Suara.com - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali menjadi sorotan. Setelah kebijakannya mengirim anak-anak yang dianggap “nakal” ke barak militer menuai kontroversi, kini namanya viral di media sosial. Ia kini jadi sosok baru untuk menakuti anak agar mereka menurut.
Sejumlah video yang beredar di TikTok memperlihatkan orang tua memutar video Dedi yang mengingatkan anak-anak agar menurut. Video itu digunakan sebagai alat menakut-nakuti.
"Hayo, anak-anak yang enggak mau mandi, makan, tidur, susah bangun pagi, enggak mau sekolah, jajan terus, awas ya kalau sampai melawan orang tua, enggak patuh, awas Pak Gubernur nanti datang ke rumahnya, ngejemput!" ujar Dedi dalam video yang viral itu.
Dalam rekaman lain, tampak balita menangis ketakutan.
"Pak, enggak mau pak. Takut, pak. Enggak mau dijemput," ucap seorang anak sambil terisak.
Fenomena ini pun disambut antusias oleh sebagian orang tua. Mereka menilai pesan Dedi efektif membuat anak-anak menurut.
"Terima kasih Pak Gubernur, anak saya jadi mau makan lagi," tulis salah satu akun.
Dedi kini menggantikan tokoh-tokoh lama yang biasa dipakai untuk menakut-nakuti anak, seperti polisi, kuntilanak, atau wewe gombel. Jika dulu ancamannya “nanti ada polisi,” kini berubah menjadi: “Awas, nanti Pak Gubernur datang!”
Sudah Tak Relevan
Sosiolog Universitas Jenderal Soedirman, Tyas Retno Wulan, menyebut praktik menakut-nakuti anak agar patuh adalah cara yang lazim digunakan orang tua di Indonesia. Tapi, menurut Tyas yang meneliti isu anak cara ini sudah tak relevan lagi.
Ia menjelaskan, orang tua cenderung memilih sosok-sosok tertentu untuk menanamkan ketakutan. Polisi, misalnya, dipersepsikan sebagai figur kuat berpistol, membawa borgol, dan menangkap orang jahat. Sementara itu, makhluk seperti kuntilanak atau wewe gombel muncul dari mitologi. Wujudnya menyeramkan. Ceritanya selalu tentang menculik anak-anak.
“Simbol-simbol ini punya efek sosiologis,” kata Tyas.
Anak-anak melihat polisi sebagai penangkap. Kuntilanak sebagai penculik. Dari situ muncul ketakutan. Dan dari ketakutan itu, orang tua berharap anak mau menurut.
Kini muncul tokoh baru: Dedi Mulyadi. Dalam sejumlah video viral, ia berkata, “Awas ya, nanti Pak Gubernur datang ke rumah, ngejemput.” Bagi anak, ancaman “dijemput” bisa berarti satu hal: dipisahkan dari orang tuanya. Itu cukup membuat mereka takut.
Tyas menilai pendekatan semacam ini berbahaya.
“Ketakutan itu bisa menimbulkan trauma,” ujarnya.
Kepatuhan yang muncul pun semu, bukan hasil dari kesadaran, tapi dari rasa takut.
"Dia mungkin hanya menghindari rasa takut itu gitu ya. Rasa takut membuat dia mencari aman dengan menurut. Tapi bukan karena dia disiplin, tapi lebih untuk mencari rasa aman," kata Tyas saat dihubungi Suara.com, Kamis (8/5/2025).
Mendisiplinkan anak dengan menakuti, juga bisa membuat anak trauma. Kemudian berpotensi membuat anak tumbuh menjadi seorang yang penakut, selalu khawatir, tidak percaya diri, dan daya kreativitasnya bisa menurun, serta membalasnya mengeksplorasi diri.
Tidak mengubah perilaku
Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Rose Mini Agoes Salim, menilai perubahan perilaku anak yang didorong lewat ketakutan tidak akan bertahan lama. Anak hanya akan bertindak jika ada ancaman. Tanpa itu, ia tidak punya dorongan untuk melakukannya sendiri.
“Pemahaman dan keinginan anak untuk melakukan hal itu secara mandiri tidak terbentuk. Ini bukan pembiasaan yang baik,” kata Prof. Rose Mini atau yang akrab disapa Bunda Romi, kepada Suara.com.
Menurutnya, kunci perubahan perilaku anak adalah pemahaman. Anak harus tahu kenapa suatu hal penting dilakukan.
Ketika paham, ia bisa merasakannya sendiri. Dan ketika ia merasa nyaman dan senang, perilaku itu akan diulang.
“Misalnya, ‘Oh, bangun pagi itu bikin segar ya. Aku jadi nggak telat ke sekolah.’ Nah, dia rasakan sendiri manfaatnya. Karena itu datang dari dirinya, maka akan diulang.”
Bunda Romi menjelaskan bahwa metode menakuti anak sejatinya bagian dari pendekatan reward dan punishment. Jika anak patuh, ia mendapat hadiah. Jika tidak, ia dihukum. Masalahnya, anak jadi tergantung pada siapa yang mengawasi. Bukan bertindak dari kesadaran sendiri.
“Itu artinya kontrolnya eksternal, bukan dari dalam dirinya. Kalau pengontrolnya hilang, perilakunya bisa ikut hilang.”
Ia menyarankan pendekatan sebaliknya, berikan pemahaman lebih dulu. Biarkan anak mencoba dan merasakannya. Kalau ia merasa nyaman, suka, dan menikmati, maka akan muncul dorongan dari dalam diri untuk melakukannya lagi.
"Dan ini kalau terus dipupuk lama-lama dia jadi paham. Dan ini menurut saya akan lebih bertahan lama, dibandingkan kalau hanya dapat reward atau punishment," sambungnya.
Kementerian PPPA mendukung larangan study tour dan wisuda oleh Gubernur Jabar Dedi Mulyadi karena membebani orang tua. Sekolah disarankan cari metode lain yang inklusif.
Dedi Mulyadi menegaskan, bahwa para pegawai Pemprov yang sering bolos, atau tidak produktif, sehingga malas-malasan bekerja.
Dedi Mulyadi, menegaskan bahwa tidak ada kebijakan mewajibkan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos) dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Ia menilai, cara ini akan mendorong keluarga untuk lebih bertanggung jawab dalam mengatur jumlah anak, sehingga kualitas hidup meningkat.
Tiga pria berinisial S (26), I (23), dan M (25) ditangkap tanpa perlawanan.
"Kalau sampai keliru menempatkan orang di PCO, tentu presiden sendiri yang direpotkan. Nanti justru akan menjadi beban," Yusak.
Pemerintah mulai gelisah. Bukan hanya karena keresahan warga. Tapi juga karena ormas seperti ini mulai mengganggu iklim investasi.
Tim Indonesia Leaks juga menemukan adanya aliran uang dari PT MSAM dan PT JARR ke kementerian, institusi militer, hingga kepolisian.
Tembakan itu diklaim sebagai tembakan peringatan. Diarahkan ke kaki. Tapi situasi gelap, jarak tak pasti. Semua serba cepat dan tidak terkendali.
Panglima TNI batalkan mutasi Letjen Kunto, Pangkogabwilhan I, picu sorotan. Dikaitkan dengan tuntutan ayah Kunto soal Gibran. Mutasi dinilai politis, langka.
Menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos menurut sejumlah pakar bermasalah.