Aksi Akbar Ojol di Istana: Mengapa Masalah Tarif Tak Kunjung Rampung?
Home > Detail

Aksi Akbar Ojol di Istana: Mengapa Masalah Tarif Tak Kunjung Rampung?

Erick Tanjung | Muhammad Yasir

Selasa, 20 Mei 2025 | 08:01 WIB

Suara.com - Ribuan pengemudi ojek dan taksi online atau ojol akan menggeruduk Istana Kepresidenan, Jakarta pada hari ini Selasa, 20 Mei 2025. Aksi besar-besaran ini dipicu atas kebijakan platform atau aplikator seperti Gojek, Grab, dan Maxing yang memotong biaya aplikasi melebihi batas aturan maksimal 20 persen.

KETUA UMUM Garda Indonesia, Igun Wicaksono mengklaim Aksi Akbar 2025 ini akan diikuti puluhan ribuan massa. Mereka berasal dari berbagai daerah; seperti Jabodetabek, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Lampung dan Palembang.

“Akan sangat besar kemungkinan sebagian Jakarta akan lumpuh karena kemacetan panjang,” kata Igun kepada Suara.com, pada Jumat, 16 Mei pekan lalu.

Ada tiga tuntutan utama yang disampaikan dalam aksi ini. Salah satunya menuntut pemerintah agar memberi sanksi tegas kepada perusahaan aplikator yang selama ini mereka tuding telah melakukan pemotongan biaya aplikasi hingga mencapai 50 persen.

Selain itu, mereka juga menuntut agar potongan biaya aplikasi sebesar 20 persen yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan atau Kepmenhub Nomor KP 1001 Tahun 2022 diturunkan menjadi 10 persen. Serta meminta adanya payung hukum terkait status kerja, hingg revisi tarif penumpang dan penghapusan program-program seperti aceng, slot, hemat, dan prioritas yang selama ini dinilai merugikan pengemudi.

Igun menyebut tuntutan atas penyelesaian masalah-masalah tersebut sebenarnya telah berulang kali disampaikan lewat aksi damai. Namun pemerintah dan perusahaan aplikator tak pernah memberikan tanggapan serius.

Ilustrasi Aksi massa pengemudi ojek online atau ojek saat berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta beberapa waktu lalu. Pengemudi ojol akan kembali menyuarakan aspirasinya, Selasa 20 Mei 2025. [Suara.com/Alfian Winanto]
Ilustrasi Aksi massa pengemudi ojek online atau ojol berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Selasa 20 Mei 2025. [Suara.com/Alfian Winanto]

“Sehingga aksi kali ini mungkin kami harus lebih keras,” ujarnya.

Selain menggelar aksi turun ke jalan, para pengemudi ojek online dan taksi online juga akan melakukan aksi offbid atau mematikan aplikasi secara massal. Aksi tersebut diklaim akan diikuti ratusan ribu pengemudi di berbagai daerah pada 20 Mei 2024 mulai pukul 00.00 hingga 23.59 WIB.

Aksi offbid massal ini akan turut diikuti oleh para pengemudi ojek online dan taksi online yang tergabung dalam Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI). Ketua SPAI Lily Pujiati menyebut aksi itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kondisi kerja tidak layak yang dirasakan para pengemudi selama ini. Salah satunya adanya potongan biaya dari platform yang mencapai 70 persen.

“Pengemudi hanya mendapatkan upah sebesar Rp5.200 dari hasil kerjanya mengantarkan makanan. Padahal pelanggan membayar ke platform sebesar Rp18.000. Dari sini jelas terlihat platform mendapat keuntungan dengan cara memeras keringat pengemudi ojol,” ungkapnya.

Kumpulkan Perusahaan Aplikator

Di tengah adanya tuntutan dari pengemudi terkait potongan tarif, Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi mengumpulkan empat perwakilan perusahaan aplikator untuk berdiskusi. Mereka di antaranya; Grab, Maxim, Goto dan inDrive.

Dudy menilai keputusan untuk mengubah aturan terkait potongan biaya aplikasi dari 20 persen menjadi 10 persen sebagaimana tuntutan dari pengemudi itu perlu pertimbang matang. Bukan hanya dari sisi pengemudi dan perusahaan aplikator, tapi juga harus mempertimbangkan dari sisi pengguna layanan hingga jutaan UMKM.

“Kalau saya tidak berpikir keseimbangan, berkelanjutan, bisa saja. Nggak ada susahnya menandatangani aturan agar potongan diturunkan jadi 10 persen. Tapi rasanya tidak arif bagi kami kalau kami tidak mendengar semuanya,” kata Dudy saat berdiskusi dengan perwakilan empat perusahaan aplikator di Aroem Resto & Cafe, Jakarta, Senin (19/5/2025).

Berdasar hasil diskusi dengan empat perwakilan perusahaan aplikator, Dudy menyebut sebagian besar dari mereka selama ini mengklaim menerapkan potongan 20 persen. Di antaranya berupa potongan komisi 20 persen yang diambil dari pengemudi selaku mitra dan 20 persen potongan biaya aplikasi yang dibebankan kepada pengguna layanan. Potongan yang diambil tersebut dipergunakan perusahaan aplikator untuk operasional dan pengembangan bisnis.

Adapun terkait rencana aksi yang digelar para pengemudi ojek online dan taksi online, Dudy menilai itu sah saja dilakukan sebagai bagian dari hak warga negara dalam menyampaikan aspirasi.

“Jadi monggo, silakan menyampaikan aspirasinya,” katanya.

Presiden Prabowo Subianto (kedua kiri) berbincang dengan CEO Gojek Patrick Walujo (kanan) dan para pengemudi ojek daring seusai menyampaikan keterangan terkait pemberian tunjangan hari raya (THR) di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (10/3/2025). [ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/sgd/YU]
Presiden Prabowo Subianto (kedua kiri) berbincang dengan CEO Gojek Patrick Walujo (kanan) dan para pengemudi ojek daring seusai menyampaikan keterangan terkait pemberian tunjangan hari raya (THR) di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (10/3/2025). [ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/sgd/YU]

Ketidakadilan Struktural 

Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arif Novianto mengungkap sejumlah faktor penyebab di balik persoalan tarif ojek online dan taksi online yang tak kunjung selesai. Selain disebabkan adanya relasi kuasa yang tak seimbang antara aplikator dengan pengemudi, persoalan tersebut terus terjadi karena tidak adanya keberpihakan negara dalam melindungi pekerja di sektor tersebut.

Arif yang pernah menerbitkan penelitian bertajuk: “Tarif Murah bagi Pengemudi Online di Indonesia” itu menyebut, model bisnis platform digital seperti Gojek, Grab dan sejenis tersebut dibangun dengan narasi kemitraan yang fleksibel dan modern. Namun dalam praktiknya justru sangat eksploitatif.

Di mana, perusahaan menggunakan status “mitra” untuk menghindari kewajiban sebagai pemberi kerja—seperti upah minimum, jaminan sosial, dan perlindungan ketenagakerjaan. Tetapi di sisi lain mereka tetap mengontrol algoritma, penentuan tarif, insentif, hingga sanksi yang menandakan dominasi sepihak.

“Ini membuat pengemudi berada dalam posisi yang sangat rentan secara ekonomi dan politik,” jelas Arif kepada Suara.com, Senin (19/5/2025).

Masalah tersebut menurut Arif tak kunjung selesai karena negara belum punya posisi tegas untuk mengakui bahwa ini adalah bentuk kerja baru yang membutuhkan regulasi baru.

Pemerintah cenderung pasif dan membiarkan dinamika ini berlangsung atas nama fleksibilitas pasar dan inovasi digital. Padahal implikasinya adalah ketidakadilan struktural bagi jutaan pengemudi.

“Jadi masalah ini berlarut karena tidak adanya komitmen politik yang kuat dari pemerintah sebagai regulator. Pemerintah terlalu berhati-hati, bahkan cenderung tunduk pada kepentingan bisnis dan investor teknologi. Platform dianggap sebagai motor pertumbuhan ekonomi digital, sehingga kritik atas praktik kerjanya sering diabaikan,” bebernya.

Alih-alih mendorong regulasi yang melindungi pengemudi, Arif menilai pemerintah selama ini justru cenderung memfasilitasi logika bisnis platform dengan alasan menjaga iklim investasi. Dalam konteks ini, pemerintah menurutnya gagal menjalankan perannya sebagai penjamin keadilan sosial dan kecenderungan hanya berperan sebagai fasilitator pasar.

“Ketika negara tidak hadir secara aktif dan berpihak, maka perusahaan akan terus mengontrol proses pengambilan keputusan, termasuk soal tarif. Padahal, tarif menyangkut kehidupan dan penghidupan jutaan orang yang menggantungkan hidup pada platform," ungkapnya.

"Tanpa keberpihakan negara, pengemudi akan terus menjadi pihak yang kalah dalam relasi ini. Dan hal itu yang kita saksikan sampai sekarang,” sambungnya.

Karena itu, Arif dalam penelitiannya menyebut praktik kerja “kemitraan” antara perusahaan aplikator dan pengemudi tak ubahnya sebagai kemitraan semu. Padahal seharusnya dalam teori relasi kerja, kemitraan yang setara menuntut kekuasaan negosiasi yang seimbang. Tapi di platform digital, aplikator justru memiliki kontrol penuh atas algoritma, informasi, dan kebijakan—sementara pengemudi tidak punya ruang negosiasi yang setara.

“Ini membuat mereka tidak punya daya tawar, dan dalam banyak kasus, bahkan mereka tidak tahu-menahu soal perubahan kebijakan tarif atau insentif,” tuturnya.

Arif menilai apa yang menjadi salah satu tuntutan pengemudi ojek online dan taksi online terkait adanya payung hukum untuk menjamin status kerja mereka sangat realistis. Sebab payung hukum baru yang secara eksplisit mengakui bentuk kerja dalam ekonomi digital ini memang sangat dibutuhkan.

“Atau menegakkan pengklasifikasian pengemudi yang selama ini keliru, dari mitra menjadi pekerja. Sebab, hasil riset saya dan tim menunjukkan bahwa 58 persen pengemudi online yang memilih statusnya sebagai buruh, hanya 42 persen yang memilih sebagai mitra,” pungkasnya.


Terkait

Istana Minta Aksi Ojol Jangan Ganggu Kepentingan Masyarakat: Kita Cari Win-win Solution-nya
Senin, 19 Mei 2025 | 21:13 WIB

Istana Minta Aksi Ojol Jangan Ganggu Kepentingan Masyarakat: Kita Cari Win-win Solution-nya

Pemerintah hormati demo ojol 20 Mei 2025 sebagai hak konstitusional, namun imbau tidak ganggu kepentingan publik. Kemenhub terbuka diskusi dan tindaklanjuti aspirasi.

Jelang Demo Ojol Besar-besaran Esok Hari
Senin, 19 Mei 2025 | 22:04 WIB

Jelang Demo Ojol Besar-besaran Esok Hari

Pengemudi ojek daring yang tergabung dalam Asosiasi Pengemudi Ojol Garuda Indonesia akan menggelar aksi besar-besaran pada Selasa (21/5/2025) besok.

Sebut Mayoritas Ojol Tak Ikut Demo di Jakarta Besok, KON: Mereka Pilih Kasih Makan Anak-Istri
Senin, 19 Mei 2025 | 19:58 WIB

Sebut Mayoritas Ojol Tak Ikut Demo di Jakarta Besok, KON: Mereka Pilih Kasih Makan Anak-Istri

"...mereka lebih pilih kasih makan anak istrinya daripada ikutan demo yang isinya tunggangan politik begini."

Terbaru
Review 28 Years Later: Bukan Film Zombie Biasa, Aneh Namun Fantastis
nonfiksi

Review 28 Years Later: Bukan Film Zombie Biasa, Aneh Namun Fantastis

Sabtu, 21 Juni 2025 | 10:08 WIB

Sejak awal, 28 Years Later tampil dengan gaya visual yang mencengangkan.

Hasto Gunakan AI untuk Pledoi di Sidang: Terobosan Hukum atau Ancaman Keadilan? polemik

Hasto Gunakan AI untuk Pledoi di Sidang: Terobosan Hukum atau Ancaman Keadilan?

Jum'at, 20 Juni 2025 | 19:05 WIB

AI memiliki keterbatasan terkait aspek moral kemanusian, potensi bias dalam algoritma, serta kekhawatiran terhadap keamanan data dan privasi.

Alasan Aneh Hakim Vonis Ringan Makelar Peradilan Zarof Ricar polemik

Alasan Aneh Hakim Vonis Ringan Makelar Peradilan Zarof Ricar

Jum'at, 20 Juni 2025 | 15:55 WIB

Vonis ini belum menunjukkan sikap keras terhadap korupsi di Indonesia.

Prabowo Bubarkan Satgas Saber Pungli Warisan Jokowi: Tak Efektif atau Ada Maksud Politik? polemik

Prabowo Bubarkan Satgas Saber Pungli Warisan Jokowi: Tak Efektif atau Ada Maksud Politik?

Jum'at, 20 Juni 2025 | 13:47 WIB

Jadi sebenarnya Satgas Saber Pungli ini lahir dari kegagalan sistemik dalam penanganan korupsi kecil di birokrasi, jelas Zaenur.

Poster Kritik Gibran Berujung Represi: 'Dinasti Tiada Henti' Jadi Pemicu? polemik

Poster Kritik Gibran Berujung Represi: 'Dinasti Tiada Henti' Jadi Pemicu?

Jum'at, 20 Juni 2025 | 06:29 WIB

"Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan oleh tiga kader PMII dengan membentangkan poster merupakan tindak pidana? Kami berpendapat bukan," tegas Andrie.

Prasejarah Dihapus? Penyusunan Ulang Sejarah Indonesia Mengancam Reputasi Akademik polemik

Prasejarah Dihapus? Penyusunan Ulang Sejarah Indonesia Mengancam Reputasi Akademik

Kamis, 19 Juni 2025 | 17:20 WIB

Prasejarah itu bukan sejarah awal. Saya sebagai pra sejarawan berpikir apakah yang mengganti itu tidak berpikir panjang akan implikasi yang ditimbulkan, ujar Truman.

Dari Yovie Widianto hingga Wamen Rangkap Jabatan Komisaris: BUMN Bukan Milik Rezim! polemik

Dari Yovie Widianto hingga Wamen Rangkap Jabatan Komisaris: BUMN Bukan Milik Rezim!

Kamis, 19 Juni 2025 | 15:12 WIB

"BUMN merupakan badan usaha milik rakyat, bukan milik rezim. Sudah seharusnya penunjukan direksi maupun komisaris harus melalui seleksi kualitas individu," ujar Huda.