Suara.com - Kesepakatan antara TNI dan Kejaksaan Agung soal penempatan militer di Kejaksaan Tinggi dan Negeri memicu kekhawatiran serius. Alih-alih menjaga keamanan, langkah ini dinilai menyalahi konstitusi dan membuka pintu intervensi militer dalam ranah sipil.
TNI punya mandat jelas pertahanan, bukan penegakan hukum. Lantas, mengapa para pengamat mengkhawatirkan kehadiran TNI di lingkungan kejaksaan?
Kesepakatan penempatan anggota TNI di Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri seluruh Indonesia menuai sorotan. Kebijakan ini dianggap berbahaya karena berpotensi membuka ruang intervensi militer dalam ranah sipil.
Langkah itu tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Kejaksaan Agung dan TNI, Nomor NK/6/IV/2023/TNI, tertanggal 6 April 2023. Nota ini kemudian diperkuat melalui surat telegram Panglima TNI Nomor TR/422/2025 pada 5 Mei 2025. Isinya: perintah untuk menyiapkan dan mengerahkan personel TNI beserta perlengkapannya guna mendukung pengamanan kantor kejaksaan di seluruh Indonesia.
Instruksi ini langsung ditindaklanjuti Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD). Lewat telegram Nomor ST/1192/2025 tertanggal 6 Mei 2025, ia memerintahkan pengerahan pasukan dari Satuan Tempur dan Satuan Bantuan Tempur. Rinciannya: 30 personel untuk Kejaksaan Tinggi dan 10 personel untuk Kejaksaan Negeri.
Pengamat militer dan politik Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, menilai kebijakan ini tak bisa dilepaskan dari revisi Undang-Undang TNI yang baru saja disahkan pada Maret lalu. Bagi Ginting, ini bukan sekadar pengamanan—tapi sinyal kuat soal kembalinya peran militer di sektor sipil.
"Undang-Undang TNI yang hasil revisi kan juga dimasukkan bahwa ada militer aktif yang bisa menduduki jabatan sipil di kementerian dan lembaga," kata Ginting dikutip Suara.com pada Senin (12/5/2025) dari saluran Youtube Refly Harun, Senin (12/5/2025).
Seperti diketahui, revisi terbaru Undang-Undang TNI memperluas daftar lembaga sipil yang bisa diisi militer dari 10 menjadi 14, termasuk Kejaksaan Agung. Namun, posisi yang disebut hanya satu Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil).
Menghidupkan Dwi Fungsi TNI
Meski begitu, Direktur Imparsial Ardi Manto mengingatkan bahwa pengamanan oleh TNI di kejaksaan justru menambah kekhawatiran publik. Ia menyebut langkah ini sebagai sinyal kuat menghidupkan kembali praktik lama Dwi Fungsi TNI yang selama ini ditolak dalam semangat reformasi sektor keamanan.
"Catatan risalah sidang dan revisi yang menegaskan bahwa penambahan Kejaksaan Agung di dalam revisi UU TNI hanya khusus untuk Jampidmil ternyata tidak dipatuhi oleh Surat Perintah ini, karena jelas-jelas pengerahan pasukan bersifat umum untuk semua Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri," kata Ardi lewat keterangannya yang diterima Suara.com.
Mereka mendesak Panglima TNI segera mencabut telegram tersebut. Presiden Prabowo Subianto, sebagai panglima tertinggi TNI, dan DPR juga didesak turun tangan memastikan perintah itu dibatalkan.
"Dalam rangka upaya menjaga tegaknya supremasi sipil dalam penegakan hukum di Indonesia yang menganut negara demokrasi konstitusional," ujar Ardi.
Ardi menegaskan, jika tujuannya sekadar pengamanan, seharusnya cukup menggunakan petugas keamanan seperti satpam, bukan militer. Lembaga sipil seperti kejaksaan bukan wilayah ancaman tinggi yang membutuhkan pengerahan TNI.
Menurut Ardi, penempatan militer di lingkungan kejaksaan tidak memiliki dasar yang kuat. TNI seharusnya fokus pada pertahanan negara, bukan mengurus keamanan lembaga sipil.
Lebih dari itu, hingga kini belum ada regulasi yang secara jelas mengatur perbantuan TNI dalam operasi militer selain perang. Kesepakatan antara Panglima TNI dan Kejaksaan Agung tidak bisa dijadikan landasan untuk pengerahan pasukan.
Imparsial bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai kebijakan ini berbahaya. Tak hanya membuka celah intervensi militer dalam penegakan hukum, tapi juga mengancam independensi kejaksaan.
"Pada aspek ini, intervensi TNI di ranah penegakan hukum sebagaimana disebutkan di dalam Surat Perintah tersebut akan sangat mempengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia. Kondisi ini menimbulkan kekacauan dalam sistem ketatanegaraan yang ada dengan mencampurkan fungsi penegakan hukum dan fungsi pertahanan," jelasnya.
Karena itu, mereka mendesak Panglima TNI segera mencabut perintah dalam surat telegram tersebut. Presiden Prabowo Subianto, sebagai panglima tertinggi TNI, dan DPR juga didorong untuk turun tangan memastikan perintah itu dibatalkan.
"Dalam rangka upaya menjaga tegaknya supremasi sipil dalam penegakan hukum di Indonesia yang menganut negara demokrasi konstitusional," ujar Ardi.
Bertentangan dengan konstitusi
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai, penempatan personel TNI di lingkungan kejaksaan untuk alasan keamanan bertentangan dengan konstitusi dan TAP MPR VII/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Dalam pasal 2 ayat 1 TAP tersebut ditegaskan, "Tentara Nasional Indonesia merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia."
Penegasan serupa juga tertuang dalam Pasal 30 Ayat 3 UUD 1945. TNI disebut sebagai alat negara yang bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara.
Karena itu, Sugeng mendesak DPR segera memanggil Panglima TNI dan Jaksa Agung untuk menjelaskan dasar perintah tersebut.
"Yang tidak kalah pentingnya, DPR harus memanggil Panglima TNI dan Kasad untuk menjelaskan tupoksinya di pertahanan yang melakukan tugas keamanan dengan melanggar konstitusi dan TAP MPR VII/2000 tentang Peran TNI dan Polri," kata Sugeng.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, menyatakan pihaknya akan menjalankan fungsi pengawasan. Komisi I, yang membidangi pertahanan, luar negeri, dan intelijen, akan meninjau kebijakan tersebut secara menyeluruh.
"Komisi I DPR RI akan menjalankan fungsi pengawasan guna memastikan kebijakan ini berjalan sesuai dengan regulasi yang berlaku serta selaras dengan kepentingan nasional," kata Dave dikutip dari Antara.
Dari pihak Kejaksaan, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyebut penempatan militer sebagai bagian dari kerja sama antar institusi. Tujuannya untuk mendukung pelaksanaan tugas kejaksaan di daerah.
Menurut Harli, penggunaan TNI tidak menyalahi aturan karena TNI juga memiliki fungsi pengamanan.
"TNI juga memiliki fungsi pengamanan, apalagi di kami ada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil)," ujarnya.
Pernyataan serupa datang dari Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayjen TNI Kristomei Sianturi. Ia menegaskan bahwa kerja sama ini mengacu pada peraturan yang berlaku dan dilaksanakan secara profesional.
"TNI senantiasa menjunjung tinggi prinsip profesionalitas, netralitas, dan sinergi antar lembaga," kata Kristomei seperti dikutip dari Antara.
Disamping itu, masih banyak masyarakat yang bertanya-tanya soal iket kepala khas Sunda yang sering dipakai Dedi Mulyadi.
"...tetapi langkah tersebut baiknya dikaji kembali sebagai upaya untuk menjaga semangat awal reformasi, yakni menjaga supremasi sipil."
Wahyu menyampaikan peristiwa yang mengakibatkan korban jiwa di kalangan TNI AD dan masyarakat sipil itu terjadi pada Senin, 12 Mei 2025, pukul 09.30 WIB
Jenazah Antonius Hermawan masih dalam perjalanan ke DIY.
Saya mengimbau Presiden Prabowo menegur kepolisian untuk menghindarkan kesan bahwa pemerintahan Prabowo anti demokrasi, kata Fickar.
Lucunya Liga Indonesia, cekik wasit hanya disanksi 6 bulan tapi sampaikan kritik bisa kena larangan main 1 tahun.
no na debut dibawah naungan 88rising.
Jadi bukan cuma di atas kertas saja, kata Nisa.
Menurutnya, kunci perubahan perilaku anak adalah pemahaman. Anak harus tahu kenapa suatu hal penting dilakukan.
Tiga pria berinisial S (26), I (23), dan M (25) ditangkap tanpa perlawanan.
"Kalau sampai keliru menempatkan orang di PCO, tentu presiden sendiri yang direpotkan. Nanti justru akan menjadi beban," Yusak.