Suara.com - Tindakan anggota TNI menggerebek dan menangkap pengedar narkoba disorot. Terbaru terjadi di Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain melampaui wewenang, apa yang dilakukan anggota TNI tersebut dinilai berpotensi menimbulkan problem hukum.
Tiga terduga pengedar narkoba diringkus TNI di Desa Penapali, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Kamis malam, 1 Mei 2025. Penggerebekan ini dipimpin langsung oleh Danramil 1608-04/Woha, Kapten Cba. Iwan Susanto.
Menurut Dandim 1608/Bima, Letkol Inf. Andi Lulianto, penggerebekan bermula dari laporan warga. Laporan itu segera ditindak. Ia langsung menginstruksikan Danramil Iwan Susanto bersama Pasi Intel Kapten Inf. Bambang Herwanto untuk bergerak cepat.
Tiga pria berinisial S (26), I (23), dan M (25) ditangkap tanpa perlawanan. Penangkapan dilakukan di hadapan Ketua RT setempat. Barang buktinya tak main-main, 32 paket sabu seberat total 38,68 gram, satu timbangan elektrik, dan alat hisap.
Letkol Andi menyebut ini bukan operasi sembarangan. Ia menegaskan bahwa TNI merespons cepat setiap laporan masyarakat. Ini, katanya, adalah wujud komitmen TNI dalam perang melawan narkoba.
“Pemberantasan narkoba menjadi tanggung jawab moral kita bersama,” kata Andi dalam keterangannya kepada wartawan.
Suara.com menerima foto penangkapan tersebut. Ketiga pelaku tampak difoto bersama barang bukti dalam sebuah ruangan. Di belakang mereka tergantung spanduk bertuliskan “Unit Intelijen.”
Andi memastikan para tersangka beserta barang bukti sudah diserahkan ke Polres Bima.
“Para tersangka beserta barang bukti telah diserahkan ke Polres Bima untuk proses hukum lebih lanjut,” jelas Andi.
Problem Hukum di Balik Penggerebekan oleh TNI
Langkah TNI menggerebek dan menangkap tiga terduga pengedar narkoba di Bima berbuntut kritik. Sorotan datang dari DPR dan organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai, tindakan tersebut berpotensi melanggar hukum.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Adang Daradjatun, termasuk yang bersuara lantang. Dalam rapat dengar pendapat umum bersama Kepala BNN Marthinus Hukom, ia meminta BNN menaruh perhatian serius terhadap keterlibatan TNI dalam operasi semacam itu.
“Kami menyayangkan. Karena pihak yang ditangkap bisa menggugat. Meminta ganti rugi. Ini akan jadi problem hukum,” tegas Adang, Senin (5/5), di Kompleks Parlemen Senayan.
Nada serupa disampaikan Direktur Imparsial, Ardi Manto. Ia mengakui pentingnya respons cepat terhadap laporan masyarakat. Tapi, menurutnya, TNI tetap tak punya dasar hukum untuk melakukan penangkapan di wilayah sipil.
“TNI seharusnya meneruskan laporan itu ke polisi atau BNN. Mereka yang berwenang. Bukan TNI,” ujar Ardi kepada Suara.com, Rabu (7/5/2025).
Ardi menilai ada masalah koordinasi antara institusi. Ia menganggap tindakan penggerebekan dan penangkapan yang dilakukan TNI tak bisa dibenarkan.
“Ini tetap tidak dapat dibenarkan, karena bukan tertangkap tangan. Secara hukum juga lemah dan berpotensi digugat oleh tersangka terkait penangkapan yang dilakukan dan cara memperoleh alat bukti” jelas Ardi kepada Suara.com, Rabu (7/5/2025).
Sebelum Undang-Undang TNI disahkan pada Maret 2025, sempat ada usulan untuk melibatkan TNI dalam penanganan narkotika. Tapi usulan itu akhirnya dicoret.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Girlie Lipsky Aneira Ginting, mengingatkan bahwa penyidikan dan upaya paksa soal narkotika sudah diatur jelas dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
“Pasal 81 menyebut penyidik Polri dan BNN sebagai pihak berwenang. Bahkan, Pasal 75 memberi beberapa kewenangan khusus hanya kepada BNN,” kata Girlie.
Ia khawatir, jika keterlibatan TNI dibiarkan, hak-hak sipil warga bisa tergerus. Sebab, tidak ada kejelasan siapa yang berwenang melakukan tindakan paksa di luar Polri dan BNN.
“Harus kembali pada hukum yang berlaku. Saat ini, yang boleh menangkap ya Polri dan BNN. Bukan TNI,” tandasnya.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Muhammad Isnur, juga angkat bicara. Ia mendesak Komisi I DPR memberi peringatan kepada Panglima TNI. Sebab, menurutnya, ini bukan kejadian pertama.
“Sudah pernah juga di Medan, Sumatera Utara, dan Sulawesi,” kata Isnur kepada Suara.com.
Isnur menegaskan TNI hanya bisa menangani kasus narkotika jika menyangkut anggotanya sendiri. Keterlibatan dalam penanganan kasus sipil, apalagi sampai melakukan penggerebekan, dianggapnya sebagai bentuk pelanggaran hukum serius.
“Kalau ini dibiarkan, kita akan lihat tatanan negara hukum hancur pelan-pelan. Ini membahayakan demokrasi dan prinsip konstitusional yang sudah susah payah kita bangun,” tegasnya.
Respon TNI
Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) Tentara Nasional Indonesia Mayor Jenderal Yusri Yunarto berpendapat berbeda. Menurutnya penggerebakan dan penangkapan yang dilakukan anggota TNI terhadap pengedar narkoba tak perlu diperdebatkan. Sebab tindakan tersebut hanya dilakukan diawal. Di mana proses hukum selanjutnya diserahkan kepada kepolisian.
"Jangan lagi terpaku pada domain. Kalau memang di depan mata, kami berhak menangkap. Apalagi tertangkap tangan," kata Yusri di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu (7/5).
Yusri juga mengklaim selain sebagai tindak lanjut atas informasi masyarakat, penggerebekan dan penangkapan terhadap tiga pengedar narkoba di Kabupaten Bima itu telah dikoordinasikan dengan kepolisian.
“Ada yang melapor, masak kami biarkan. Setelahnya diserahkan ke Polres juga," katanya.
Sementara Kepala BNN Marthinus Hukom mengaku dalam beberapa upaya penggerebekan BNN kerap berkerja sama dengan TNI. Namun pelibatan TNI itu biasanya hanya dilakukan jika wilayah penggerebekan berada di perbatasan atau laut.
“Itu kami bekerja sama dengan TNI. Kalau yang di Bima, aaya belum tahu masalahnya, ucapnya usai rapat dengar pendapat di DPR RI.
Fachry Albar kembali diciduk polisi karena menggunakan narkoba pada20 April 2025lalu.
"Jadi, sampai saat ini pintu pemakzulan (terhadap Gibran) secara konstitusional masih tertutup."
Selain uang, Bareskrim juga menyita empat unit mobil terkait kasus judi online
Tujuan ekonomi Indonesia sesuai amanat konstitusi bukan hanya soal mencari keuntungan belaka, tetapi mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Akan lebih efektif dan efisien jika Jokowi memanfaatkan partai yang sudah eksis," ujar Agung.
Sebagai film keenam dalam seri Final Destination, Bloodlines menempuh jalur yang cukup berani.
Kasus nepotisme jamak ditemui di Indonesia, tapi hampir tak pernah masuk dalam proses penyidikan
Salah satunya dengan melakukan identifikasi berbasis data terkait jemaah terdampak.
BGN mewacanakan asuransi bagi penerima program MBG usai kasus keracunan. Kritik bermunculan menilai asuransi penerima manfaat MBG beban anggaran.
Galih mencontohkan langkah Uni Emirat Arab yang berencana membangun kasino, meski negara tersebut berbasis Islam.