Review Final Destination: Bloodlines, Penantian 14 Tahun yang Worth It
Home > Detail

Review Final Destination: Bloodlines, Penantian 14 Tahun yang Worth It

Sumarni

Sabtu, 17 Mei 2025 | 07:20 WIB

Suara.com - Empat belas tahun berlalu, Final Destination masih berhasil bikin saya parno dan trauma.

Ya, 14 tahun memang bukan waktu yang singkat untuk menunggu kelanjutan sebuah waralaba horor.

Banyak seri film yang mati suri lebih singkat dari itu, dan sedikit yang bisa kembali dengan kualitas yang memuaskan.

Namun, Final Destination: Bloodlines hadir dan mengingatkan kita, kenapa kita jatuh cinta pada konsep "kematian tak bisa ditipu."

Sebagai film keenam dalam seri Final Destination, Bloodlines menempuh jalur yang cukup berani.

Film Horor Final Destination: Bloodlines [Instagram]
Film Horor Final Destination: Bloodlines [Instagram]

Film ini tidak hanya mengulang formula lama, tapi juga menyuntikkan elemen baru yang membuatnya terasa relevan di era modern, sekaligus memberikan penghormatan yang layak pada warisan panjang franchise ini.

Di tengah derasnya arus reboot dan remake horor generik, Bloodlines adalah contoh bagaimana sebuah legacy sequel bisa tampil fresh, menghormati pendahulunya, dan tetap menyenangkan.

Awal yang Memikat, Lalu Kacau dengan Indah

Satu hal yang langsung terasa sejak menit pertama adalah bagaimana Bloodlines menyuguhkan pembukaan yang sangat kuat.

Adegan pembuka bukan hanya salah satu yang paling kreatif dalam sejarah franchise, tapi juga menjadi pemicu sempurna untuk menghidupkan kembali rasa trauma, ketegangan, dan antisipasi akan "kematian domino" khas Final Destination.

Setelah ledakan pertama, alurnya memang sedikit melambat untuk membangun cerita menegangkan khas film ini. Sebenarnya tak begitu merusak mood.

Justru di bagian inilah film mencoba sesuatu yang sedikit berbeda, membawa tragedi masa lalu dan hubungan keluarga sebagai fondasi emosional dari cerita.

Alih-alih hanya sekadar kelompok remaja atau orang asing yang saling terjebak takdir, Bloodlines menggali sisi generasi dan hubungan keluarga.

Ini memberi nuansa lebih gelap, lebih personal, dan terasa lebih menyayat, apalagi ketika kita tahu bahwa garis keturunan pun tak bisa lari dari takdir.

Namun jangan khawatir, setelah bagian tengah yang relatif tenang, film ini kembali menggila.

Final Destination: Bloodlines [IMDb]
Final Destination: Bloodlines [IMDb]

Adegan demi adegan kematian disajikan dengan gaya khas Final Destination: absurd tapi masuk akal, brutal tapi menghibur, dan selalu mengajak penonton bermain tebak-tebakan, dari mana kematian akan datang kali ini?

Humor Gelap yang Hit or Miss

Satu daya tarik yang berbeda dari Bloodlines adalah keberaniannya mengusung pendekatan yang lebih ringan dan menyisipkan humor gelap.

Ini bukan komedi, tapi film tahu kapan harus tertawa, terutama pada absurditas takdir itu sendiri.

Humor ini bisa membantu menyeimbangkan tensi dan membuat pengalaman menonton lebih menyenangkan.

Namun beberapa penonton mungkin kurang menyukainya, karena merasa humor "membunuh" ketegangan yang sudah dibangun secara perlahan.

Selain humor yang hit or miss, satu kelemahan yang masih bertahan dari film-film sebelumnya adalah karakter yang sulit disukai.

Entah karena sengaja dibuat begitu untuk menambah rasa "tidak ada yang aman," kebanyakan karakter terasa seperti pion yang siap mati, bukan orang yang benar-benar ingin kita selamatkan.

Meski begitu, ada beberapa pengecualian, terutama karakter Erik (Richard Harmon) yang menjadi semacam penyalur energi eksentrik.

Karakter yang menyimpan plot twist ini memang aneh, menyebalkan, tapi entah kenapa cukup menarik untuk diikuti.

Final Destination: Bloodlines (x.com)
Final Destination: Bloodlines (x.com)

Tony Todd dan Simpul Cerita yang Memuaskan

Kehadiran Tony Todd sebagai si misterius William Bludworth dalam setiap film Final Destination selalu menjadi magnet tersendiri.

Dalam Bloodlines, perannya tidak hanya sebagai cameo atau pengingat semata. Kali ini, ia diberi latar belakang dan penutupan yang layak.

Sebuah penghormatan emosional dan simbolik terhadap karakter yang telah menjadi wajah mistis franchise ini.

Rasanya tepat dan pantas, terutama jika ini adalah penampilan terakhirnya, mengingat sang aktor telah tutup usia pada 2024 lalu.

Tak hanya itu, Bloodlines juga memberikan ikatan yang menarik dengan film-film sebelumnya, baik secara naratif maupun simbolis.

Film ini bukan hanya sekadar sekuel, tapi juga penghubung yang merangkum inti dari seluruh waralaba, bahkan membuat Final Destination 2 terasa lebih relevan kembali.

Bagi kalian yang masih parno dengan truk pengangkut kayu gelondongan, pesan saya, siapkan mental saja.

Para penggemar setia dijamin akan merasa puas dengan banyaknya easter egg dan callback yang diselipkan tanpa terasa dipaksakan.

Visual dan Efek CGI yang Mengesankan

Final Destination: Bloodlines (Dok: Warner Bros)
Final Destination: Bloodlines (Dok: Warner Bros)

Secara teknis, Final Destination: Bloodlines tampil mengesankan. Efek praktikal dan CGI berpadu dengan cukup mulus, meski beberapa green screen shot masih terasa pas-pasan.

Namun di luar itu, film ini jelas punya produksi yang lebih matang dan terlihat mahal dibanding pendahulunya.

Adegan kematian pun lebih kreatif dan realistis, membuat penonton bergidik sekaligus terpukau.

Beberapa bahkan terasa sangat dekat dengan kemungkinan nyata dalam hidup kita.

Namun, itulah yang membuat Final Destination selalu menakutkan, kita tahu itu bisa saja terjadi, bahkan saat kita bersantai sedang menikmati hidup.

Penantian 14 Tahun yang Worth It

Final Destination: Bloodlines adalah bukti bahwa waralaba horor tak harus selalu tenggelam dalam nostalgia atau berupaya membuat semuanya lebih dalam dan gelap.

Film ini tahu siapa dirinya, tahu apa yang diharapkan penggemar, dan memberikannya dalam porsi yang tepat dengan sentuhan baru yang cerdas dan tidak menggurui.

Apakah ini film Final Destination terbaik? Mungkin bagi sebagian penggemar demikian.

Terbaik bukan berarti memorable. Bagi saya, versi original-nya pada 2000 silam tetap paling berkesan.

Namun tak bisa dipungkiri, Bloodlines tidak hanya menghibur, tapi juga menandai kebangkitan kembali franchise ini dengan cara yang penuh gaya.

Jika ini adalah awal dari babak baru, saya pribadi siap duduk di kursi bioskop untuk melihat bagaimana Maut akan terus bermain-main dengan kehidupan manusia.

Kontributor : Chusnul Chotimah


Terkait

Terbaru
Review 28 Years Later: Bukan Film Zombie Biasa, Aneh Namun Fantastis
nonfiksi

Review 28 Years Later: Bukan Film Zombie Biasa, Aneh Namun Fantastis

Sabtu, 21 Juni 2025 | 10:08 WIB

Sejak awal, 28 Years Later tampil dengan gaya visual yang mencengangkan.

Hasto Gunakan AI untuk Pledoi di Sidang: Terobosan Hukum atau Ancaman Keadilan? polemik

Hasto Gunakan AI untuk Pledoi di Sidang: Terobosan Hukum atau Ancaman Keadilan?

Jum'at, 20 Juni 2025 | 19:05 WIB

AI memiliki keterbatasan terkait aspek moral kemanusian, potensi bias dalam algoritma, serta kekhawatiran terhadap keamanan data dan privasi.

Alasan Aneh Hakim Vonis Ringan Makelar Peradilan Zarof Ricar polemik

Alasan Aneh Hakim Vonis Ringan Makelar Peradilan Zarof Ricar

Jum'at, 20 Juni 2025 | 15:55 WIB

Vonis ini belum menunjukkan sikap keras terhadap korupsi di Indonesia.

Prabowo Bubarkan Satgas Saber Pungli Warisan Jokowi: Tak Efektif atau Ada Maksud Politik? polemik

Prabowo Bubarkan Satgas Saber Pungli Warisan Jokowi: Tak Efektif atau Ada Maksud Politik?

Jum'at, 20 Juni 2025 | 13:47 WIB

Jadi sebenarnya Satgas Saber Pungli ini lahir dari kegagalan sistemik dalam penanganan korupsi kecil di birokrasi, jelas Zaenur.

Poster Kritik Gibran Berujung Represi: 'Dinasti Tiada Henti' Jadi Pemicu? polemik

Poster Kritik Gibran Berujung Represi: 'Dinasti Tiada Henti' Jadi Pemicu?

Jum'at, 20 Juni 2025 | 06:29 WIB

"Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan oleh tiga kader PMII dengan membentangkan poster merupakan tindak pidana? Kami berpendapat bukan," tegas Andrie.

Prasejarah Dihapus? Penyusunan Ulang Sejarah Indonesia Mengancam Reputasi Akademik polemik

Prasejarah Dihapus? Penyusunan Ulang Sejarah Indonesia Mengancam Reputasi Akademik

Kamis, 19 Juni 2025 | 17:20 WIB

Prasejarah itu bukan sejarah awal. Saya sebagai pra sejarawan berpikir apakah yang mengganti itu tidak berpikir panjang akan implikasi yang ditimbulkan, ujar Truman.

Dari Yovie Widianto hingga Wamen Rangkap Jabatan Komisaris: BUMN Bukan Milik Rezim! polemik

Dari Yovie Widianto hingga Wamen Rangkap Jabatan Komisaris: BUMN Bukan Milik Rezim!

Kamis, 19 Juni 2025 | 15:12 WIB

"BUMN merupakan badan usaha milik rakyat, bukan milik rezim. Sudah seharusnya penunjukan direksi maupun komisaris harus melalui seleksi kualitas individu," ujar Huda.