Pernikahan Anak di Lombok: Budaya atau Pelanggaran Hak Anak?
Home > Detail

Pernikahan Anak di Lombok: Budaya atau Pelanggaran Hak Anak?

Erick Tanjung | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Selasa, 27 Mei 2025 | 18:30 WIB

Suara.com - MASYARAKAT kembali digemparkan pernikahan usia dini di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat baru-baru ini. Pasangan di bawah umur tersebut masih duduk di bangku sekolah.

Mempelai perempuan berusia 15 tahun itu ternyata masih duduk di bangku SMP, dan mempelai pria berusia 17 tahun duduk di bangku SMK. Selain karena masih berusia anak-anak, prosesi pernikahan mereka menjadi perhatian publik. Pasalnya mempelai perempuan menunjukkan sikap yang janggal saat berjalan menuju pelaminan.

Berdasarkan video yang viral di media sosial, terekam mempelai perempuan berjoget saat menuju pelaminan. Dia dituntun dua orang perempuan dewasa. Sejumlah netizen pun menilai sikapnya menunjukkan gelagat seperti berada dalam tekanan.

Setelah viral di media sosial, Lembaga Perlindungan Anak Kota Mataram mengambil langkah tegas dengan melaporkan orang tua kedua mempelai ke kepolisian. Pada Selasa 27 Mei, orang tua kedua mempelai dipanggil Polres Lombok Tengah untuk menjalani pemeriksaan.

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Rahmayanti berharap pihak-pihak yang terlibat dalam peristiwa itu dijatuhi sanksi tegas. Dia meyakini pernikahan itu berlangsung bukan di Kantor Urusan Agama, dan tanpa ada permohonan dispensasi.

"Ini juga harus diberikan sanksi tegas," ucap kata AI dalam keterangannya yang diterima Suara.com pada Senin, 26 Mei 2025.

Made with Flourish

Sebagaimana diketahui, dalam dalam Undang-Undang Perkawinan diatur usia minimal perkawinan 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Namun, dalam undang-undang tersebut juga mengatur pernikahan di bawah usia 19 tahun bisa dilakukan dengan mengajukan dispensasi ke pengadilan agama dan pengadilan negeri bagi yang beragama bukan Islam.

Respon Pemerintah

Sementara itu, Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Veronica Tan mengaku prihatin dengan kasus pernikahan anak yang terjadi di Lombok Tengah. Dia mengatakan bahwa pernikahan dini seperti membuka pintu penderitaan bagi anak.

"Mereka belum memahami konsekuensi dan tanggung jawab besar dalam kehidupan berumah tangga. Hak anak atas pendidikan, tumbuh kembang, dan menikmati masa kanak-kanaknya dirampas oleh praktik ini," ujar Vero.

Berdaraskan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kementerian PPA) dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa anggka pernikahan usia dini mengalami penurunan. Pada 2021 angka perkawinan anak menurun dari 10,35 persen menjadi 9,23 persen. Kemudian menjadi 8,06 persen di tahun 2022, dan menjadi 6,92 persen pada tahun 2023.

Secara data angka pernikahan anak mengalami penurunan, tapi yang perlu dilihat adalah jumlah permohonan dispensasi pernikahan anak.

Made with Flourish

Peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yuly Astuti mengutip data dari studi yang berjudul, "One Household, Two Worlds: Perbedaan Persepsi terhadap Pernikahan Anak antara Anak Remaja dan Orang Dewasa di Indonesia."

Tercatat pada paruh pertama tahun 2020, terdapat 34.413 permohonan dispensasi pernikahan anak. Jumlah itu meningkat sebesar 45 persen dibandingkan tahun 2019 yang mencatatkan 23.700 permohonan.

"Angka ini menunjukkan adanya kecenderungan yang meningkat dalam permintaan dispensasi pernikahan di Indonesia, yang menyoroti pentingnya peran pengawasan dan edukasi terkait dampak pernikahan anak pada masyarakat," kata Yuly kepada Suara.com, Senin, 27 Mei 2025.

Yuly pun menyebut kasus yang terjadi di Lombok Tengah mencerminkan pola yang lebih luas dan dapat disebut sebagai fenomena gunung es. Kasus yang dialami dua remaja di Lombok Tengah itu hanya sebagian kecil yang muncul di permukaan, sementara masalah yang lebih besar tersembunyi atau tidak terlihat jelas.

Yuly menjelaskan, dampak dari pernikahan anak tidak terlihat secara langsung. Dampaknya akan terlihat setelah pernikahan. Dampak seperti pendidikan yang terbengkalai, kemiskinan yang berlanjut, kematian ibu dan bayi, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Terdapat sejumlah faktor yang mendorong terjadinya pernikahan anak, di antaranya budaya, pendidikan/pengetahuan, dan ekonomi. Faktor budaya misalnya, masih adanya tradisi lokal dan kepercayaan yang memungkinkan terjadinya pernikahan anak.

Di Nusa Tenggara Barat, terdapat tradisi Merarik atau Merarik Kodek. Dalam tradisi ini, pernikahan dilaksanakan setelah mempelai pria menculik mempelai wanitan ke tempat yang tersembunyi agar mendapatkan restu.

Dalam beberapa kasus, banyak pria sengaja mengantarkan pacarnya pulang larut malam agar mendapatkan restu untuk menikah. Sebab dalam kepercayaan mereka, jika seorang pria membawa anak perempuan keluar malam atau pulang larut malam, maka ia harus menikahinya.

Selain itu, dalam masyarakat masih banyak meyakini bahwa kedewasaan itu diukur setelah seseorang memasuki masa pubertas. Beberapa komunitas ada juga yang meyakini bahwa seseorang yang belum menikah di atas usia 30 tahun dianggap sebagai perawan tua.

"Dalam pandangan ini menikah muda dianggap lebih baik daripada menjadi tua dan belum menikah. Kepercayaan semacam ini memperlihatkan bagaimana budaya lokal berperan dalam mempengaruhi keputusan untuk menikah pada usia yang masih sangat muda," ujar Yuly.

Kemudian faktor ekonomi turut mendorong terjadinya pernikahan anak. Dalam beberapa penelitian, kata Yuly, anak perempuan yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah memiliki kemungkinan hampir lima kali lebih besar untuk menikah sebelum usia 18 tahun dibandingkan dengan anak perempuan yang berasal dari keluarga dengan pendapatan tinggi.

Selain itu, anak perempuan yang tinggal di daerah pedesaan memiliki peluang tiga kali lebih besar untuk menikah sebelum usia 18 tahun dibandingkan dengan anak perempuan yang tinggal di perkotaan.

Pendidikan dan pengetahuan juga menjadi faktor selanjutnya yang mendorong pernikahan anak. Latar belakang pendidikan kepala keluarga menjadi salah satu faktor penting.

Dia menambahkan, anak perempuan dari kepala keluarga yang menyelesaikan pendidikan hingga tingkat universitas memiliki kemungkinan tiga kali lebih kecil untuk menikah sebelum usia 18 tahun dibandingkan dengan mereka yang kepala keluarganya hanya tamat sekolah dasar.

Keterbatasan pengetahuan juga turut menjadi penyebab. Banyak orang tua yang tidak mengetahui dampak buruk pernikahan anak, baik dari segi kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Di banyak daerah, akses pengetahuan terhadap hak anak dan perempuan masih terbatas. Karena minimnya pengetahuan menjadikan pernikahan anak suatu hal yang normal.

Mimpi Indonesia Emas 2045?

Pada 2045 Indonesia akan berusia 100 tahun. Bersamaan dengan itu, Indonesia mendapatan bonus demografi. Masa ketika penduduk berusia produktif lebih banyak dibanding dengan penduduk berusia non-produktif. Dominasi penduduk yang berusia produktif diharapkan menjadi momentum untuk meningkatkan kedaulatan, kesejahteraan, dan perekonomian nasional.

Namun dengan masih tingginya angka pernikahan anak, cita-cita Indonesia 2045 bisa terhambat. Perempuan adalah kelompok yang paling terdampak dari pernikahan anak. Yuly menuturkan, perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun, memiliki peluang yang jauh lebih kecil untuk menyelesaikan pendidikan menengah.

Hal itu berdampak besar terhadap perkembangan sumber daya manusia. Sementara salah satu pilar utama Indonesia Emas 2045 adalah pendidikan yang berkualitas.

Selain itu, lanjut Yuly, pernikahan anak juga berpotensi merugikan perekonomian negara. Diperkirakan pernikahan anak dapat mengurangi perekonomian setidaknya 1,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Ini menunjukkan bahwa pernikahan anak tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada kemajuan ekonomi negara yang harus berkembang untuk mencapai cita-cita Indonesia Emas 2045," ujarnya.

Dari sisi kesehatan, dampaknya tak bisa dipandang sebelah mata. Komplikasi selama kehamilan dan persalinan menjadi penyebab kematian kedua terbanyak bagi anak perempuan berusia 15 hingga 19 tahun.

Bayi yang dilahirkan oleh ibu berusia di bawah 20 tahun juga memiliki resiko kematian 1,5 kali lebih tinggi pada 28 hari pertama. Kemudian, bayi yang lahir dari pernikahan anak lebih berpotensi mengalami kekurangan gizi bahkan stunting.

"Dampak dari masalah ini akan dirasakan dalam jangka panjang. Karena anak-anak yang mengalami stunting berpotensi memiliki kualitas sumber daya manusia rendah, yang tentu saja akan mempengaruhi produktivitas dan daya saing bangsa di masa depan," terang Yuly.

Pernikahan anak yang rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT mempengaruhi kesehatan mental dan fisik. Kekerasan itu bukan hanya merugikan individu, tetapi juga dapat memperburuk ketidaksetaraan gender yang menjadi hambatan besar dalam mencapai Indonesia Emas 2045. Sebab perempuan diharapkan memiliki peran yang lebih besar dalam pembangunan negara.

"Untuk mencapai Indonesia Emas 2045 kita perlu memastikan bahwa setiap anak, terutama perempuan memiliki akses penuh ke pendidikan dan kesehatan yang baik serta perlindungan dari praktik pernikahan dini yang merugikan," sambungnya.


Terkait

Pernikahan Dini di Lombok Viral: LPA Kecam, Orang Tua Terancam Efek Jera!
Senin, 26 Mei 2025 | 15:55 WIB

Pernikahan Dini di Lombok Viral: LPA Kecam, Orang Tua Terancam Efek Jera!

Pernikahan tersebut menjadi sorotan netizen karena pasangan tersebut dinilai belum siap dilihat dari tingkah sang pengantin perempuan yang terlihat tantrum.

Soroti Pernikahan Dini di Lombok, Wamen Veronica Tan Prihatin: Itu Awal Penderitaan Anak
Senin, 26 Mei 2025 | 13:40 WIB

Soroti Pernikahan Dini di Lombok, Wamen Veronica Tan Prihatin: Itu Awal Penderitaan Anak

"Kamisangat prihatin masih berlangsungnya praktik perkawinan anak yang dibalut dalam budaya..."

Terbaru
Penghapusan Syarat Usia Kerja: Langkah Penting Atasi Pengangguran Dewasa
polemik

Penghapusan Syarat Usia Kerja: Langkah Penting Atasi Pengangguran Dewasa

Selasa, 27 Mei 2025 | 12:41 WIB

"Insya Allah akan kami respons segera dengan suatu imbauan dan SE," kata Yassierli.

Amran Sulaiman dan Mimpi Besar PPP Lolos Parlemen polemik

Amran Sulaiman dan Mimpi Besar PPP Lolos Parlemen

Selasa, 27 Mei 2025 | 08:05 WIB

Saya butuh berkali-kali meyakinkan beliau untuk bersedia maju, sampai saya harus ke Makassar meyakinkan beliau," ujar Rommy.

Opini Mahasiswa Dibalas Represif, Pembungkaman Ala Orde Baru Hidup Kembali? polemik

Opini Mahasiswa Dibalas Represif, Pembungkaman Ala Orde Baru Hidup Kembali?

Senin, 26 Mei 2025 | 22:01 WIB

Mahasiswa UI, YF, diduga diintimidasi usai kritik penempatan TNI di jabatan sipil. KontraS melihat ini sebagai pola represif, mirip Orde Baru.

Bukan Kasus Biasa, Korupsi PDNS Ungkap Bobroknya Tata Kelola Digital RI polemik

Bukan Kasus Biasa, Korupsi PDNS Ungkap Bobroknya Tata Kelola Digital RI

Senin, 26 Mei 2025 | 17:29 WIB

Korupsi proyek PDNS Kemenkominfo (2020-2024) rugikan negara ratusan miliar. Kejari Jakpus tetapkan 5 tersangka, termasuk 'orang dalam'.

Usia Pensiun ASN Diperpanjang: Reformasi Birokrasi atau Ajang Abadi Pegawai Negeri? polemik

Usia Pensiun ASN Diperpanjang: Reformasi Birokrasi atau Ajang Abadi Pegawai Negeri?

Senin, 26 Mei 2025 | 12:07 WIB

Korpri usul perpanjangan usia pensiun ASN, dikhawatirkan hambat regenerasi dan bebankan anggaran.

KPU Sewa Apartemen dan Kantor Mewah Miliaran Rupiah, Urgen atau Gengsi? polemik

KPU Sewa Apartemen dan Kantor Mewah Miliaran Rupiah, Urgen atau Gengsi?

Senin, 26 Mei 2025 | 08:04 WIB

Dugaan pemborosan anggaran KPU terkait penyewaan apartemen dan ruang kantor pimpinan terungkap dalam sebuah dokumen, padahal sudah ada fasilitas dinas.

Persib Back to Back: Mental Juara dan Tangan Dingin Bojan Hodak polemik

Persib Back to Back: Mental Juara dan Tangan Dingin Bojan Hodak

Minggu, 25 Mei 2025 | 13:06 WIB

Mental juara para pemain dan tangan dingin Bojan Hodak jadi kunci keberhasilan Persib Bandung musim ini.