Suara.com - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menuai sorotan setelah menginisiasi program untuk membina anak-anak yang dianggap "nakal" atau "bermasalah" dengan mengirimkan mereka ke barak militer. Dedi mengklaim kebijakannya ini sebagai bentuk pendidikan karakter yang melibatkan TNI dan Kepolisian.
Namun, langkah Dedi justru menuai kritik tajam. Alih-alih menjadi solusi, kebijakan ini dianggap sebagai ancaman bagi anak-anak tersebut. Banyak pihak menegaskan bahwa TNI dan Kepolisian seharusnya tidak terlibat dalam pendidikan karakter. TNI memiliki tugas di bidang pertahanan, sementara Kepolisian seharusnya fokus pada keamanan dan penegakan hukum, bukan pada pendidikan.
Lantas, apa sebenarnya niat Dedi di balik wacana tersebut?
Program pendidikan karakter yang digagas oleh Dedi Mulyadi akan dimulai pada 2 Mei mendatang. Program ini akan dilaksanakan secara bertahap di seluruh Jawa Barat, dimulai dari daerah-daerah rawan, seperti Kota Depok.
Anak-anak yang terlibat adalah mereka yang dianggap sulit dibina, terindikasi pergaulan bebas, atau terlibat dalam tindakan kriminal. Dedi mengungkapkan bahwa puluhan barak telah disiapkan untuk menampung peserta program ini.
Peserta akan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara sekolah dan orang tua. Program ini berlangsung selama enam bulan, di mana anak-anak tidak akan mengikuti pendidikan formal. Selama itu, TNI akan menjemput anak-anak ke rumah untuk melakukan pembinaan karakter dan perilaku.
Namun, program ini menuai sorotan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisioner KPAI, Aris Adi Laksono, meminta agar dilakukan pengkajian lebih lanjut terkait program ini, terutama mengenai kriteria anak "nakal" atau "bermasalah" yang harus ikut serta.
"Seperti apa perilaku negatif yang membuat anak harus mengikuti program ini?" tanya Aris.
Ia juga menegaskan pentingnya peran pemerintah daerah dalam menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk tumbuh kembang anak, guna mencegah perilaku menyimpang.
Aris juga menekankan pentingnya peran orang tua dalam membina anak usia SD hingga SMP. Ia menyarankan pemerintah untuk lebih fokus pada peningkatan kapasitas orang tua dalam pola asuh. Program yang mudah diakses untuk orang tua bisa menjadi langkah penting.
Dari segi pendekatan, Aris mengingatkan bahwa anak-anak memerlukan pendekatan yang berbeda dari orang dewasa, terutama dalam konteks militer.
Penggunaan pendekatan militer yang tidak tepat dapat menghambat perkembangan anak. Pemerintah perlu mengkaji dengan cermat metode dan pelaksanaan program ini, agar tidak merugikan tumbuh kembang anak.
Lebih lanjut, Aris juga menyoroti pentingnya partisipasi anak dalam proses pembinaan. Anak-anak harus diberi kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka. Jika program ini diterapkan dengan keterpaksaan, hal itu justru bisa menyebabkan kekerasan psikologis dan mengganggu tumbuh kembang mereka.
"Karena kalau sebaik apapun programnya kalau dijalankan oleh anak dengan keterpaksaan justru akan menimbulkan kekerasan baru. Karena merasa tertekan secara psikis sehingga mengganggu tumbuh kembangnya," jelas Aris.
Bukan Solusi, Tapi Ancaman
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform atau ICJR, Maidina Rahmawati menilai langkah Dedi Mulyadi justru bukan solusi, melainkan ancaman. Pendekatan militer, menurutnya, tidak tepat untuk membina anak-anak yang dianggap "nakal."
Berdasarkan laporan Komnas HAM, TNI dan Kepolisian adalah aktor utama dalam kasus penyiksaan terhadap masyarakat sipil. Dari 282 laporan penyiksaan yang diterima sepanjang Januari hingga 24 Juni 2024, Polri tercatat terlibat dalam 176 kasus (75%) dan TNI dalam 15 kasus (19 persen).
Selain itu, laporan Amnesty International Indonesia mencatat 40 kasus kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi sepanjang tahun 2024. Sebanyak 27 kasus melibatkan Kepolisian, dengan 40 korban, dan 12 kasus melibatkan TNI, dengan 59 korban.
"Apakah kita akan menyerahkan anak-anak kepada aktor yang belum diperbaiki untuk mengurangi kekerasan mereka?" kata Maidina.
Maidina menegaskan bahwa mengirim anak-anak ke barak militer adalah bentuk penghukuman. Menurut Konvensi Hak Anak, yang telah diratifikasi Indonesia, penghukuman terhadap anak harus diminimalkan. Prinsip utama dalam konvensi ini adalah "kepentingan terbaik bagi anak."
Demikian pula, dalam Beijing Rules, yang juga diratifikasi Indonesia, penanganan anak bermasalah harus melibatkan berbagai pihak, seperti keluarga dan masyarakat, dengan pendekatan yang positif.
Maidina juga menekankan pentingnya memahami kenakalan anak secara menyeluruh. Banyak faktor yang memengaruhi, seperti latar belakang keluarga dan lingkungan sosial.
Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, juga sepakat bahwa program pendidikan karakter Dedi adalah bentuk penghukuman tanpa dasar hukum yang adil. Ia menilai kebijakan ini hanya populis, tanpa kajian yang mendalam mengenai dampaknya pada masa depan anak.
Arif mengingatkan bahwa kenakalan anak seharusnya dilihat dari berbagai perspektif. Dedi seharusnya mengevaluasi lembaga dan regulasi yang ada terkait pencegahan kenakalan anak, bukan langsung mengambil jalan pintas yang terkesan populis, seperti mengirim anak ke barak militer.
TNI dan Kepolisian, menurut Arif, tidak memiliki kapasitas untuk mendidik anak-anak. Kebijakan Dedi seharusnya melibatkan lembaga terkait seperti Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, dan tokoh agama.
"Bukan justru TNI atau Polri. Mereka memiliki tugas untuk pertahanan dan penegakan hukum, bukan pendidikan," tegas Arif.
Mengikutsertakan TNI dan Polri dalam pendidikan anak dapat merusak sistem pendidikan dan ketatanegaraan. TNI dan Polri harus tetap fokus pada tugas utama mereka, sementara pendidikan anak harus diserahkan kepada lembaga yang berkompeten.
Arif juga menyoroti durasi program pendidikan karakter selama enam bulan tanpa pendidikan formal, yang berpotensi melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak.
"Dasarnya apa?" tanya Arif, mempertanyakan kebijakan tersebut.
Bagaimana pendekatan yang tepat?
Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia, Prof. Rose Mini Agoes Salim, menilai pendidikan karakter pada anak harus dilakukan dengan pendekatan yang tepat. Dalam psikologi belajar, proses mengubah perilaku dikenal dengan istilah shaping membentuk perilaku secara bertahap. Salah satu metode yang sering digunakan adalah reward and punishment.
“Ini yang paling sering dipakai orang tua karena dianggap paling cepat. Kalau salah, dihukum. Kalau sesuai harapan, diberi hadiah,” ujar Bunda Romi, sapaan akrabnya, kepada Suara.com.
Namun, ia menekankan bahwa pendekatan ini tak selalu cocok. Ada cara lain yang lebih efektif memberi contoh. Anak cenderung meniru lingkungan sosialnya. Di sinilah perilaku bisa terbentuk secara alami.
Menurutnya, pendekatan militer sangat menekankan sistem hadiah dan hukuman. Tegas dan disiplin. Jika melanggar, ada konsekuensi yang tidak menyenangkan.
Beberapa sekolah di Indonesia menerapkan sistem semi-militer. Tujuannya menumbuhkan kedisiplinan, ketaatan pada aturan, dan ketertiban. Tapi ketika bicara soal perilaku menyimpang seperti mengonsumsi alkohol atau pergaulan bebas, yang harus diajarkan bukan hanya disiplin, melainkan moral.
“Moral itu bukan hanya soal aturan, tapi tentang empati,” jelasnya.
Setiap anak punya moral sejak lahir. Namun tidak semua berkembang. Menstimulasi moral tidak bisa hanya dengan perintah seperti “ayo kembangkan moralmu.” Yang dibutuhkan adalah proses membangun empati: memahami perasaan, pikiran, dan kebutuhan orang lain.
“Kalau dipukul, rasanya sakit dan marah. Kalau anak bisa memahami itu, dia akan berpikir ulang untuk menyakiti orang lain,” tambahnya.
Ia juga menjelaskan pentingnya kontrol diri. Anak yang melanggar aturan, atau bahkan terlibat dalam tindakan kriminal, umumnya tidak mampu mengontrol diri. Maka pendidikan moral harus membekali anak dengan kemampuan itu.
Moral juga mencakup nurani—kemampuan menilai apakah sesuatu itu benar atau salah. Ditambah nilai-nilai lain seperti respect (penghormatan), kindness (kebaikan), dan fairness (keadilan). Ketiganya, bersama empati, kontrol diri, dan nurani, jadi fondasi utama untuk mencegah penyimpangan sosial.
“Moral itu membantu manusia membedakan mana yang baik dan buruk. Karakter adalah turunan dari moral,” tegasnya.
Terkait program pendidikan karakter dengan pendekatan militer yang digagas Dedi, Bunda Romi menilai pendekatan moral tetap harus diperkuat. Tapi ia mengingatkan, pendidikan karakter bukan tugas negara. Itu tanggung jawab utama orang tua.
Sayangnya, tak semua orang tua punya kapasitas. Karena itu, ia mendorong adanya program pelatihan pola asuh di tingkat kelurahan. Pelatihan ini bisa melibatkan para ahli atau akademisi dari universitas.
Dari penelitiannya, banyak orang tua tak sadar menerapkan pola asuh yang buruk bagi perkembangan anak. Kekerasan dianggap hal biasa di lingkungan tertentu.
“Memukul itu dianggap wajar. Mendidik dengan cubitan atau pukulan juga dianggap lumrah,” ujarnya.
Padahal, kekerasan seperti itu justru menghambat terbentuknya empati, kontrol diri, dan nurani. Semuanya bagian dari moral yang harus distimulasi sejak dini.
Kepsek SMAN 1 Cikarang Utara mengungkapkan kebiasaan Aura Cinta selama di sekolah.
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengungkap syarat untuk menerima bansos bagi masyarakat Jawa Barat adalah dengan melakukan vasektomi.
Dedi Mulyadi menghimbau agar para pelajar berjalan kaki ke sekolah.
Meski demikian, Taufik memberi catatan agar pelatihan yang diberikan hanya semi militer.
Membangun budaya penggunaan transportasi massal perlu dibarengi dengan pengembangan atau peningkatan layanan angkutan umum hingga ke kawasan perumahan.
"Hal ini mengindikasikan perencanaan pengadaan oleh KPU bermasalah," kata Agus.
Ini untuk menjamin transparansi, kejelasan otoritas kelembagaan, serta perlindungan atas hak publik dalam mengakses informasi dari lembaga resmi negara, jelas Hazmin.
"Karena Gibran memang tidak disenangi oleh banyak pihak, dia mestinya juga harus menunjukan kapasitasnya. Tapi ternyata tak begitu, sehingga orang semakin kecewa," Arsinaldi.
Memang tak ada kalimat yang lebih tepat untuk menggambarkan kecintaan Ricky kepada musik rock, yang juga membuatnya amat dicintai penggemar band Seringai.
KPAI mendesak agar temuan tersebut tidak hanya berhenti pada sanksi berupa penarikan produk dari pasar, tapi diproses secara hukum.
"Justru perintah ini sebagai arahan agar para menteri atau pejabat itu tidak dimasuki isu-isu yang ada di luar pemerintahan," ujar Asrinaldi.