Demonstran Dijerat Pidana Pakai Pasal Karet, Bentuk Teror Aparat Penegak Hukum?
Home > Detail

Demonstran Dijerat Pidana Pakai Pasal Karet, Bentuk Teror Aparat Penegak Hukum?

Chandra Iswinarno | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Kamis, 05 Juni 2025 | 17:42 WIB

Suara.com - Pola kepolisian menetapkan pengunjuk rasa sebagai tersangka semakin masif terjadi, bahkan  tak jarang pasal karet dipakai untuk menersangkakan demonstran. Profesionalisme Korps baju cokelat itu dipertanyakan, karena aparat yang melakukan tindakan kekerasan kepada pengunjuk rasa tak pernah diproses hukum. 

POLDA Metro Jaya kembali menetapkan pengunjuk rasa sebagai tersangka. Terbaru ada 14 orang yang mengikuti aksi demonstrasi Peringatan Hari Buruh di depan Gedung DPR Jakarta ditetapkan menjadi tersangka.

Mereka yang dijadikan tersangka, empat di antaranya merupakan  tim medis dan paralegal. 

Langkah kepolisian tersebut menambah daftar panjang upaya pemidanaan terhadap kelompok masyarakat sipil yang menggunakan hak demokrasinya.

Sebab, sebelumnya, polisi juga melakukan langkah hukum serupa terhadap 16 mahasiswa Universitas Trisakti yang berunjuk rasa pada peringatan 27 tahun reformasi di depan Balai Kota Jakarta. Mereka dijadikan tersangka. 

Mirisnya, pola tersebut bukan hanya terjadi di Jakarta, terutama pada momentum Hari Buruh.

Sejumlah kota lain, misal di Kota Semarang, Jawa Tengah, 6 mahasiswa dijadikan tersangka. Sementara di Kota Bandung, ada 4 pengunjuk rasa juga ditersangkakan. 

Tim Advokasi untuk Demokrasi atau TAUD mencatat pada  peringatan Hari Buruh di empat kota/kabupaten terdapat 58 orang yang ditangkap secara sewenang-wenang.

Sementara di sisi lain ada juga tindakan kekerasan yang mengakibatkan 20 orang mengalami luka-luka. 

Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS, Andrie Yunus mengatakan ada cara pikir yang salah dalam tindakan polisi menersangkakan pengunjuk rasa sebagai tersangka.

Menurutnya, hal tersebut merupakan cara pikir yang salah dalam upaya melindungi hak demokrasi warga negara. 

"Alih-alih memastikan bahwa polri melindungi hak, yang ada justru polri menggunakan hukum sebagai alat kriminalisasi untuk membungkam suara kritis warga," kata Andrie kepada Suara.com, Kamis 5 Juni 2025. 

Tim advokasi menyoroti pasal yang digunakan kepolisian menjerat  pengunjuk rasa.

Misalnya terhadap 14 pengunjuk rasa pada peringatan May Day, mereka dijerat dengan sejumlah pasal, di antaranya  Pasal 216 dan 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang tidak mematuhi perintah pejabat berwenang. 

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary, pada Selasa 3 Juni 2025 lalu, menyebut mereka tidak menuruti perintah petugas. 

"Sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang sebagaimana diatur di Pasal 216 dan 218 KUHP," kata Ade Ary dikutip Suara.com. 

Andrie menilai pasal yang diterapkan serampangan, dan dipaksakan. Sebab, beberapa pengunjuk rasa yang dijadikan tersangka ditangkap di luar lokasi unjuk rasa. 

"Ditangkap sesaat setelah minum kopi di area DPR dan tidak dalam posisi melakukan perlawanan terhadap petugas sebagaimana unsur pasal yang dituduhkan. Ini ironi dan tak ubahnya hukum digunakan sebagai alat kriminalisasi," kata Andrie. 

Sementara, Cho Yong Gi, tim medis yang jadi salah satu tersangka, mengaku mendapatkan tindakan kekerasan.

Padahal, saat itu dirinya akan membantu seorang pengunjuk rasa yang mengalami luka di bagian kepala. Dia dipukuli secara membabi buta.

Andrie pun mempertanyakan pertanggungjawaban kepolisian terkait tindakan kekerasan itu. 

Sebab selain Cho Yong Gi, terdapat pengunjuk rasa lainnya yang mendapatkan tindak represif dari aparat. Dia menyebut telah terjadi diskriminasi proses penegakan hukum. 

"Mereka para korban kekerasan kemudian ditetapkan sebagai TSK (yang minim bukti), namun anggota polri yang melakukan tindak kekerasan terhadap massa aksi tidak ada proses hukum. Ini mengakibatkan terjadinya impunitas," tegasnya.

Cho Yong Gi. [X]
Cho Yong Gi, mahasiswa Universitas Indonesia yang dikriminalisasi polisi lantaran ikut dalam aksi demonstrasi saat May Day. [X]

Sementara peneliti Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR, Maidina Rahmawati menyoroti adanya pemeriksaan urine terhadap pengunjuk rasa yang ditangkap.

Dia menyebut langkah kepolisian menyalahi aturan. 

"Massa aksi diketahui juga disuruh untuk melakukan tes urin, padahal tidak ada narkotika yang ditemukan, tidak ada bukti permulaan yang bisa melakukan penyidikan tindak pidana narkotika," kata Maidina kepada Suara.com. 

Dia menjelaskan dalam kerangka kebijakan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 75 mengatur  pengambilan sampel tubuh salah satunya tes urine bisa dilakukan pada tahap penyidikan.

Penyidikan, ditandai dengan adanya penguasaan/kepemilikan narkotika baru dapat dilakukan tes urine. 

"Maka dari itu tes urine tidak dapat dilakukan kepada sembarang orang. Jika tak ada bukti permulaan, maka tidak bisa berbasis paksaan, harus berdasarkan persetujuan," tegasnya. 

Data yang diperoleh Andrie, mereka yang ditangkap hingga dijadikan sebagai tersangka merupakan mahasiswa dan anak muda.

Dia memandang hal ini sebagai bentuk teror menggunakan instrumen kepolisian terhadap suara kritis generasi muda. 

"Tapi kami meyakini pun kalau ini bentuk teror, tidak akan berhasil. Suara kritis akan tetap hadir dari mereka para mahasiswa dan anak-anak muda yang juga memiliki hak untuk melakukan kontrol pengawasan terhadap jalannya kekuasaan serta penentuan kebijakan," tegas Andrie. 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyayangkan penetapan tersangka yang dilakukan  kepolisian terhadap pengunjuk rasa.

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah mendorong kepolisian segera menggunakan pendekatan restorative justice dalam penyelesaian perkara ini. Anis pun menegaskan bahwa demonstrasi merupakan hak warga negara. 

"Penyampain pendapat di publik melalui demonstrasi bagian dari hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Itu hak konstitusional dan bagian dari HAM yang harus dijamin oleh negara,"ujarnya. 

Dia menegaskan  demonstrasi harus dipandang sebagai bentuk  penikmatan hak warga yang direspons dengan perlindungan, bukan justru sebaliknya.


Terkait

YLBHI Desak Reformasi Polri: Pelayanan Buruk, Banyak Personel Langgar Hukum
Selasa, 29 April 2025 | 18:21 WIB

YLBHI Desak Reformasi Polri: Pelayanan Buruk, Banyak Personel Langgar Hukum

Mungkin kasus yang masih menempel di kepala kita bagaimana Kadiv Propam, menjadi pelaku pembunuhan berencana, bahkan rekayasa kasus,"

Sempat Tak Ada Kabar Usai Aksi Tolak Revisi UU TNI, YLBHI Pastikan Lorra Vedder Aman
Sabtu, 22 Maret 2025 | 01:06 WIB

Sempat Tak Ada Kabar Usai Aksi Tolak Revisi UU TNI, YLBHI Pastikan Lorra Vedder Aman

Sempat dikabarkan hilang usai demo tolak UU TNI, Lorra Vedder dipastikan aman. Ponselnya rusak karena water cannon. YLBHI sisir laporan korban luka atau hilang.

Terbaru
Review 28 Years Later: Bukan Film Zombie Biasa, Aneh Namun Fantastis
nonfiksi

Review 28 Years Later: Bukan Film Zombie Biasa, Aneh Namun Fantastis

Sabtu, 21 Juni 2025 | 10:08 WIB

Sejak awal, 28 Years Later tampil dengan gaya visual yang mencengangkan.

Hasto Gunakan AI untuk Pledoi di Sidang: Terobosan Hukum atau Ancaman Keadilan? polemik

Hasto Gunakan AI untuk Pledoi di Sidang: Terobosan Hukum atau Ancaman Keadilan?

Jum'at, 20 Juni 2025 | 19:05 WIB

AI memiliki keterbatasan terkait aspek moral kemanusian, potensi bias dalam algoritma, serta kekhawatiran terhadap keamanan data dan privasi.

Alasan Aneh Hakim Vonis Ringan Makelar Peradilan Zarof Ricar polemik

Alasan Aneh Hakim Vonis Ringan Makelar Peradilan Zarof Ricar

Jum'at, 20 Juni 2025 | 15:55 WIB

Vonis ini belum menunjukkan sikap keras terhadap korupsi di Indonesia.

Prabowo Bubarkan Satgas Saber Pungli Warisan Jokowi: Tak Efektif atau Ada Maksud Politik? polemik

Prabowo Bubarkan Satgas Saber Pungli Warisan Jokowi: Tak Efektif atau Ada Maksud Politik?

Jum'at, 20 Juni 2025 | 13:47 WIB

Jadi sebenarnya Satgas Saber Pungli ini lahir dari kegagalan sistemik dalam penanganan korupsi kecil di birokrasi, jelas Zaenur.

Poster Kritik Gibran Berujung Represi: 'Dinasti Tiada Henti' Jadi Pemicu? polemik

Poster Kritik Gibran Berujung Represi: 'Dinasti Tiada Henti' Jadi Pemicu?

Jum'at, 20 Juni 2025 | 06:29 WIB

"Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan oleh tiga kader PMII dengan membentangkan poster merupakan tindak pidana? Kami berpendapat bukan," tegas Andrie.

Prasejarah Dihapus? Penyusunan Ulang Sejarah Indonesia Mengancam Reputasi Akademik polemik

Prasejarah Dihapus? Penyusunan Ulang Sejarah Indonesia Mengancam Reputasi Akademik

Kamis, 19 Juni 2025 | 17:20 WIB

Prasejarah itu bukan sejarah awal. Saya sebagai pra sejarawan berpikir apakah yang mengganti itu tidak berpikir panjang akan implikasi yang ditimbulkan, ujar Truman.

Dari Yovie Widianto hingga Wamen Rangkap Jabatan Komisaris: BUMN Bukan Milik Rezim! polemik

Dari Yovie Widianto hingga Wamen Rangkap Jabatan Komisaris: BUMN Bukan Milik Rezim!

Kamis, 19 Juni 2025 | 15:12 WIB

"BUMN merupakan badan usaha milik rakyat, bukan milik rezim. Sudah seharusnya penunjukan direksi maupun komisaris harus melalui seleksi kualitas individu," ujar Huda.