Suara.com - RENCANA pemberian gelar pahlawan kepada Marsinah kandas. Gelar itu tidak jadi disematkan kepada aktivis buruh perempuan tersebut pada tahun ini. Alasa waktu yang tak memungkinkan, begitu dalih disampaikan Menteri Sosial Saifullah Yusuf.
Gus Ipul sapaan akrab Saifullah menyebut pemberian gelar itu masih berproses di Nganjuk, Jawa Timur, kampung halaman Marsinah. Pasalnya, pemberian gelar pahlawan kepada seorang tokoh harus persetujuan masyarakat yang diusulkan ke pemerintah kabupaten/kota, provinsi hingga ke Kementerian Sosial dan Dewan Gelar.
Jangka waktu proses usulan itu bervariasi, tergantung kelengkapan dokumen, bukti sejarah hingga penilaian dari tim ahli dan akademisi. Bahkan bisa memakan waktu satu hingga tiga tahun.
"Kadang diusulkan ditolak, lalu diusulkan lagi. Itu bisa berulang,” kata Gus Ipul kepada wartawan pada Selasa (20/5/2024).
Maka dari itu, lanjut Gus Ipul, kecil peluang bagi Marsinah untuk mendapatkan gelar pahlawan pada tahun ini. Meski usulan tersebut mendapat perhatian dari Presiden Prabowo Subianto tidak serta merta bisa langsung diberikan, harus melalui mekanisme yang telah ada.
Usulan menjadikan Marsinah sebagai pahlawan semakin menguat setelah pernyataan Prabowo pada peringatan May Day di Silang Monas, Jakarta Pusat, pada 1 Mei lalu. Prabowo mengaku mendapatkan usulan dari kelompok buruh. Mengingat belum ada pahlawan nasional yang berlatar belakang buruh.
Di hadapan ribuan buruh yang hadir, Prabowo menyampaikan dukungannya agar Marsinah dikukuhkan sebagai pahlawan nasional.
"Marsinah jadi pahlawan nasional asal seluruh pimpinan buruh mewakili kaum buruh saya akan mendukung Marsinah menjadi pahlawan nasional," kata Prabowo saat itu.
Marsinah adalah aktivis buruh yang dibunuh dengan keji pada masa Orde Baru. Dia buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik pembuat jam yang berada di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Semasa hidup, Marsinah dikenal vokal menyuarakan hak-hak kaum buruh. Perjuangannya terhenti setelah ia diculik, diperkosa, disiksa, hingga dibunuh pada 8 Mei 1993.
Sebelum ditemukan meninggal, Marsinah terlibat dalam aksi unjuk rasa menuntut kenaikan gaji dan perbaikan kondisi kerja.
Saat itu mereka menyampaikan 12 tuntutan, termasuk kenaikan upah pokok dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari dan tunjangan tetap Rp550 per hari. Marsinah termasuk 15 orang yang bernegosiasi dengan perusahaan.
Usai aksi unjuk rasa, 13 rekannya dipanggil ke Komando Distrik Militer atau Kodim 0816/Sidoarjo pada 5 Mei 1993. Marsinah sempat menyusul ke sana untuk memastikan keberadaan rekan-rekannya. Namun setelah itu Marsinah tak pernah terlihat lagi.
Tiga hari berselang Marsinah ditemukan tak bernyawa di sebuah gubuk. Tubuhnya berlumur darah dan penuh luka, tanda-tanda penyiksaan berat. Bahkan diduga kuat Marsinah juga diperkosa.
Kepolisian mengusut kematian Marsinah. Namun prosesnya banyak kejanggalan. Yadi Santoso, pemilik pabrik PT Catur Putra Surya ditetapkan sebagai tersangka.
Berdasarkan berita acara yang dibacakan saat sidang Yadi disebut membunuh Marsinah karena dinilai agresif melakukan perlawanan terhadap perusahaan. Marsinah dianggap biang kerok aksi mogok kerja yang membuat perusahaan rugi.
Yudi membantah tuduhan itu. Dia menyebut berita acara itu dikarang. Dia dipaksa agar mengaku sebagai pelaku pembunuh Marsinah. Dia juga mengaku mendapatkan penyiksaan saat ditahan di Komando Daerah Militer V Brawijaya.
Selain Yudi, terdapat juga beberapa orang lainnya yang dijadikan sebagai tersangka, Ada Suwono dan Suprapto. Mereka pun sempat diadili di pengadilan dan dinyatakan bersalah.
Belakangan mereka dibebaskan oleh Mahkamah Agung, karena tidak terbukti bersalah. Sejak saat itu, pelaku utama pembunuhan Marsinah belum terungkap sampai sekarang. Namun, berdasarkan sejumlah laporan, kematian Marsinah diduga melibatkan aparat militer.
Bersamaan dengan Marsinah, Soeharto juga diusulkan diberikan gelar pahlawan. Presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu termasuk 10 tokoh yang diusulkan menjadi pahlawan tahun ini. Nama Soeharto bersanding dengan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.
Gus Ipul mengatakan tahun ini untuk ketiga kalinya Soeharto diusulkan menjadi pahlawan, sebelumnya pada 2010, dan 2015.
Usulan itu semakin menguat setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR RI mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN). Keputusan itu diambil saat rapat pimpinan MPR pada 23 September 2024.
Gus Ipul pun menyebut Soeharto sudah memenuhi syarat untuk dijadikan pahlawan, tinggal menunggu keputusan untuk dibawa ke Dewan Gelar.
Hapus Impunitas Kasus Marsinah
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana mengapresiasi usulan pemberian pahlawan kepada Marsinah. Meski ada hal yang jauh lebih penting, yaitu keadilan bagi Marsinah.
"Justru bukan gelar pahlawan untuk Marsinah kami pikir, tapi penegakan hukum yang adil dan penghapusan impunitas dalam kasus Marsinah. Itu yang kita butuhkan," kata Arif kepada Suara.com, Rabu (21/5/2025).
Bagi YLBHI keadilan untuk Marsinah dan keluarganya jauh lebih mendesak. Pemerintah harus segera menuntaskan, termasuk mengadili anggota militer yang diduga kuat terlibat dalam pembunuhan Marsinah.
Arif menegaskan dalam konteks penegakan hak asasi manusia, pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab. Soeharto pun menurutnya harus bertanggung jawab, sebab kematian Marsinah terjadi pada masa pemerintahan orde baru.
"Artinya Soeharto pun bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak asasi manusia saat itu, di mana Marsinah dibunuh secara kejam, tidak manusiawi oleh aparatur negara karena memperjuangkan hak-hak buruh," ujarnya.
Di sisi lain, Arif menilai dukungan Prabowo agar Marsinah dijadikan pahlawan hanya untuk kepentingan politik. Sekadar mengambil hati kaum buruh. Yang lebih mengkhawatirkan adalah sebagai upaya meredam penolakan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.
"Bisa jadi (upaya meredam penolakan), karena kan pemberian gelar pahlawan itu tetap membutuhkan dukungan publik," katanya.
Sejak mencuatnya usulan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto, penolakan berdatangan dari berbagai kalangan masyarakat mulai dari aktivis hingga akademisi. Terbaru, pada Kamis 15 Mei lalu, Koalisi Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto menggeruduk Kementerian Sosial. Mereka menolak Soeharto dijadikan pahlawan.
Mereka merujuk pada sejumlah pelanggaran HAM berat terkait Soeharto yang hingga saat ini mandek. Seperti Peristiwa 1965–1966, penembakan misterius 1981-1985, peristiwa Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, operasi militer di Aceh antara 1989-1998, serta kasus penghilangan paksa sejumlah aktivis pada 1997-1998.
Sejumlah kasus pelanggaran HAM berat itu sudah cukup menjadi pertimbangan untuk tidak memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto.
Sementara itu, Koordinator Dewan Buruh Nasional KASBI, Nining Elitos juga mengungkapkan hal yang sama. Nining mengatakan seiring dengan proses usulan itu juga harus dibarengi dengan upaya penegakan hukum.
"Keluarga Marsinah harus mendapatkan keadilan dan para pelaku diseret ke pengadilan serta diberikan hukuman yang setimpal," tegas Nining.
Wakil Koordinator Bidang Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Andrie Yunus setuju dengan pendapat Arif dan Nining. Selain usulan pemberian gelar pahlawan, penuntasan kasus pembunuhan Marsinah penting segera dilakukan.
"Jangan sampai kemudian penyematan gelar pahlawan justru menihilkan peran negara untuk menuntaskan kasus pembunuhan Marsinah," katanya.
"Kalau Pak Harto diberikan gelar pahlawan, terus yang memperjuangkan aktivis gerakan reformasi itu pada saat itu ya berarti pengkhianatan..."
"Iyalah (Marsinah lebih layak)..."
Pemerintah melalui Kementerian Sosial menyampaikan pemberian gelar pahlawan untuk Marsinah kemungkinan tidak dilakukan pada tahun ini.
Tampaknya itu imej yang ingin dibangun Prabowo dengan menolak dua periode digaungkan saat ini," ujar Jamiluddin.
Penyelidikan terhadap Budi Arie dapat dilakukan dengan menerapkan pasal suap atau gratifikasi.
Parpol sebenarnya telah mendapat dana bantuan dari APBN, tapi nominalnya masih terbilang kecil.
"Pak Prabowo meminta para menterinya lebih menjaga diri dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Kok ini malah diulangi lagi," kata Edi.
Pemerintah terlalu berhati-hati, bahkan cenderung tunduk pada kepentingan bisnis dan investor teknologi.
Tujuan ekonomi Indonesia sesuai amanat konstitusi bukan hanya soal mencari keuntungan belaka, tetapi mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Akan lebih efektif dan efisien jika Jokowi memanfaatkan partai yang sudah eksis," ujar Agung.