Mengapa Wacana Vasektomi Sebagai Syarat Bansos Bermasalah?
Home > Detail

Mengapa Wacana Vasektomi Sebagai Syarat Bansos Bermasalah?

Bimo Aria Fundrika | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Selasa, 06 Mei 2025 | 09:00 WIB

Suara.com - Rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bansos menuai kritik. Kebijakan ini dinilai diskriminatif dan melanggar hak privasi serta kesehatan warga, karena negara ikut campur dalam urusan reproduksi.

Mengapa demikian? 

SETELAh mengirim anak-anak "nakal" ke barak militer, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali melontarkan wacana kontroversial. Kali ini, ia ingin menjadikan vasektomi sebagai syarat menerima bantuan sosial (bansos).

Vasektomi adalah kontrasepsi permanen bagi laki-laki, dengan memotong dan mengikat saluran sperma. Menurut Dedi, laki-laki yang memilih prosedur ini menunjukkan tanggung jawab terhadap keluarga. Ia juga menegaskan bahwa urusan kontrasepsi tidak boleh selalu dibebankan pada perempuan.

"Jangan terus-terusan dibebankan pada perempuan, gitu loh," ujarnya, 29 April lalu.

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. (ist)
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. (ist)

Dedi mengaku ia kerap dimintai bantuan biaya persalinan oleh warga miskin. Bukan untuk anak pertama atau kedua. Tapi untuk anak keempat, bahkan kelima. Bagi Dedi, punya anak itu harus disertai tanggung jawab, sejak kehamilan hingga biaya sekolah.

Secara gagasan, ini bisa dipahami. Kontrasepsi tidak boleh jadi beban perempuan semata. Tapi menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos menurut sejumlah pakar bermasalah.

Menurut sosiolog UGM Andreas Budi Widyanto, mendorong keterlibatan laki-laki dalam KB adalah langkah kesetaraan. Tapi jika dikaitkan dengan bansos, maka negara telah mencampuri hak reproduksi warga. Bahkan bisa dianggap represif.

Menurut Widyanto, bansos adalah hak dasar warga prasejahtera. Bukan alat kontrol tubuh mereka.

Data BKKBN 2022 menunjukkan hanya 2,48 persen laki-laki jadi peserta KB. Sementara perempuan mencapai 55,36%. Yang memakai kondom cuma 2,2 persen, dan vasektomi hanya 0,25%. Artinya, keterlibatan laki-laki memang masih minim. Tapi mendorong peran laki-laki tidak bisa lewat paksaan.

Mewajibkan vasektomi sebagai syarat bansos bukan solusi. Itu ancaman. Sebab, jika menolak, konsekuensinya jelas keluarga miskin kehilangan akses bantuan. Dan ini, kata Widyanto, bentuk hukuman yang keliru.

"Maka tentu saja bentuk represi yang mendorong soal disinsentif  berkaitan dengan bansos itu, kurang tepat," kata  Widyanto kepada Suara.com, Senin (5/5/2025).

Masalah pendataan

Masalah baru muncul. Jika vasektomi dijadikan syarat bansos, bagaimana proses pendataannya? Menurut Budi Widyanto, sumber masalah utama justru ada pada data penerima bansos yang belum valid.

Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang jadi acuan utama bansos, masih bermasalah. Banyak keluarga prasejahtera tidak terdata, sebaliknya jutaan yang tak layak justru tercatat sebagai penerima. Di Jakarta saja, pada 2023 ditemukan 1,1 juta warga tidak layak masuk dalam DTKS.

Jadi, alih-alih mengajukan syarat baru seperti vasektomi, Widyanto menyarankan hal paling mendesak adalah perbaikan data. "Penataan kembali atas data tunggal itu tampaknya perlu ditempuh terlebih dahulu," katanya.

Pandangan senada datang dari Komnas Perempuan. Komisioner Ratna Batara Munti menegaskan, kontrasepsi adalah tanggung jawab bersama. Bukan beban tunggal perempuan. Suami dan istri punya peran yang sama untuk mengontrol kehamilan.

Namun, menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos itu masalah lain.

Ratna menyebut kebijakan itu melahirkan diskriminasi baru. Tujuannya mungkin ingin menghapus ketimpangan gender. Tapi caranya justru membuka celah pelanggaran hak.

ilustrasi prosedur vasektomi (freepik/peoplecreations)
ilustrasi prosedur vasektomi (freepik/peoplecreations)

"Untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan memang harus dilakukan. Tapi tidak dengan menciptakan diskriminasi baru lewat syarat vasektomi," tegas Ratna kepada Suara.com.

Ratna juga mengingatkan, kebijakan ini bertentangan dengan Konvensi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi Indonesia lewat UU No. 7 Tahun 1984. Diskriminasi, dalam bentuk apa pun, dilarang.

Lebih lanjut, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 99 Tahun 2019 yang jadi dasar pemberian bansos dari APBD tidak ada satu pun pasal yang mensyaratkan vasektomi.

"Jadi janganlah bikin aturan-aturan yang sangat tidak sejalan dengan aturan yang ada," tegas Ratna.

Berpotensi Melanggar HAM

Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyebut rencana kebijakan vasektomi sebagai syarat bansos berpotensi melanggar hak asasi manusia. Hak privasi warga negara termasuk keputusan atas tubuh sendiri bukan domain pemerintah.

"Vasektomi atau apa pun yang dilakukan terhadap tubuh merupakan bagian dari hak asasi. Jadi sebaiknya tidak dipertukarkan dengan bantuan sosial atau hal-hal lain," kata Atnike.

Atnike menegaskan ini bukan hanya soal privasi. Namun menyangkut hak dasar, yakni hak atas kesehatan seksual dan reproduksi.
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), yang sudah berdiri sejak 1957, menilai kebijakan ini berpotensi menjadi bentuk pemaksaan terselubung.

"Ketika prosedur medis seperti vasektomi dijadikan syarat bantuan, itu bentuk coercion," kata Direktur Eksekutif PKBI, Leny Jakaria.

Leny menjelaskan hak atas integritas tubuh, atau otonomi atas tubuh, tidak bisa dinegosiasikan. Setiap orang bebas memutuskan atas tubuhnya sendiri, termasuk soal kontrasepsi.

Hak itu dijamin dalam hukum. Undang-Undang Kesehatan No. 17 Tahun 2023, Pasal 55, menyatakan bahwa setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan seksual yang sehat, aman, tanpa diskriminasi, paksaan, atau kekerasan. Negara harus menjamin itu.

UU No. 52 Tahun 2009 juga tegas, program kesejahteraan keluarga harus dijalankan secara sukarela. Tidak bisa dipaksakan. Tidak boleh bersyarat.

Leny juga mengingatkan prinsip dasar etika kedokteran bahwa, tidak ada prosedur medis tanpa informed consent. Tanpa persetujuan yang sadar, jelas, dan sukarela dari pasien, tindakan medis adalah pelanggaran.

Lebih jernih melihat akar masalah

Leny juga menegaskan bahwa Program Keluarga Berencana (KB) tak dibangun lewat paksaan. Ia lahir dari proses panjang, dari kampanye, pendidikan publik, hingga kerja kolaboratif antara pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat.

Menurut Leny Jakaria, keberhasilan KB selama ini bukan hasil pemaksaan, tapi hasil peningkatan kesadaran.Prinsipnya jelas sukarela dan berbasis pilihan individu. Salah satunya vasektomi.

Dalam 50 tahun terakhir, data PKBI mencatat Total Fertility Rate (TFR) Indonesia menurun drastis. Dari 5,6 anak per perempuan (1971), turun menjadi 2,1 anak (2023).

“Artinya, rata-rata perempuan Indonesia kini hanya melahirkan dua anak dalam masa suburnya,” kata Leny.

Penurunan ini tidak terjadi karena syarat bansos. Tapi karena KB dijalankan melalui pendidikan, akses kontrasepsi, dan partisipasi masyarakat.

Sosiolog UGM Andreas Budi Widyanto mengingatkan, kesadaran tidak bisa dibentuk lewat tekanan.

“Proses membangun kesadaran keluarga sejahtera butuh waktu. Itu kerja jangka panjang,” katanya.

Karena itu, kebijakan mendadak seperti menjadikan vasektomi syarat bansos, rentan melahirkan penolakan. Ada tekanan. Ada unsur pemaksaan. Bahkan bisa dianggap sebagai bentuk hukuman sosial terhadap yang tidak taat garis pemerintah.

“Itu pendekatan yang tidak tepat,” tegas Widyanto.

Widyanto menambahkan, bahwa pemerintah Jawa Barat juga mesti melihat akar masalah dengan jernih. Kemiskinan tak lahir dari tubuh warga. Tapi dari struktur sosial yang timpang.

Salah satunya pernikahan anak. Pada 2022, Jawa Barat menempati posisi ketiga nasional untuk angka pernikahan anak: 5.523 kasus.

“Anak-anak perempuan yang menikah dini rentan putus sekolah. Mereka kehilangan akses pendidikan dan kerja. Akhirnya terjebak dalam kemiskinan lintas generasi,” kata Leny.

Ilustrasi kemiskinan ekstrem. [Ist]
Ilustrasi kemiskinan ekstrem. [Ist]

Risikonya bukan cuma ekonomi. Ketika mental dan emosional belum siap, stres, kekerasan dalam rumah tangga, hingga perceraian dini jadi lebih mungkin terjadi.

Dari sisi hukum jelas bermasalah. Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, menyebut wacana Dedi tak punya dasar hukum.

"Aturan enggak ada. Tidak boleh bikin aturan sendiri," tegasnya, 3 Mei 2025.

Menteri Sosial, Saifullah Yusuf alias Gus Ipul, juga menegaskan Pemda tak bisa sembarangan bikin syarat bansos.vApalagi yang menyangkut tubuh dan hak asasi. Kebijakan seperti ini harus dilihat dari banyak sisi: hukum, agama, dan HAM.


Terkait

KJP Bulan Mei Sudah Cair? Ini Jadwal, Cara Cek, dan Syarat Terbarunya!
Selasa, 06 Mei 2025 | 07:28 WIB

KJP Bulan Mei Sudah Cair? Ini Jadwal, Cara Cek, dan Syarat Terbarunya!

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berkomitmen untuk memastikan kelancaran penyaluran dana KJP Plus sebagai wujud investasi dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia

Dedi Mulyadi Akan "Militerkan" Anak Nongkrong dan Pemabuk: Siap-siap Dibina TNI
Senin, 05 Mei 2025 | 17:26 WIB

Dedi Mulyadi Akan "Militerkan" Anak Nongkrong dan Pemabuk: Siap-siap Dibina TNI

Dedi Mulyadi tinjau barak militer binaan remaja nakal dan berencana masukkan juga dewasa.

DPR Akui Tak Bisa Hentikan Kebijakan Dedi Muyadi Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer, Tapi...
Senin, 05 Mei 2025 | 16:16 WIB

DPR Akui Tak Bisa Hentikan Kebijakan Dedi Muyadi Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer, Tapi...

Secara pribadi, Esti khawatir kalau kebijakan 'menyekolahkan' murid ke barak militer itu belum dilengkapi dengan roadmap yang rinci

Komisi X Akan Panggil Dikdasmen Bahas Kebijakan Dedi Mulyadi yang Kirim Murid Nakal ke Barak Militer
Senin, 05 Mei 2025 | 15:57 WIB

Komisi X Akan Panggil Dikdasmen Bahas Kebijakan Dedi Mulyadi yang Kirim Murid Nakal ke Barak Militer

DPR tidak bermaksud untuk menghalangi kebijakan Pemerintah Derah, melainkan sebagai upaya pengawasan terhadap kebijakan publik tersebut.

Terbaru
Menakar Janji Prabowo Hapus Sistem Outsourcing
polemik

Menakar Janji Prabowo Hapus Sistem Outsourcing

Senin, 05 Mei 2025 | 18:30 WIB

Prabowo ingin menghapus outsourcing, masih belum jelas bagaimana itu akan dilakukan tanpa revisi fundamental terhadap regulasi eksisting, ujar Nur.

Menguji Komitmen Prabowo pada RUU Perampasan Aset: Akankah Jadi Realita atau Cuma Omon-Omon? polemik

Menguji Komitmen Prabowo pada RUU Perampasan Aset: Akankah Jadi Realita atau Cuma Omon-Omon?

Senin, 05 Mei 2025 | 09:13 WIB

Di hadapan ribuan buruh yang memadati kawasan Monas, Jakarta, Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungannya terhadap RUU Perampasan Aset.

Review Thunderbolts*, Ketika Para Antihero Menjadi Harapan Baru MCU nonfiksi

Review Thunderbolts*, Ketika Para Antihero Menjadi Harapan Baru MCU

Sabtu, 03 Mei 2025 | 07:11 WIB

Salah satu daya tarik utama Thunderbolts* adalah interaksi antar karakternya.

Dua Faktor di Balik Pengunduran Diri Hasan Nasbi polemik

Dua Faktor di Balik Pengunduran Diri Hasan Nasbi

Jum'at, 02 Mei 2025 | 13:18 WIB

Masalah anggaran PCO dan sulitnya akses informasi serta komunikasi dengan pemerintahan disinyalir penyebab di balik mundurnya Hasan Nasbi.

Hari Buruh Dihantui PHK Massal, Mampukah Satgas Membendung? polemik

Hari Buruh Dihantui PHK Massal, Mampukah Satgas Membendung?

Jum'at, 02 Mei 2025 | 09:03 WIB

Langkah ini muncul di tengah lonjakan angka PHK dan dampak ekonomi global, termasuk kebijakan tarif impor dari Presiden AS Donald Trump.

Barak Militer untuk 'Anak Nakal': Mengapa Wacana Dedi Mulyadi Rentan Langgar Hak Anak? polemik

Barak Militer untuk 'Anak Nakal': Mengapa Wacana Dedi Mulyadi Rentan Langgar Hak Anak?

Rabu, 30 April 2025 | 15:03 WIB

Lngkah Dedi justru menuai kritik tajam. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini dianggap sebagai ancaman bagi anak-anak tersebut.

Ketika ASN Jakarta Jadi Pelopor: Mungkinkah Penggunaan Transportasi Umum Dibudayakan? polemik

Ketika ASN Jakarta Jadi Pelopor: Mungkinkah Penggunaan Transportasi Umum Dibudayakan?

Rabu, 30 April 2025 | 09:25 WIB

Membangun budaya penggunaan transportasi massal perlu dibarengi dengan pengembangan atau peningkatan layanan angkutan umum hingga ke kawasan perumahan.