Suara.com - Wacana pelatihan tindakan operasi caesar bagi dokter umum di daerah 3T menuai kritik keras. Alih-alih menjadi solusi untuk masalah krisis dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi atau Obgyn, pendekatan simplifikasi yang diutarakan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin itu dikhawatirkan semakin membahayakan keselamatan ibu dan anak.
WACANA pelatihan tindakan operasi caesar bagi dokter umum pertama kali disampaikan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam wawancara bersama jurnalis Rosiana Silalahi. Menurutnya, pelatihan ini bisa menjadi solusi atas minimnya dokter spesialis kandungan di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
“Dulu dokter umum bisa melakukan caesar. Walaupun motongnya begini ya, bukannya begini,” kata Budi, sambil menirukan gerakan tangan tentang arah sayatan operasi.
Ia menyayangkan bahwa saat ini operasi caesar hanya boleh dilakukan oleh dokter spesialis Obgyn. Padahal, dalam kondisi darurat seperti di daerah 3T, Budi menilai dokter umum seharusnya bisa dilatih untuk menangani persalinan caesar.
Usulan ini, kata Budi, tidak muncul tiba-tiba. Ia mengaku mendapat dorongan setelah kunjungannya ke beberapa wilayah 3T, seperti Pulau Nias, Pulau Taliabu, dan Pulau Anambas. Di sana, ia menemukan banyak kasus kematian ibu melahirkan akibat ketiadaan dokter spesialis.
“Apakah spesialis Obgyn ada di 514 kabupaten/kota? Kalau dia cuma ada di 200, yang 300 gimana? Kalau menurut saya, 300 dokter umumnya diajarin dong, boleh,” katanya.
Budi juga memahami bahwa masyarakat di kota mungkin tidak merasakan urgensi persoalan ini. Mereka mudah mengakses dokter spesialis. Namun, situasinya sangat berbeda di pelosok.
“Banyak orang yang tinggal di kota mungkin tidak merasa pentingnya ini, karena dia bisa akses ke dokter. Tapi masyarakat yang di desa, yang di pulau-pulau itu sangat butuh,” ungkapnya.
Keselamatan Pasien Jadi Taruhan
Kritik datang dari Ketua Umum Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Yudi Mulyana Hidayat. Ia menyatakan bahwa wacana itu bertentangan dengan prinsip dasar kompetensi medis. Tidak hanya itu wacana pelatihan tindakan sectio caesarea bagi dokter umum bertentangan dengan standar kompetensi global yang diakui oleh WHO maupun World Federation Medical Education (WFME).
“Keselamatan pasien juga jadi taruhan. Terutama ibu dan bayi, ini tidak boleh kompromi dengan pendekatan simplifikasi dari tindakan kedokteran yang membahayakan,” kata Yudi kepada Suara.com, Selasa (13/5/2025).
Yudi menilai wacana pelatihan operasi caesar untuk dokter umum bukanlah solusi utama untuk menekan angka kematian ibu dan anak di daerah 3T. Menurutnya, akar masalahnya bukan pada kurangnya jumlah dokter spesialis, melainkan pada distribusinya.
Data dari Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) menunjukkan jumlah dokter spesialis Obgyn saat ini mencapai 5.680 orang.
“Itu bisa dibuatkan tiga tempat praktik. Artinya, ada 15.000 kesempatan tempat untuk mendapatkan pelayanan dokter obstetri ginekologi,” jelas Yudi.
Dengan jumlah tersebut, ia yakin jika Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mampu mengelola distribusinya secara adil dan terencana, persoalan ketiadaan spesialis di daerah 3T bisa diatasi. Apalagi jika diiringi dengan pemberian insentif yang layak agar para spesialis bersedia ditempatkan di daerah terpencil.
Bagi Yudi, membuka pelatihan operasi caesar untuk dokter umum bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya. Ia mengusulkan alternatif lain yang jauh lebih aman.
Salah satunya, bekerja sama dengan 17 fakultas kedokteran di Indonesia yang memiliki program spesialis Obgyn. Kemenkes bisa mendistribusikan para residen yang sedang menjalani pendidikan ke daerah-daerah 3T dalam kerangka sistem kesehatan akademis (academic health system).
“Artinya, banyak solusi yang lebih masuk akal dibanding memberi pelatihan bedah besar kepada dokter umum,” tegas Yudi.
Ia juga mengingatkan Kemenkes untuk lebih bijak. Di era masyarakat yang semakin kritis, kebijakan sembrono bisa menimbulkan risiko hukum.
“Dulu masyarakat tidak banyak menuntut. Sekarang bisa kita bayangkan kalau dokter umum melakukan tindakan ternyata terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan dan masyarakat menuntut, siapa yang bertanggung jawab?,” ujarnya.
Opsi Terakhir
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Slamet Budiarto sependapat dengan Yudi. Menurutnya dokter umum yang telah terlatih hanya dapat melakukan tindakan sectio caesarea dalam kondisi darurat.
Berdasar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, ketentuan itu tertuang dalam Pasal 286 dan Pasal 287.
“Tapi itu opsi terakhir dan dokter umumnya juga harus yang sudah terlatih,” jelas Slamet kepada Suara.com.
Menurut Slamet masalah ketiadaan dokter spesialis Obgyn di daerah 3T sebenarnya karena Kemenkes cenderung tidak memprioritaskan hal tersebut. Ia menilai Kemenkes saat ini cenderung lebih memprioritaskan belanja alat kesehatan.
Sebenarnya, kata Slamet, jika Kemenkes memiliki keinginan pemerataan dokter spesialis Obgyn di daerah 3T bisa terlaksana. IDI telah menghitung setidaknya untuk penempatan 1.000 dokter spesialis di daerah 3T itu memerlukan anggaran berkisar Rp1,2 triliun pertahun. Angka tersebut cenderung lebih kecil dibanding nilai belanja alat kesehatan.
“Belanja alat kesehatan triliunan, tapi untuk mengadakan dokter spesialis belum optimal. Jangan sampai terkesan karena menempatkan dokter spesialis mahal. Maka cukup dokter umum dilatih. Jangan sampai terkesan seperti itu. Dokter umum itu hanya sifatnya sementara di daerah yang betul-betul terpencil. Butuh pelatihan yang lama, butuh dokter anestesi juga,” bebernya.
Sementara Tia Khoiriyah (30) salah satu ibu hamil asal Depok, Jawa Barat berharap Kemenkes kembali mengkaji usulan ini. Sebagai perempuan yang pernah dan akan kembali menjalani persalinan sectio caesarea, ia tidak setuju jika kebijakan tersebut nantinya benar-benar direalisasikan.
“Itu pasti membuat kekhawatiran makin bertambah. Keadaan ibu hamil juga kan berbeda-beda ya saat mengandung, ada yang hamil beresiko atau komplikasi dan saya rasa hanya Obgyn saja yang punya kompetensi menangani hal itu,” tutur Tia kepada Suara.com.
Di sisi lain, Tia menilai pemerintah sudah semestinya memberikan layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Termasuk kepada ibu hamil yang berada di daerah 3T.
“Saya rasa semua ibu pasti ingin lahir dengan obgyn yang memang sudah biasa menangani operasi caesar. Karena pasti resiko yang ditimbulkan lebih rendah, dibandingkan dokter umum,” pungkasnya.
Budi menegaskan, kondisi tersebut tidak bisa dianggap sepele.
"Sambil menunggu pemenuhan dokter specialis (obgyn) saya kira tidak ada salahnya dokter umum dilatih menangani kelahiran..."
Menkes menyampaikan kekhawatiran mengenai ketimpangan distribusi dokter spesialis kandungan (obstetri dan ginekologi) di Indonesia.
"Padahal itu sangat dibutuhkan untuk alat USG dan alat-alat medis lainnya, ujar Budi.
Sebanyak 13 orang tewas, sembilan warga sipil dan empat anggota TNI.
TNI punya mandat jelas pertahanan, bukan penegakan hukum. Lantas, mengapa para pengamat mengkhawatirkan kehadiran TNI di lingkungan kejaksaan?
Saya mengimbau Presiden Prabowo menegur kepolisian untuk menghindarkan kesan bahwa pemerintahan Prabowo anti demokrasi, kata Fickar.
Lucunya Liga Indonesia, cekik wasit hanya disanksi 6 bulan tapi sampaikan kritik bisa kena larangan main 1 tahun.
no na debut dibawah naungan 88rising.
Jadi bukan cuma di atas kertas saja, kata Nisa.
Menurutnya, kunci perubahan perilaku anak adalah pemahaman. Anak harus tahu kenapa suatu hal penting dilakukan.