Suara.com - Marvel Studios akhirnya merilis Thunderbolts*, film yang sejak awal digadang-gadang akan membawa nuansa baru ke dalam semesta Marvel Cinematic Universe (MCU). Dan benar saja, film ini bukan hanya sekadar mengumpulkan karakter random dari sana-sini.
Thunderbolts* adalah eksplorasi emosional yang gelap, penuh luka masa lalu, dan pencarian jati diri oleh para karakter yang sebelumnya hanya menjadi figur pendukung atau bahkan antagonis dalam film-film sebelumnya.
Disutradarai oleh Jake Schreier, Thunderbolts* menjadi langkah berani Marvel untuk menyuguhkan kisah yang lebih dewasa, reflektif, dan bernuansa abu-abu.
Film ini bukan tentang pahlawan super yang menyelamatkan dunia, melainkan tentang individu-individu rusak yang berusaha menyelamatkan diri mereka sendiri. Terkadang, mereka justru menemukan harapan dalam kekacauan.
Thunderbolts* membuktikan bahwa tak ada Avengers, ternyata bukan masalah yang besar, setidaknya jika lawan mereka bukan Big 3 (alien, android, dan penyihir).
Karakter Rusak Namun Cerita Manusiawi
Keunggulan utama Thunderbolts* terletak pada karakterisasinya yang mendalam.
Florence Pugh kembali sebagai Yelena Belova, dan sekali lagi membuktikan bahwa dia adalah bintang utama generasi baru MCU.
Performa Pugh tidak hanya kuat, tapi juga penuh nuansa emosional. Dia memang menjadi poros emosional film ini.
Di sisi lain, Lewis Pullman tampil mencuri perhatian sebagai Sentry, karakter baru dengan kekuatan luar biasa dan kondisi mental yang rapuh. Dinamika keduanya membentuk inti cerita yang kuat dan menyentuh.
Sebastian Stan sebagai Bucky Barnes juga mendapatkan momen-momen kuat yang menyentuh sisi kemanusiaannya.
Karakter-karakter lain seperti David Harbour (Red Guardian) memberikan sentuhan humor dan kontras moral yang membuat film ini tetap dinamis.
Chemistry yang Tak Terduga Tapi Efektif
Salah satu daya tarik utama Thunderbolts* adalah interaksi antar karakternya, yang secara tak terduga sangat enak untuk disaksikan.
Meskipun mereka datang dari latar belakang berbeda, bahkan saling bertentangan, justru kekacauan inilah yang membentuk chemistry yang kuat.
Ini mengingatkan kita pada film-film assemble action 90-an, di mana tim tidak selalu harmonis, tapi justru itulah yang membuat perjalanan mereka menarik.
Film ini memperlihatkan bagaimana masing-masing karakter berproses, bukan hanya dalam misi fisik, tetapi juga dalam perjalanan batin mereka.
Ada proses tumbuh, saling memahami, dan belajar berkorban demi tim. Progresi ini disajikan secara organik dan menyentuh.
Nada Gelap dengan Aksi yang Terasa Nyata
Berbeda dari mayoritas film MCU yang cenderung penuh warna dan efek bombastis, Thunderbolts* mengadopsi tone visual yang lebih dingin dan kelam, sesuai dengan nuansa narasinya.
Aksi di sini terasa lebih realistis dan memiliki dampak emosional. Setiap pertarungan dan ledakan tidak sekadar hiasan, melainkan memiliki bobot naratif yang jelas.
Meski demikian, Thunderbolts* tetap memberikan ruang untuk humor yang tidak dipaksakan.
Dialog-dialog cerdas dan interaksi penuh sarkasme menjadi penyegar di tengah ketegangan.
Ini adalah contoh sempurna bagaimana Marvel bisa tetap lucu tanpa harus mengorbankan integritas cerita, sesuatu yang sayangnya gagal dicapai di beberapa rilisan sebelumnya seperti Thor: Love and Thunder.
Minim Action, Tak Masalah
Jika ada satu hal yang membuat Thunderbolts* berbeda dari film Marvel lainnya, itu adalah keberaniannya untuk menjadi film yang sangat dialog-driven, bukan hanya menyuguhkan aksi pertarungan seru superhero vs villain.
Dengan durasi 127 menit, film ini penuh dengan momen percakapan yang intens, penggalian emosi, dan dinamika antar karakter yang dibangun perlahan.
Memang, ini membuat ritme film terasa sedikit melambat di bagian tengah. Namun bagi penonton yang menghargai kedalaman karakter, ini justru menjadi kekuatan.
Di sinilah kita melihat pengaruh drama yang lebih dekat dengan film-film garapan sutradara Martin Scorsese daripada blockbuster superhero biasa.
Film ini bukan tontonan yang mengandalkan CGI semata, tapi pengalaman naratif yang lebih mendalam dan reflektif.
Isu Sosial dan Politik yang Disisipkan dengan Cermat
Thunderbolts* juga menyelipkan isu-isu penting seperti manipulasi, korupsi, kontrol pemerintah, dan trauma psikologis.
Semua ini disajikan bukan secara menggurui, tapi melalui pengalaman dan pilihan karakter.
Penonton tidak hanya diajak menonton aksi, tapi juga merenungkan tema-tema seperti penerimaan diri, pengampunan, dan pencarian makna hidup setelah kehilangan.
Valentina, misalnya, kini tampak sebagai versi lebih gelap dari Nick Fury, penuh ambiguitas moral dan motivasi terselubung.
Peran ini memperkaya lapisan politik cerita dan menjanjikan konflik yang lebih kompleks di fase MCU berikutnya.
Sebuah Awal Baru yang Menjanjikan
Pada akhirnya, Thunderbolts* adalah pembuktian bahwa Marvel masih mampu membuat cerita yang berarti, bahkan dari karakter-karakter yang sebelumnya dianggap "kelas dua."
Dengan pendekatan yang lebih dewasa, karakter yang berlapis, dan keberanian untuk melangkah ke arah yang lebih gelap dan manusiawi, film ini sukses menawarkan sesuatu yang segar.
Meskipun tidak sempurna, Thunderbolts* tetap menjadi tontonan yang penting dan menyenangkan.
Dua post-credit scene yang disajikan pun memberikan petunjuk menarik ke arah masa depan MCU yang lebih kompleks dan menjanjikan.
Bagi penggemar MCU yang merindukan cerita dengan bobot emosional dan kedalaman karakter, Thunderbolts* adalah suguhan wajib.
Sebuah langkah berani yang akhirnya menunjukkan bahwa Marvel tidak hanya bisa menyelamatkan dunia, tapi juga hati para pahlawan yang hancur.
Thunderbolts* tayang mulai 30 April 2025 di bioskop.
Sebagai bagian dari tradisi MCU, tak lengkap rasanya jika film ini tidak menyisipkan adegan post-credit.
Disutradarai Jake Schreier yang pernah bikin Film Paper Towns dan Film Robot & Frank, rupanya Film Thunderbolts* membawa cerita yang agak gelap.
Sebagaimana diketahui, MCU tengah memasuki fase yang cukup menantang, sekaligus terseok-seok.
Masalah anggaran PCO dan sulitnya akses informasi serta komunikasi dengan pemerintahan disinyalir penyebab di balik mundurnya Hasan Nasbi.
Langkah ini muncul di tengah lonjakan angka PHK dan dampak ekonomi global, termasuk kebijakan tarif impor dari Presiden AS Donald Trump.
Lngkah Dedi justru menuai kritik tajam. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini dianggap sebagai ancaman bagi anak-anak tersebut.
Membangun budaya penggunaan transportasi massal perlu dibarengi dengan pengembangan atau peningkatan layanan angkutan umum hingga ke kawasan perumahan.
"Hal ini mengindikasikan perencanaan pengadaan oleh KPU bermasalah," kata Agus.
Ini untuk menjamin transparansi, kejelasan otoritas kelembagaan, serta perlindungan atas hak publik dalam mengakses informasi dari lembaga resmi negara, jelas Hazmin.
"Karena Gibran memang tidak disenangi oleh banyak pihak, dia mestinya juga harus menunjukan kapasitasnya. Tapi ternyata tak begitu, sehingga orang semakin kecewa," Arsinaldi.