Suara.com - Empat belas tahun berlalu, Final Destination masih berhasil bikin saya parno dan trauma.
Ya, 14 tahun memang bukan waktu yang singkat untuk menunggu kelanjutan sebuah waralaba horor.
Banyak seri film yang mati suri lebih singkat dari itu, dan sedikit yang bisa kembali dengan kualitas yang memuaskan.
Namun, Final Destination: Bloodlines hadir dan mengingatkan kita, kenapa kita jatuh cinta pada konsep "kematian tak bisa ditipu."
Sebagai film keenam dalam seri Final Destination, Bloodlines menempuh jalur yang cukup berani.
Film ini tidak hanya mengulang formula lama, tapi juga menyuntikkan elemen baru yang membuatnya terasa relevan di era modern, sekaligus memberikan penghormatan yang layak pada warisan panjang franchise ini.
Di tengah derasnya arus reboot dan remake horor generik, Bloodlines adalah contoh bagaimana sebuah legacy sequel bisa tampil fresh, menghormati pendahulunya, dan tetap menyenangkan.
Awal yang Memikat, Lalu Kacau dengan Indah
Satu hal yang langsung terasa sejak menit pertama adalah bagaimana Bloodlines menyuguhkan pembukaan yang sangat kuat.
Adegan pembuka bukan hanya salah satu yang paling kreatif dalam sejarah franchise, tapi juga menjadi pemicu sempurna untuk menghidupkan kembali rasa trauma, ketegangan, dan antisipasi akan "kematian domino" khas Final Destination.
Setelah ledakan pertama, alurnya memang sedikit melambat untuk membangun cerita menegangkan khas film ini. Sebenarnya tak begitu merusak mood.
Justru di bagian inilah film mencoba sesuatu yang sedikit berbeda, membawa tragedi masa lalu dan hubungan keluarga sebagai fondasi emosional dari cerita.
Alih-alih hanya sekadar kelompok remaja atau orang asing yang saling terjebak takdir, Bloodlines menggali sisi generasi dan hubungan keluarga.
Ini memberi nuansa lebih gelap, lebih personal, dan terasa lebih menyayat, apalagi ketika kita tahu bahwa garis keturunan pun tak bisa lari dari takdir.
Namun jangan khawatir, setelah bagian tengah yang relatif tenang, film ini kembali menggila.
Adegan demi adegan kematian disajikan dengan gaya khas Final Destination: absurd tapi masuk akal, brutal tapi menghibur, dan selalu mengajak penonton bermain tebak-tebakan, dari mana kematian akan datang kali ini?
Humor Gelap yang Hit or Miss
Satu daya tarik yang berbeda dari Bloodlines adalah keberaniannya mengusung pendekatan yang lebih ringan dan menyisipkan humor gelap.
Ini bukan komedi, tapi film tahu kapan harus tertawa, terutama pada absurditas takdir itu sendiri.
Humor ini bisa membantu menyeimbangkan tensi dan membuat pengalaman menonton lebih menyenangkan.
Namun beberapa penonton mungkin kurang menyukainya, karena merasa humor "membunuh" ketegangan yang sudah dibangun secara perlahan.
Selain humor yang hit or miss, satu kelemahan yang masih bertahan dari film-film sebelumnya adalah karakter yang sulit disukai.
Entah karena sengaja dibuat begitu untuk menambah rasa "tidak ada yang aman," kebanyakan karakter terasa seperti pion yang siap mati, bukan orang yang benar-benar ingin kita selamatkan.
Meski begitu, ada beberapa pengecualian, terutama karakter Erik (Richard Harmon) yang menjadi semacam penyalur energi eksentrik.
Karakter yang menyimpan plot twist ini memang aneh, menyebalkan, tapi entah kenapa cukup menarik untuk diikuti.
Tony Todd dan Simpul Cerita yang Memuaskan
Kehadiran Tony Todd sebagai si misterius William Bludworth dalam setiap film Final Destination selalu menjadi magnet tersendiri.
Dalam Bloodlines, perannya tidak hanya sebagai cameo atau pengingat semata. Kali ini, ia diberi latar belakang dan penutupan yang layak.
Sebuah penghormatan emosional dan simbolik terhadap karakter yang telah menjadi wajah mistis franchise ini.
Rasanya tepat dan pantas, terutama jika ini adalah penampilan terakhirnya, mengingat sang aktor telah tutup usia pada 2024 lalu.
Tak hanya itu, Bloodlines juga memberikan ikatan yang menarik dengan film-film sebelumnya, baik secara naratif maupun simbolis.
Film ini bukan hanya sekadar sekuel, tapi juga penghubung yang merangkum inti dari seluruh waralaba, bahkan membuat Final Destination 2 terasa lebih relevan kembali.
Bagi kalian yang masih parno dengan truk pengangkut kayu gelondongan, pesan saya, siapkan mental saja.
Para penggemar setia dijamin akan merasa puas dengan banyaknya easter egg dan callback yang diselipkan tanpa terasa dipaksakan.
Visual dan Efek CGI yang Mengesankan
Secara teknis, Final Destination: Bloodlines tampil mengesankan. Efek praktikal dan CGI berpadu dengan cukup mulus, meski beberapa green screen shot masih terasa pas-pasan.
Namun di luar itu, film ini jelas punya produksi yang lebih matang dan terlihat mahal dibanding pendahulunya.
Adegan kematian pun lebih kreatif dan realistis, membuat penonton bergidik sekaligus terpukau.
Beberapa bahkan terasa sangat dekat dengan kemungkinan nyata dalam hidup kita.
Namun, itulah yang membuat Final Destination selalu menakutkan, kita tahu itu bisa saja terjadi, bahkan saat kita bersantai sedang menikmati hidup.
Penantian 14 Tahun yang Worth It
Final Destination: Bloodlines adalah bukti bahwa waralaba horor tak harus selalu tenggelam dalam nostalgia atau berupaya membuat semuanya lebih dalam dan gelap.
Film ini tahu siapa dirinya, tahu apa yang diharapkan penggemar, dan memberikannya dalam porsi yang tepat dengan sentuhan baru yang cerdas dan tidak menggurui.
Apakah ini film Final Destination terbaik? Mungkin bagi sebagian penggemar demikian.
Terbaik bukan berarti memorable. Bagi saya, versi original-nya pada 2000 silam tetap paling berkesan.
Namun tak bisa dipungkiri, Bloodlines tidak hanya menghibur, tapi juga menandai kebangkitan kembali franchise ini dengan cara yang penuh gaya.
Jika ini adalah awal dari babak baru, saya pribadi siap duduk di kursi bioskop untuk melihat bagaimana Maut akan terus bermain-main dengan kehidupan manusia.
Kontributor : Chusnul Chotimah
Adengan ciuman Luna Maya dan Maxime Bouttier di film Gundik dinilai cukup panas.
Syahrini berpidato saat gala dinner Cannes Film Festival di Cannes, Prancis.
Tas yang dikenakan Syahrini ternyata brand lokal dan harganya sekitar Rp3-4 jutaan saja loh!
Serba-serbi kehadiran Syahrini dalam acara bergengsi Festival Film Cannes 2025.
Kasus nepotisme jamak ditemui di Indonesia, tapi hampir tak pernah masuk dalam proses penyidikan
Salah satunya dengan melakukan identifikasi berbasis data terkait jemaah terdampak.
BGN mewacanakan asuransi bagi penerima program MBG usai kasus keracunan. Kritik bermunculan menilai asuransi penerima manfaat MBG beban anggaran.
Galih mencontohkan langkah Uni Emirat Arab yang berencana membangun kasino, meski negara tersebut berbasis Islam.
Menurutnya, pelatihan ini bisa menjadi solusi atas minimnya dokter spesialis kandungan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Sebanyak 13 orang tewas, sembilan warga sipil dan empat anggota TNI.
TNI punya mandat jelas pertahanan, bukan penegakan hukum. Lantas, mengapa para pengamat mengkhawatirkan kehadiran TNI di lingkungan kejaksaan?