Suara.com - Pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025, buruh di Indonesia bukan hanya turun ke jalan menuntut keadilan, tapi juga dihadapkan pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang makin masif. Alih-alih perlindungan konkret, pemerintah justru mewacanakan pembentukan Satgas PHK sebagai respons. Satgas ini diklaim akan fokus pada mitigasi dan pencegahan. Namun, muncul pertanyaan: benarkah ini solusi, atau sekadar manuver meredam kegelisahan publik?
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) khusus untuk menangani persoalan pemutusan hubungan kerja (PHK). Langkah ini muncul di tengah lonjakan angka PHK dan dampak ekonomi global, termasuk kebijakan tarif impor dari Presiden AS Donald Trump.
Fungsi Satgas ini belum dijelaskan secara rinci. Namun sejumlah menteri di Kabinet Merah Putih menyebut Satgas akan bertugas melakukan mitigasi, mencegah PHK, dan mendampingi pekerja terdampak agar hak-haknya dipenuhi sesuai aturan hukum.
Tak hanya itu. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi bahkan menyebut Satgas juga akan menciptakan lapangan kerja baru.
"Sesegera mungkin bagaimana kita mengatasi dengan menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan baru,” ujarnya di Jakarta, Rabu (30/4/2025), seperti dikutip dari Antara.
Usulan pembentukan Satgas PHK sebenarnya bukan hal baru. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli sudah mengangkat isu ini sejak 26 November 2024. Kala itu, ia menyatakan usulan telah disampaikan ke Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Desakan itu tak lepas dari meningkatnya angka PHK. Berdasarkan data Kemnaker, sepanjang Januari–Oktober 2024, sebanyak 63.947 pekerja terkena PHK. Angka ini naik dari tahun sebelumnya yang tercatat 45.576 pekerja.
Wacana ini kembali mencuat pada 1 Desember 2024 lewat Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Saat itu, pembentukan Satgas disebut sebagai respons atas kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen.
Puncaknya terjadi pada 8 April 2025. Dalam sebuah sarasehan ekonomi bertema "Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Indonesia di Tengah Gelombang Tarif Perdagangan", Presiden Prabowo menginstruksikan pembentukan Satgas PHK. Instruksi itu merupakan respons atas usulan Presiden KSPI, Said Iqbal.
Prabowo meminta agar Satgas melibatkan pemerintah, serikat buruh, akademisi, hingga BPJS Ketenagakerjaan.
"Saya kira bentuk Satgas PHK, segera libatkan pemerintah, libatkan serikat buruh, libatkan dunia akademi, libatkan rektor-rektor, libatkan BPJS, dan sebagainya,” ucapnya.
Said Iqbal menyebut Satgas akan dibentuk melalui instruksi presiden (Inpres). KSPI, menurutnya, akan menjadi salah satu pihak yang terlibat langsung.
"Kami sudah ada kata sepakat untuk menjalankan perintah tersebut. Bentuknya mungkin berupa Inpres," katanya, 24 April 2025.
Namun, gelombang PHK terus berlanjut. Hanya dalam dua bulan pertama 2025, jumlah pekerja terdampak melonjak. Januari mencatat 3.325 orang, dan pada Februari melonjak jadi 18.610—naik enam kali lipat.
Pertanyaannya: apakah Satgas ini akan benar-benar menyelesaikan masalah? Atau hanya jadi alat penenang di tengah gejolak ketenagakerjaan yang belum juga reda?
Harus Fokus ke Pencegahan
Pakar hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, menilai rencana pembentukan Satgas PHK merupakan langkah yang cukup baik. Menurutnya, Satgas ini bisa menjadi forum tripartit antara pekerja, perusahaan, dan pemerintah untuk mencegah PHK.
"Tapi perlu dipastikan lebih lanjut, secara teknis tindakan apa saja yang bisa mereka lakukan?" ujarnya kepada Suara.com.
Jika Satgas bertugas mencegah PHK, itu adalah langkah positif. Perusahaan seharusnya wajib melapor sebelum melakukan PHK, sehingga Satgas bisa menyusun langkah mitigasi bersama.
Namun, jika Satgas baru bergerak setelah PHK terjadi, perannya bisa tumpang tindih dengan Dinas Ketenagakerjaan. Dinas selama ini sudah memfasilitasi mediasi antara pekerja dan perusahaan dalam kasus PHK.
Nabiyla menegaskan tugas Satgas harus jelas. Fokus utamanya adalah pencegahan, bukan reaksi.
Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Jumisih, sependapat. Menurutnya, pencegahan PHK adalah prioritas. Meski begitu, ia belum yakin Satgas PHK bisa menjadi solusi efektif, terutama jika melihat kondisi pengawasan ketenagakerjaan saat ini yang belum optimal.
"Kalau Dinas Ketenagakerjaan mau bekerja maksimal, sebenarnya banyak persoalan bisa dicegah. Tapi ya itu tadi, pengawasan mereka lemah," kata Jumisih.
FSBPI berharap, Satgas PHK memiliki pengawasan yang kuat dan dijalankan oleh orang-orang yang kompeten. Mereka harus berpihak pada hak-hak buruh, bukan menjadikannya ajang cari keuntungan.
"Kalau diisi orang yang tidak bertanggung jawab, justru menimbulkan masalah baru," tegasnya.
Jika Satgas juga membuka lapangan kerja, maka pihak yang dilibatkan pun harus selektif. Jangan hanya melibatkan pengusaha yang mengejar keuntungan semata.
"Jangan sampai ujung-ujungnya hanya menguntungkan pemilik modal. Pekerja tetap tidak mendapatkan haknya," katanya.
Sementara itu, Koordinator Dewan Buruh Nasional KASBI, Nining Elitos, menekankan pentingnya keberadaan Satgas untuk memperkuat peran kementerian dan dinas dalam melindungi hak buruh. Ia juga menilai lemahnya pengawasan negara sebagai penyebab memburuknya kondisi ketenagakerjaan.
"Masih banyak perusahaan yang tidak patuh hukum dan memperlakukan buruh semena-mena. Negara wajib memastikan agar pengusaha tidak terus melakukan pembiaran," ujar Nining.
Seberapa Efektif Kerja Satgas?
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menilai Satgas PHK bisa jadi solusi atas gelombang PHK yang terus terjadi. Namun, menurutnya, efektivitas Satgas bergantung pada tugas dan kewenangan yang jelas.
"Satgas harus mulai dari pendataan. Selama ini, perusahaan yang hendak PHK tidak pernah terdata. Begitu juga pekerja yang terdampak, apalagi di sektor informal," ujar Bhima kepada Suara.com.
Ia menekankan pentingnya basis data yang akurat dan rinci by name, by address. Data PHK selama ini tidak valid karena banyak perusahaan tak melapor ke Kementerian Ketenagakerjaan.
Selain itu, Satgas harus memastikan semua hak pekerja terpenuhi: gaji terakhir, pesangon, dan jaminan sosial. Ia juga menyarankan agar Satgas menjembatani korban PHK dengan perusahaan baru untuk peluang kerja langsung.
Bhima menambahkan, korban PHK perlu diberi stimulus berupa bantuan tunai saat menganggur. "Minimal empat hingga lima bulan, Rp1–2 juta per bulan," katanya.
Tak kalah penting, revisi UU Cipta Kerja. "PHK sepihak terhadap pekerja outsourcing terlalu mudah dilakukan. Ini harus dikoreksi."
Regulasi dinilai memberatkan dan dipengaruhi LSM asing, berpotensi PHK.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) banyak dilakukan perusahan besar untuk bisa bertahan dalam persaingan bisnis.
Prabowo menekankan bahwa tidak boleh ada kompromi terhadap pelaku korupsi yang enggan mengembalikan hasil kejahatannya
Presiden Prabowo melontarkan sejumlah janji ketika berpidato di hadapan ribuan buruh yang memperingati Hari Buruh Internasional 2025 di kawasan Monas.
Lngkah Dedi justru menuai kritik tajam. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini dianggap sebagai ancaman bagi anak-anak tersebut.
Membangun budaya penggunaan transportasi massal perlu dibarengi dengan pengembangan atau peningkatan layanan angkutan umum hingga ke kawasan perumahan.
"Hal ini mengindikasikan perencanaan pengadaan oleh KPU bermasalah," kata Agus.
Ini untuk menjamin transparansi, kejelasan otoritas kelembagaan, serta perlindungan atas hak publik dalam mengakses informasi dari lembaga resmi negara, jelas Hazmin.
"Karena Gibran memang tidak disenangi oleh banyak pihak, dia mestinya juga harus menunjukan kapasitasnya. Tapi ternyata tak begitu, sehingga orang semakin kecewa," Arsinaldi.
Memang tak ada kalimat yang lebih tepat untuk menggambarkan kecintaan Ricky kepada musik rock, yang juga membuatnya amat dicintai penggemar band Seringai.
KPAI mendesak agar temuan tersebut tidak hanya berhenti pada sanksi berupa penarikan produk dari pasar, tapi diproses secara hukum.