Suara.com - SISWA Sekolah Dasar (SD) berinisial KB meninggal dunia usai mengalami kekerasan dan perundungan atau bullying dari teman sekolahnya di Kecamatan Seberida, Indragiri Hulu, Riau pada 25 Mei 2025 lalu.
Bocah 8 tahun itu sempat merasakan sakit di bagian pinggang dan bolak-balik ke kamar mandi. Ia kemudian dibawa ke sejumlah fasilitas kesehatan hingga akhirnya dirawat di RSUD Indra Sari Pematang Reba. Saat dirawat di rumah sakit KB sempat muntah-muntah hingga mengeluarkan lendir bercampur darah. Kondisinya semakin memburuk hingga dilaporkan meninggal dunia.
Terungkap para pelaku merupakan kakak kelas korban yang juga masih berusia anak. Mereka diduga memukuli beberapa bagian tubuh korban. Selain itu, para pelaku juga sempat mengempeskan roda sepeda korban.
Meninggalnya KB juga diduga berkaitan dengan isu intoleransi. Ayah korban, Gimson Beni Butarbutar menyebut, sebelum meninggal, KB mengalami perundungan karena perbedaan suku dan agama.
Dugaan isu intoleransi dalam peristiwa itu menjadi sorotan Lembaga Setara Institute. Apalagi terjadi di Riau dengan indeks kerukunan umat beragama yang tergolong tinggi. Pada 2024 indeks kerukunan umat beragama (KUB) Provinsi Riau berada di angka 84.23 persen, artinya tergolong sangat tinggi.
Peringatan Bahaya Intoleransi
Peneliti kebebasan beragama Setara Institute, Harkirtan Kaur menilai kasus meninggalnya KB yang diwarnai dugaan isu intoleransi menjadi cerminan bawah tingginya indeks kerukunan umat beragama suatu daerah tak menjamin terciptanya masyarakat madani.
Ekosistem toleransi harus dilihat dari berbagai sisi, seperti bagaimana situasi di akar rumput, bagaimana situasi pemerintahannya, dan bagaimana regulasi visi dari pemerintah daerah.
"Jadi skor tinggi dalam indeks kerukunan itu belum tentu bisa mencerminkan situasi di akar rumput. Terutama jika tidak diikuti oleh deteksi dini, pendidikan kritis, dan intervensi struktural di sektor pendidikan," kata Kaur kepada Suara.com, Senin, 2 Juni 2025.
Kaur mengatakan peristiwa yang dialami KB harus menjadi peringatan bahaya mengakarnya sikap intoleransi hingga di lingkungan pendidikan pada tingkat dasar. Ia menyayangkan hal itu karena lembaga pendidikan tingkat dasar (SD) seharus menjadi ruang untuk membentuk karakter anak lebih inklusif, toleran dan juga anti-diskriminasi.
Selain itu, kasus ini menjadi fenomena puncak gunung es atas krisis toleransi di lingkungan pendidikan. Hasil riset Setara Institute pada pelajar setingkat SMA pada Februari 2023, menunjukkan harus ada pelipatgandaan upaya untuk menghalau paparan intoleransi dan ekstremisme kekerasan dari satuan pendidikan. Dalam riset itu diperoleh 24,2 persen siswa SMA intoleran pasif, 5 persen intoleran aktif, dan 0,6 persen dari mereka terpapar ideologi ekstremisme kekerasan.
Guna mengantisipasi peristiwa intoleransi terus berulang di lingkungan pendidikan, sekolah diharapkan mengenali gejala-gejala intoleransi dari para pelajar. Gejala itu setidaknya dapat dilihat ketika seorang siswa bersikap agresif, baik fisik atau verbal terhadap temannya yang berbeda dengannya.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyesalkan peristiwa itu. KPAI memandang kasus meninggalnya KB menjadi peringatan untuk meningkatkan edukasi dan sosialisasi upaya pencegahan, penanganan kekerasan pada satuan pendidikan.
"Penguatan Pendidikan Karakter perlu dikuatkan dan berbasis pengamalan. Sehingga terwujud lingkungan yang toleran, peduli, saling menghormati, tolong menolong, dan yang pasti anti kekerasan," kata Komisioner KPAI Bidang pendidikan Aris Adi Leksono.
KPAI saat ini tengah mendalami kasus tersebut. Selain itu mereka juga berkoordinasi dengan aparat penegak hukum dan pihak berwenang lain guna memastikan terpenuhinya hak korban. Termasuk penegakan kebenaran dan keadilan, serta pendampingan dan pemulihan terhadap keluarga korban.
Menurut data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) kasus kekerasan di lingkungan pendidikan dasar dan menengah semakin mengkhawatirkan. Kasusnya mengalami peningkatan setiap tahun. Pada 2024 dilaporkan terdapat 573 kasus. Angka ini meningkat 100 persen dibanding tahun 2023 sebanyak 285 kasus. Sementara pada 2020 cuma 91 kasus, meningkat pada 2022 menjadi sebanyak 194 kasus.
JPPI menilai meningkatnya kasus kekerasan di lingkungan pendidikan disebabkan lemahnya edukasi soal kekerasan dan perundungan.
Sementara itu, Kasi Humas Polres Indragiri Hulu Aiptu Misran membantah adanya isu intoleransi pada kasus meninggalnya KB. Dia meminta semua pihak untuk tetap tenang dan tidak menggiring opini sebelum hasil penyelidikan rampung.
"Saat ini proses hukum sedang berjalan, dan kasus ini sama sekali tidak berkaitan dengan isu agama atau SARA. Kami pastikan itu,” ujarnya baru-baru ini.
Kepolisian masih mendalami kasus ini, termasuk kronologi pasti dan pemicunya. Sejumlah saksi telah diperiksa, di antaranya orang tua korban. Selain itu, polisi juga telah melakukan otopsi terhadap jenazah pada hari yang sama korban meninggal.
"Hasil lengkap dari proses otopsi ini masih dalam tahap analisis oleh tim forensik," kata Misran.
The Arson Project karya Akaigita adalah novel yang menceritakan tentang misi pembalasan dendam dua orang remaja lewat pembakaran sebuah gedung teater.
KPAI juga tengah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan kementerian terkait agar hak-hak korban dapat terpenuhi. Terutama berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan.
Jangan pernah menormalisasi kasus bullying yang terjadi di manapun karena itu dinilai menormalisasi tindak kekerasan.
PDIP masih terganjal dengan pengaruh mantan Presiden Jokowi di Pemerintahan Prabowo.
"Ketakutan pada asing, kekhawatiran pada asing, padahal dia sendiri menerima bantuan-bantuan dari asing," kata Ignatius.
PSI perpanjang pendaftaran ketua umum hingga 23 Juni 2025, di tengah wacana Jokowi ambil alih. Namun, analis menilai wacana Jokowi ambil alih PSI kurang strategis.
Faktornya adalah karena panjangnya antrean haji reguler, mahalnya biaya haji khusus atau furoda, hingga maraknya praktik travel umroh-haji ilegal.
Buruknya kualitas legislasi DPR RI adalah salah satu faktor di balik banyaknya undang-undang yang digugat ke MK karena
"Antusiasme orang untuk mencari kerja karena angka pengangguran (meningkat)," kata Tadjudin.
Gen Z memiliki keterbatasan literasi terkait isu sosial, politik, dan sejarah.