ketika kita menulis fakta peristiwa apa adanya, itu yang namanya tone positif,” kata Pigai pada Selasa, 3 Juni lalu.
Mereka bukan manusia sempurna, tapi keberanian mereka menghadapi tantangan adalah sumber inspirasi yang luar biasa.
Timnas Indonesia berada di posisi keempat Grup C dengan perolehan sembilan poin.
Ulasan novel The Briar Club: Kisah perempuan tangguh di tahun 1950-an.
Sebanyak 65 persen atau mayoritas perangkat desa yang kami wawancara menilai adanya potensi korupsi dalam program Koperasi Desa Merah Putih, kata Askar.
Polisi makin sering jadikan pengunjuk rasa tersangka, termasuk tim medis, dengan pasal karet. Tindakan represif aparat jarang diproses hukum, HAM terancam.
Tentu tidak perlu panik tetapi jelas harus waspada, tidak bisa diabaikan begitu saja, kata Tjandra.
"Sebagai pemimpin tertinggi dalam suatu lembaga, tidak mungkin dia (Nadiem) tidak tahu program yang dilakukan anak buahnya," ujar Dewi.
Ribuan calon haji furoda gagal berangkat karena visa Mujamalah tak terbit. Revisi UU PIHU perlu atur furoda lebih baik demi lindungi jemaah.
Prabowo beri ultimatum pejabat tak becus untuk mundur, jika tidak akan dipecat. Survei IPO soroti kinerja sejumlah menteri, Pigai dan Budi Arie teratas layak di-reshuffle.
Pendidikan bukan perlombaan bangun paling pagi, tapi perjalanan tumbuh bersama. Dalam perjalanan itu, tubuh, jiwa, dan suara anak layak didengarbukan diabaikan, ujar Bukik.