Suara.com - Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta Marullah Matali belakangan tengah tersandung kabar tak sedap. Ia dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan nepotisme.
Dalam laporan itu, mantan Wali Kota Jakarta Selatan itu diduga menggunakan jabatannya untuk menempatkan anak hingga anggota keluarganya menduduki posisi strategis di lingkungan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
Informasi yang beredar, putra Marullah Matali yang bernama Muhammad Fikri Makarim alias Kiky mendapatkan posisi sebagai tenaga ahli Sekda DKI Jakarta, posisi yang tengah dijabatnya. Sementara anggota keluarganya bernama Faisal Syafruddin menempati jabatan Plt Kepala Badan pengelola Aset Daerah Provinsi DKI Jakarta--yang sebelumnya menjabat Kepala Suku Badan BPAD Jakarta Pusat.
Belakangan, KPK telah mengonfirmasi laporan itu. Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyebut perkaranya masih dalam proses penelaahan.
"KPK kemudian akan melakukan verifikasi apakah laporan tersebut substansinya, termasuk dalam delik tindak pidana korupsi, dan jadi kewenangan KPK atau tidak,” kata Budi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (14/5/2025).
Sayang, Marullah Matali enggan berkomentar banyak soal laporan itu. Dia memilih menghindar saat dimintai klarifikasi.
"Cukup ya," ucapnya sembari berjalan meninggalkan wartawan di Balai Kota DKI Jakarta, Gambir, Jakarta Pusat pada Kamis (15/5/2025).
Nepotisme Ada Pasalnya, Tapi Jarang Ditegakkan
Kasus nepotisme jamak ditemui di Indonesia, tapi hampir tak pernah masuk dalam proses penyidikan, atau sampai pada putusan sidang di pengadilan.
Padahal, larangan nepotisme termuat dalam dalam Undang-Undang Nomor Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (UU KKN). Pasal 1 ayat 5 menyebutkan, "nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara."
Dalam UU itu, terdapat juga sanksi pidana bagi pelakunya sebagaimana diatur dalam pasal 22 yang berbunyi, "setiap penyelenggara negara atau anggota komisi pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Pakar hukum pidana Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto mengamini hal tersebut, meski sudah diatur dalam perundang-perundangan, serta berupa sanksinya, aturan itu sangat jarang atau hampir tak pernah digunakan untuk menjerat penyelenggara negara.
"Karena unsurnya tidak jelas, jadi pasal tersebut tidak bisa ditegakkan," kata Aan kepada Suara.com, Jumat (16/5/2025).
Dia menjelaskan, perbuatan nepotisme umumnya akan dijerat jika disertai dengan perbuatan korupsi, suap dan gratifikasi. Hal itu yang menjadi persoalan saat dilaporkan ke aparat penegak hukum seperti KPK, Polri atau Kejaksaan.
Aparat menegak hukum akan mengujinya, apakah ditemukan ada perbuatan yang terukur seperti korupsi hingga gratifikasi. Dan pasal yang digunakan tidak merujuk pada UU KKN, melainkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantaran Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Aan melanjutkan, jikapun perkara nepotisme diusut, umumnya berproses di internal lembaga atau institusi terkait. Yang dipertanyakan, misalnya apakah proses perekrutan pegawai sesuai prosedur, apakah pegawai yang direkrut sesuai dengan kompentensi yang dibutuhkan. Kalaupun dijatuhi hukumannya bersifat sanksi sanksi administratif.
"Yaitu dengan cara membatalkan pengangkatan seseorang yang terindikasi tidak sesuai dengan prosedur dalam pengangkatannya sebagai pegawai," ujar Aan.
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito menyebut UU KKN lahir dari semangat reformasi, setelah runtuhnya kekuasaan mantan Presiden ke 2 Soeharto pada 1998. Selama berkuasa, Soeharto banyak menempatkan keluarga hingga kroninya mengisi jabatan startegis di pemerintahannya.
Lakso menyebut akar masalah nepotisme adalah konflik kepentingan. Konflik kepentingan erat dengan korupsi. Nepotisme yang sudah pada tahap serius akan melahirkan tindakan korupsi.
Karenanya, aparat penegak hukum seperti KPK lebih dominan menggunakan pasal yang termuat dalam UU Tipikor dibanding UU KKN, karena anacaman pidananya lebih berat.
Misalnya, kata Lakso, pasal 12 huruf i UU Tipikor terkait dengan konflik kepentingan dalam pengadaan barang/jasa suatu pemerintahan, ancaman pidananya paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun penjara, serta pidana denda paling sidikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Alasan kedua, karena pembuktian nepotime ataupun kolusi lebih mudah menggunakan UU Tipikor seperti pasal 12 huruf i. Sementara jika mengacu pada UU KKN pembuktian materinya susah dilakukan.
"Jadi kalau tingkat nepotisme sudah sangat serius aparat penegak hukum lebih condong menggunakan UU Tipikor, karena pembuktiannya lebih muda dilakukan dengan membuktikan bukti materil kerugian negara," kata Lakso kepada Suara.com.
Bahaya Nepotisme
Asmiati Malik, Doctoral researcher dari University of Birmingham mengemukakan dampak buruk nepotisme dalam artikel yang ditulisnya di The Conversation pada 2018.
Dia menyebut nepotisme mengakibatkan kehilangan motivasi, kepercayaan diri, keterasingan, menyingkirkan karyawan yang memiliki keterampilan yang tinggi, dan membatasi persaingan serta inovasi. Bahkan dampak yang lebih luas, melemahkan fondasi organisasi hingga perekonomian suatu negara.
Sayangnya, kata Asmiati, bahaya dari nepotisme tidak disadari oleh masyarakat, khususnya di Indonesia. Dia melakukan penelitian terkait nepotisme dengan survei terhadap 237 responden antara Mei hingga Juni 2018.
Dari ratusan responden itu dia mewancarai 10 orang. Hasilnya, tujuh dari 10 responden menganggap nepotisme suatu hal yang lumrah.
"Mereka beralasan bahwa sudah kodratnya manusia akan memilih keluarga, teman, atau orang terdekatnya, karena faktor lebih kenal mereka secara personal. Selain itu, mereka juga tidak perlu khawatir suatu saat anggota keluarga akan mengkhianati mereka," tulis Asmiati dalam artikelnya.
Tujuh responden itu juga beranggapan, bahwa sudah tugas mereka memastikan keluarnya mendapatkan pekerjaan yang stabil dan gaji yang layak, meskipun tidak memiliki kompetensi.
Sementara tiga responden lainnya menentang nepotisme. Mereka percaya nepotisme menjadikan kompetisi tidak adil. Nepotisme membuat mereka tidak lagi yakin dengan ikhtiar belajar dan berusaha, karena pada akhirnya tidak menjadi faktor penentu.
Alvon menegaskan bahwa Arif dihadirkan sebagai saksi fakta yang seharusnya memberi keterangan atas peristiwa yang disaksikan secara langsung.
"Betul (Hasto aktor intelektual)," beber Arif.
Awalnya Harun Masiku akan ditangkap di Thamrin Residence, namun dia malah terdeteksi berada di sekitar Hotel Grand Hyatt
"Tapi mereka melakukan foto. Waktu mereka ngambil saya lihat, mereka memfoto sprinlidik itu,"
Salah satunya dengan melakukan identifikasi berbasis data terkait jemaah terdampak.
BGN mewacanakan asuransi bagi penerima program MBG usai kasus keracunan. Kritik bermunculan menilai asuransi penerima manfaat MBG beban anggaran.
Galih mencontohkan langkah Uni Emirat Arab yang berencana membangun kasino, meski negara tersebut berbasis Islam.
Menurutnya, pelatihan ini bisa menjadi solusi atas minimnya dokter spesialis kandungan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
Sebanyak 13 orang tewas, sembilan warga sipil dan empat anggota TNI.
TNI punya mandat jelas pertahanan, bukan penegakan hukum. Lantas, mengapa para pengamat mengkhawatirkan kehadiran TNI di lingkungan kejaksaan?
Saya mengimbau Presiden Prabowo menegur kepolisian untuk menghindarkan kesan bahwa pemerintahan Prabowo anti demokrasi, kata Fickar.