Suara.com - Keputusan Panglima TNI batal memutasi Letjen Kunto Arief Wibowo dari jabatan Pangkogabwilhan I menjadi sorotan. Beberapa pihak menilai sejak awal mutasi tersebut sarat dengan muatan politis. Sebab, mutasi tersebut terjadi tak lama setelah Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno menandatangani pernyataan sikap Forum Purnawirawan TNI yang menuntut Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka diganti.
KEPUTUSAN Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto memutasi Letjen Kunto Arief Wibowo dari jabatan Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I tertuang dalam Surat Nomor: Kep/554/IV/2025 yang terbit pada 29 April 2025. Namun sehari setelah itu dibatalkan lewat Surat Nomor: Kep/554.A/IV/2025.
Dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor: Kep/554/IV/2025, Kunto awalnya dimutasi menjadi Staf Khusus (Stafsus) Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD). Posisinya sebagai Pangkogabwilhan I digantikan oleh Laksamana Muda Hersan.
Hersan sebelumnya diketahui menjabat sebagai Panglima Komando (Pangko) Armada III. Perwira tinggi TNI Angkatan Laut tersebut pernah menjadi ajudan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo dan Sekretaris Militer Presiden atau Sesmilpres.
Keputusan Panglima TNI memutasi Kunto sejak awal disorot lantaran terjadi tak lama setelah Wakil Presidenke-6 RI Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno —ayah Kunto— menandatangani delapan pernyataan sikap Forum Purnawirawan TNI. Dalam salah satu poin tuntutan tersebut meminta Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka putra sulung Jokowi diganti.
Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra menilai keputusan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, baik saat melakukan mutasi ataupun membatalkannya sangat tidak wajar. Ia menyebut, selama 10 tahun terakhir setidaknya baru kali pertama ini terjadi.
"Baik mutasi yang dilakukan Panglima TNI sebelumnya maupun pembatalannya ini sangat kental nuansa politik," kata Ardi kepada Suara.com, Senin (5/5/2025).
Mutasi di tubuh TNI, kata Ardi, seharusnya bebas dari nuansa politik termasuk kepentingan kekuasaan politik presiden.
"Mutasi harus benar-benar dilakukan berdasarkan sistem meritokrasi yang didasarkan pada kompetensi dan kebutuhan organisasi TNI itu sendiri," jelasnya.
Ia juga menilai bahwa seharusnya Panglima TNI secara terbuka menjelaskan kepada publik mengapa mutasi dan pembatalan itu bisa terjadi.
Tanpa adanya penjelasan, ia menilai wajar jika keputusan tersebut akhirnya dikaitkan dengan adanya dugaan kepentingan politik dari pihak-pihak tertentu.
Tarik Menarik Kepentingan
Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Insitute, Made Supriatma mengungkap pembatalan atau pergantian jabatan tinggi di tubuh TNI secara kilat bukan kali ini saja terjadi.
Sebelumnya, peristiwa serupa pernah terjadi terjadi saat reformasi bergulir di tahun 1998 atau tidak lama setelah Presiden Soeharto lengser.
Pada 22 Mei 1998, Made menyebut Letjen (Purn) Johny Lumintang pernah ditunjuk sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) menggantikan Prabowo Subianto.
Namun ketika itu, Johny yang baru saja menjabat selama 17 jam, tiba-tiba diganti oleh Letjen (Purn) Djamari Chaniago. Keputusan itu menurutnya juga tak lepas dari kepentingan politik.
“Johny Lumintang jadi Pangkostrad dulu itu hanya 17 jam kemudian dicopot juga karena alasan politis. Nah Kunto juga saya kira seperti itu,” ungkap Made kepada Suara.com.
Tarik menarik kepentingan di tubuh TNI menurut Made bukan hal baru, apalagi di tingkatan perwira tinggi.
Sebab, jabatan seorang jenderal seringkali dinilai sebagai jabatan politis hingga turut melibatkan pihak luar.
"Di dalam TNI sendiri juga ada faksionalisme. Ada yang setia pada TNI, ada juga yang mendekatkan diri dengan ini dan itu. Itu selalu ada," bebernya.
Kondisi tersebut, kata Made, semakin diperparah lantaran wewenang perwira tinggi TNI menjabat jabatan sipil semakin diperluas. Sehingga mereka akhirnya semakin aktif 'berpolitik'.
"Sekarang mereka terlibat di mana-mana. Itu akibatnya mereka ingin ada dalam politik terus-menerus," jelasnya.
Sementara Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen TNI Kristomei Sianturi membantah adanya kepentingan politik di balik keputusan Panglima TNI mutasi Kunto yang kemudian dibatalkan.
Ia mengklaim alasan keputusan mutasi Kunto dan enam perwira tinggi TNI tersebut ditangguhkan karena ada beberapa yang belum bisa bergeser dari jabatannya.
"Sehingga diputuskanlah sekarang untuk meralat atau menangguhkan rangkaian itu," kata Kristomei saat jumpa pers Jumat 2 Mei 2025 malam.
Kristomei juga menegaskan bahwa keputusan Panglima TNI membatalkan atau menangguhkan mutasi tersebut tidak ada kaitannya dengan adanya isu pemakzulan Gibran.
Sebab kebijakan mutasi, rotasi, dan pemberian promosi yang dilakukan Panglima TNI itu selalu berpedoman pada hasil sidang majelis Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tertinggi atau Wanjakti.
“Tidak ada kaitan dengan hal lain,” katanya.
Sulit Dipercaya
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi juga menilai alasan Panglima TNI membatalkan mutasi Kunto dan enam perwira tinggi TNI lainnya itu sulit dipercaya. Sekalipun, mereka mengklaim dan menegaskan bahwa mutasi merupakan bagian dari mekanisme pembinaan karier dan kebutuhan organisasi.
“Publik sulit mempercayai hal itu," kata Hendardi dalam keterangannya kepada Suara.com.
Publik sulit percaya, selain karena tiba-tiba dibatalkan, mutasi terhadap Kunto menurut Hendardi juga cenderung terlalu cepat.
Apalagi Kunto terhitung baru empat bulan menjabat sebagai Pangkogabwilhan I.
“Sulit bagi publik untuk percaya bahwa mutasi yang dibatalkan itu didasarkan pada profesionalitas tata kelola TNI dan tuntutan objektif untuk TNI beradaptasi, tapi lebih mengakomodasi motif dan kepentingan politik kekuasaan," ungkapnya.
Keputusan Panglima TNI membatalkan mutasi ini menurut Hendardi sudah seharusnya dijadikan pelajaran.
Apalagi TNI tidak boleh menjadi alat politik kekuasaan dan menjadi perpanjangan kepentingan politik pihak tertentu.
"TNI hanya boleh menjadi instrumen politik negara dan menjalankan fungsi utamanya di bidang pertahanan untuk melindungi kedaulatan dan keselamatan negara," ujarnya.
Pendapat serupa juga disampaikan anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKB, Oleh Soleh. Menurutnya, TNI tidak boleh memiliki loyalitas ganda. Apalagi terpengaruh kepentingan politik.
“Kepentingan politik dari luar jangan sampai merusak TNI. Ini sangat penting diperhatikan, terutama bagi perwira tinggi TNI,” katanya.
Halalbihalal purnawirawan TNI AD disebut akan digelar di Balai Kartini, Selasa sore ini
"Presiden sangat bijak bahwa sesuaikan dengan jalur konstitusional saja karena tidak bisa seorang presiden menjawab seperti itu."
Dudung Abdurachman berbicara soal forum purnawirawan prajurit tni yang mendesak pemakzulan Wapres Gibran.
Sejak awal, 28 Years Later tampil dengan gaya visual yang mencengangkan.
AI memiliki keterbatasan terkait aspek moral kemanusian, potensi bias dalam algoritma, serta kekhawatiran terhadap keamanan data dan privasi.
Vonis ini belum menunjukkan sikap keras terhadap korupsi di Indonesia.
Jadi sebenarnya Satgas Saber Pungli ini lahir dari kegagalan sistemik dalam penanganan korupsi kecil di birokrasi, jelas Zaenur.
"Pertanyaannya adalah apakah yang dilakukan oleh tiga kader PMII dengan membentangkan poster merupakan tindak pidana? Kami berpendapat bukan," tegas Andrie.
Prasejarah itu bukan sejarah awal. Saya sebagai pra sejarawan berpikir apakah yang mengganti itu tidak berpikir panjang akan implikasi yang ditimbulkan, ujar Truman.
"BUMN merupakan badan usaha milik rakyat, bukan milik rezim. Sudah seharusnya penunjukan direksi maupun komisaris harus melalui seleksi kualitas individu," ujar Huda.