Suara.com - Presiden Prabowo Subianto berencana menghapus sistem kerja outsourcing atau alih daya. Wacana itu disampaikan di Hari Peringatan Buruh Internasional atau May Day 2025. Sejumlah pihak kini berharap pernyataan kepala negara tersebut benar-benar terealisasi, bukan sekadar gimmick politik atau omon-omon semata.
PERNYATAAN Presiden Prabowo ingin menghapus sistem outsourcing disampaikan di hadapan ratusan ribu buruh saat peringatan May Day Fiesta di Monas, Jakarta, Kamis, 1 Mei 2025. Ia meminta Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang baru akan dibentuk agar secepatnya membahas rencana tersebut.
“Kalau bisa tidak segera, tapi secepat-cepatnya kita ingin menghapus outsourcing,” ucap Prabowo.
Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional akan diisi para pemimpin serikat buruh di Indonesia. Mereka diminta Prabowo untuk mencari cara bagaimana merealisasikan rencana penghapusan sistem outsourcing.
“Tapi saudara-saudara, kita juga harus realistis. Kita juga harus menjaga kepentingan para investor. Kalau mereka tidak investasi, tidak ada pabrik, kalian tidak bekerja,” tutur Prabowo.
Dalam waktu dekat Prabowo akan mempertemukan 150 pimpinan serikat buruh dengan 150 pimpinan perusahaan. Agenda itu dijadwalkan digelar di Istana Bogor, Jawa Barat. Di momen duduk bersama para pimpinan pengusaha itu Prabowo mengklaim akan meminta mereka untuk memperhatikan kesejahteraan buruh.
“Saya akan mengatakan kepada para pengusaha; ‘saudara-saudara tidak boleh mau kaya sekaya-kayanya sendiri, tanpa mengajak pekerja-pekerja hidup dengan baik',” katanya.
Bertahun-tahun Dikontrak
Ali Musa Firdaus (30) salah satu karyawan outsourcing di Jakarta berharap janji Prabowo benar-benar terealisasi. Setidaknya dengan begitu ia tidak lagi terus-menerus dihantui rasa takut akan pemutusan hak kerja atau PHK.
Perasaan takut akan PHK itu acap kali datang menyelimuti Ali. Khususnya setiap kali menjelang masa akhir kontrak kerja.
“Selama empat tahun kerja saya sudah 12 kali perpanjang kontrak. Biasanya dikontrak setiap tiga bulan atau enam bulan,” tutur Ali kepada Suara.com, Jumat (2/5/2025).
Sebagai karyawan outsourcing, Ali merasa karirnya penuh ketidakpastian. Walau begitu ia memilih bertahan di tengah sulitnya mencari pekerjaan di tempat lain.
“Teman saya malah ada yang udah sembilan tahun masih dikontrak,” bebernya.
Sistem kerja outsourcing pertama kali diterapkan di Indonesia di masa pemerintahan Presiden kelima Megawati Soekarnoputri. Aturan itu tertuang dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Di dalam undang-undang tersebut sistem outsourcing awalnya dibatasi hanya untuk pekerjaan non-core atau bukan kegiatan utama perusahaan.
Pada Pilpres 2009 Megawati yang berpasangan dengan Prabowo sempat berjanji akan menghapus sistem outsourcing. Janji itu tertuang dalam kontrak politik dengan tujuh organisasi serikat buruh di antaranya; Serikat Pekerja Nasional (SPN), Serikar Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), dan Forum Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI). Kontrak politik tersebut ditandatangani dalam acara peringatan Hari Lahir (Haul) ke-108 Bung Karno di Lapangan Tugu Proklamasi, Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, pada 6 Juni 2009.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai janji Prabowo membentuk Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional hingga menghapus sistem outsourcing terkesan progresif dan responsif. Namun belum menyentuh isu-isu struktural yang kian mendesak. Salah satunya terkait keberadaan pekerja digital atau gig economy seperti; pengemudi ojek online, kurir, dan pekerja lepas digital yang tidak terproteksi dalam sistem jaminan sosial nasional.
“Ini adalah kelompok buruh yang jumlahnya terus bertumbuh seiring digitalisasi ekonomi, tetapi masih berada di area abu-abu hukum ketenagakerjaan,” jelas Nur kepada Suara.com.
Nur juga menilai pernyataan Prabowo terkait rencana menghapus sistem outsourcing masih belum jelas dan tegas. Khususnya, dalam menyikapi konflik normatif berkaitan dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang memperlonggar skema outsourcing dan memudahkan pemutusan hubungan kerja.
“Prabowo ingin menghapus outsourcing, masih belum jelas bagaimana itu akan dilakukan tanpa revisi fundamental terhadap regulasi eksisting,” ujarnya.
Kendati begitu, Nur merespons positif wacana Prabowo mempertemukan 150 pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan. Pertemuan tersebut diharapkan bisa menjadi titik awal dimulainya dialog tripartit yang lebih substantif dan berkelanjutan, bukan sekadar seremoni simbolik.
Nur mengatakan dialog yang melibatkan buruh, pengusaha, dan pemerintah itu sudah seharusnya menjadi ruang deliberatif yang nyata. Di mana pemerintah bukan hanya menjadi fasilitator pasif atau berpihak pada kepentingan investasi tanpa memperhitungkan kesejahteraan tenaga kerja.
“Keberpihakan itu tidak cukup diukur dari pidato dan retorika. Ia harus hadir dalam bentuk kebijakan struktural, penegakan hukum ketenagakerjaan, dan alokasi anggaran yang mencerminkan visi keadilan sosial,” jelas Nur.
Berharap Tak Cuma Gimmick
Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno merespons postif jika Prabowo benar-benar ingin menghapus sistem outsourcing. Walau ia sedikit ragu. Pasalnya perusahaan-perusahaan outsourcing itu banyak yang terafiliasi dengan elite-elite partai politik.
“Bahkan serikat pekerja yang kemarin ikut May Day Fiesta di Monas itu kan pengurusnya banyak yang punya outsourcing juga,” ungkap Sunarno kepada Suara.com.
KASBI merupakan salah satu serikat buruh yang tidak ikut dalam acara May Day Fiesta di Monas. Mereka memilih menggelar aksi demonstrasi bersama Aliansi Gerakan Buruh Bersama Rakyat atau Gebrak di depan Gedung DPR RI.
Sunarno menilai semangat May Day atau Hari Buruh Internasional adalah semangat perlawanan bukan bermesra-mesraan dengan rezim yang tidak berbihak kepada buruh dan rakyat. Terlebih di tengah kondisi saat ini di mana banyak PHK hingga hak-hak buruh yang belum terpenuhi.
Terkait rencana Prabowo mempertemukan 150 pimpinan serikat buruh dengan pimpinan perusahaan, Sunarno pada dasarnya mengaku terbuka. Namun dia berharap pertemuan tersebut nantinya dapat menghasilkan keputusan yang benar-benar memiliki keberpihakan kepada buruh.
“Mekanisme untuk mengambil keputusannya itu harus jelas. Jadi bukan dipolitisasi untuk pencitraan atau gimmick belaka,” ungkapnya.
Sementara anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Edy Wuryanto mendorong agar pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketenagakerjaan segera dipercepat. Percepatan pembahasan tersebut menurutnya perlu dilakukan sebagai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Cipta Kerja.
Pada November 2024 lalu MK mengabulkan sebagian gugatan tentang Undang-Undang Cipta Kerja untuk mengubah kebijakan mengenai upah, PKWT atau Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, PHK, hingga pesangon. MK meminta DPR RI dan pemerintah untuk menyusun Undang-Undang Ketenagakerjaan baru dalam waktu maksimal dua tahun.
“Kami berharap pembahasan tersebut dapat menghasilkan regulasi yang berpihak pada pekerja, tidak hanya pada kepentingan ekonomi semata," kata Edy.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dikabarkan telah menyiapkan draft masukan untuk RUU Ketenagakerjaan tersebut. Selain tentang upah, jaminan sosial, PKWT, mereka juga turut memberikan catatan terkait outsourcing dan tenaga kerja asing.
Sedangkan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan belakangan mengaku pihaknya akan mengkaji terkait rencana penghapusan sistem outsourcing ini. Ia memastikan jika hal itu sudah menjadi keinginan presiden maka akan segera dilaksanakan.
“Kalau itu sudah keputusan eksekutif, perintah, ya harus dilakukan. Tinggal nanti kita lihat kajiannya seperti apa,” tuturnya.
"Jadi bisa dikatakan yang keracunan atau yang perutnya nggak enak sejumlah 200 orang,"
"Kalau bisa menghadap Gus Dur, kalau bisa. Menghadap Pak Harto, menghadap Bung Karno kalau bisa," kelakar Prabowo
Prabowo menyinggung ihwal orang suka maupun tidak suka terhadap Jokowi tetapi ia menegaskan bahwa Jokowi merupakan presiden dua periode
Pemerintah terlalu berhati-hati, bahkan cenderung tunduk pada kepentingan bisnis dan investor teknologi.
Tujuan ekonomi Indonesia sesuai amanat konstitusi bukan hanya soal mencari keuntungan belaka, tetapi mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Akan lebih efektif dan efisien jika Jokowi memanfaatkan partai yang sudah eksis," ujar Agung.
Sebagai film keenam dalam seri Final Destination, Bloodlines menempuh jalur yang cukup berani.
Kasus nepotisme jamak ditemui di Indonesia, tapi hampir tak pernah masuk dalam proses penyidikan
Salah satunya dengan melakukan identifikasi berbasis data terkait jemaah terdampak.
BGN mewacanakan asuransi bagi penerima program MBG usai kasus keracunan. Kritik bermunculan menilai asuransi penerima manfaat MBG beban anggaran.