Suara.com - Polemik penolakan kremasi pengusaha sekaligus tokoh umat Buddha, Murdaya Widyawimarta Poo terseret dalam pusaran isu intoleransi. Praduga berbahaya yang perlu merisik pada akar masalah sebenarnya.
RABU 2 April 2025, Kepala Dusun Ngaran I dan II, Maryoto didatangi jajaran DPP Walubi dan DPD Walubi Jawa Tengah. Dalam pertemuan itu, DPP Walubi menyampaikan wacana untuk membangun tempat ngaben versi umat Buddha di Dusun Ngaran II, kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Belum ada pembahasan mengenai siapa yang akan dikremasi di tempat itu. Wacana masih mengambang sehingga tidak begitu ditanggapi oleh perangkat dusun setempat.
Saat itu, sang bos JIExpo Kemayoran dan Pondok Indah Mall, masih menjalani perawatan di Singapore General Hospital karena menderita kanker pada saluran kemih, ginjal, dan tulang.
Dalam sambutan Hartati Murdaya, saat jenazah tiba untuk disemayamkan di Vihara Griya Vipasana Avalokitesvara, Mendut, dia menyebut bahwa rencana kremasi sudah disiapkan saat suaminya masih dalam perawatan.
Kondisi kesehatan Murdaya Poo kian memburuk, sehingga keluarga merasa perlu mengatur rencana pemakaman. Jenazah dibawa ke Magelang sesuai pesan mendiang yang minta disemayamkan dan dikremasi jauh dari kota besar.
“Kami rasa ada banyak kaitan dengan Borobudur. Dari agama Buddhis, kalau mau menghormati bapak dengan cara paling bagus, kami rasa di tempat yang sakti (Candi Borobudur),” kata Prajna Murdaya, putra kedua Murdaya Poo.
Murdaya Poo juga berpesan agar jenazahnya dikremasi menggunakan cara tradisional. Tidak seperti krematorium yang memakai tungku api modern, kremasi tradisional cara penganut Buddha di India Utara, menggunakan kayu untuk membakar jenazah.
Warga Menolak Kremasi
Kabar rencana kremasi semakin santer setelah 7 April 2025, Murdaya Poo meninggal di Singapore. Tapi hingga saat itu tidak ada informasi resmi dari Walubi bahwa Murdaya Poo akan dikremasi di Borobudur.
Informasi yang serba tidak pasti berseliweran di kalangan warga. Untuk menghindari kesalahan informasi, warga Ngaran II menggelar rapat pada malamnya di Balkondes Borobudur.
Rapat warga menghasilkan dua keputusan: Pertama, menolak wacana pembuatan tempat ngaben versi Buddha oleh DPP Walubi dan DPD Walubi Jawa Tengah di Dusun Ngaran II. Kedua, warga mewajibkan pengurus Graha Padmasambhava meminta izin kepada Kepala Dusun Ngaran terkait kegiatan keagamaan yang diadakan di lokasi tersebut.
Keputusan warga menolak pembangunan tempat ngaben versi Buddha dituangkan dalam surat pada 8 April 2025 yang dikirim kepada DPP Walubi di Jakarta.
“Saya punya kontak Pak Tanto Harsono (Ketua DPD Walubi Jawa Tengah). Saya tunggu lama, saya WA hari Senin. Bagaimana tanggapan dari surat yang saya kirimkan? Pak Tanto bilang ‘saya kira ini hanya tembusan ke saya’. Padahal setahu saya kan dari DPP ke DPD, Pak Tanto ini kan penjembatannya,” kata Kepala Dusun Ngaran I dan II, Maryoto.
Keterangan itu disampaikan Maryoto pada mediasi warga dengan Walubi yang turut dihadiri Bupati Magelang, Komandan Kodim, Polresta, dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di Ruang Bina Karya, Kompleks Setda Magelang, pada 16 April 2025.
Dalam mediasi, warga Ngaran yang salah satunya diwakili Utoyo menyampaikan alasan-alasan penolakan. Antara lain, alasan kremasi yang berdampak lingkungan karena menghasilkan polutan berbahaya seperti nitrogen oksida dan merkuri.
Rencana kremasi yang dilakukan di lokasi terbuka dan dekat permukiman warga juga masuk dalam poin penolakan. Warga menilai kremasi lebih baik dilakukan di krematorium yang sudah ada di Magelang.
“Lingkungan yang akan digunakan sebagai lokasi kremasi, yang merupakan perwujudan peribadatan Buddhis tidak memiliki masyarakat beragama Buddha. Sehingga perlu merujuk pada Permenag No 9 tahun 2006 dan Permendagri No 8 tahun 2006 agar tidak mencederai kerukunan antar umat beragama,” begitu bunyi pernyataan sikap warga.
Pada mediasi, Walubi menjelaskan bahwa mereka tidak akan membuat bangunan permanen untuk kremasi (krematorium) seperti semula dugaan warga. Rencana kremasi akan diadakan di areal persawahan milik keluarga di Dusun Ngaran II.
Tapi penjelasan itu tidak membuat warga surut dari sikap menolak. Pertemuan berakhir tanpa kesepakatan, dengan agenda mediasi lanjutan yang difasilitasi Pemerintah Kabupaten Magelang.
Luka Lama Warga Ngaran
Pasca mediasi warga malah kecewa karena opini yang mengemuka, mereka dianggap tidak toleran terhadap penganut agama lain. Sikap menolak kremasi, secara mentah-mentah dipahami sebagai tindakan menghalangi kegiatan peribadatan.
“Apakah dengan meloloskan itu (kremasi) kami baru dianggap bersikap toleran? Bukankah selama ini kami sudah toleran. Ini kan sangat bahaya bagi kami. Jadi tidak adil,” kata Hananto, warga Ngaran.
Hananto, nama samaran sesuai permintaan narasumber dengan alasan keamanan. Menurut dia, selain alasan yang diungkap dalam mediasi, ada masalah lain yang menyebabkan warga Ngaran menolak kremasi. Mereka menyebut ganjalan itu sebagai “luka lama”. Hananto salah satu dari sedikit warga Ngaran yang tahu dan mau mengungkap apa luka lama yang dimaksud.
“Pernyataan kami ini (menolak kremasi) sebenarnya kulminasi permasalahan yang terjadi beberapa puluh tahun lalu. Intinya kami trauma atas peristiwa waktu itu.”
Pada 22 tahun lalu, tepatnya 10 Juli 2003, sejumlah tokoh masyarakat Dusun Ngaran membuat pernyataan tidak keberatan tanah milik Ferry Surya Prakasa di Dusun Ngaran II, Desa Borobudur dibangun penginapan. Izin itu menjawab permintaan Ferry, warga Kelapa Gading, Jakarta, yang bermaksud membangun penginapan khusus umat Buddha. Penginapan itu nantinya digunakan untuk persinggahan umat Buddha pada waktu-waktu tertentu mengadakan atau memiliki kegiatan di Candi Borobudur.
Tapi entah bagaimana lembar persetujuan yang ditandatangani Bupati Magelang, Hasyim Afandi, mencantumkan izin pendirian bangunan untuk tempat pendidikan dan latihan agama Buddha. Bukan penginapan seperti izin awal.
Surat persetujuan Bupati Magelang tertanggal 31 Juli 2003 itu menyebutkan bidang tanah yang dimiliki Ferry, berstatus lahan pekarangan C Desa No 1668, Persil No 193 a, Klas D.III seluas 1.950 m2. Dalam surat persetujuan Bupati juga disebutkan, bahwa Ferry sebagai pemohon diwajibkan mengajukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) melalui Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Magelang. Hanya berselang satu bulan, IMB yang dimohonkan Ferry terbit.
Pada berkasnya kembali tertera izin mendirikan bangunan untuk tempat pendidikan latihan agama Buddha dan penginapan khusus.
“Semula izinnya akan dibangun penginapan, tetapi (kenapa) kemudian melenceng,” kata Hananto.
Dugaan Manipulasi Izin
Hananto menjelaskan, perwakilan warga menelusuri berkas pajak tanah dan bangunan yang kini bernama Graha Padmasambhava ke kantor Desa Borobudur. Dalam Daftar Himpunan Ketetapan Pajak dan Pembayaran, ditemukan wajib pajak atas nama Penginapan Padma Sambava. Alamat objek pajak sama dengan Graha Padmasambhava yaitu di Dusun Ngaran II, RT 002 RW 06, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur.
Menurut Hananto, warga pernah mengirimkan surat keluhan kepada Bupati Magelang, Singgih Sanyoto pada 2005. Warga mengajukan keberatan karena fungsi bangunan berubah menjadi gedung diklat umat Buddha, bukan sekadar penginapan.
“Kami sebagai warga yang sangat menjunjung tinggi persaudaraan, selalu berprasangka baik terhadap maksud orang yang datang dengan sopan dan ramah saat itu. Kalau memang dibangun hanya untuk penginapan ataupun tempat singgah sementara, kami mengizinkan.”
Kemudian pada 28 Januari 2005, pengelola bangunan bahkan sempat memasang papan nama Bhuddist Monastery yang berarti biara Buddha. Menurut informasi, tempat ini juga dijadikan rumah ibadat pada Waisak.
Setelah mendapat protes warga, papan nama Bhuddist Monastery diturunkan dan berganti menjadi Graha Padmasambhava hingga sekarang. Kendati begitu, lanjut dia, warga Ngaran tidak pernah mengusik kegiatan umat Buddha di Graha Padmasambhava. Setiap tahun mereka turut membantu kelancaran perayaan Waisak di Borobudur.
“Sampai kemudian bangunan itu berfungsi sebagai tempat kegiatan mereka. Ya penginapan, ya tempat ibadat. Bagaimana kami dianggap kurang toleran? Sudah ditipu, kami tidak mengusik bangunan itu,” kata Hananto.
Penguasaan Lahan
Warga khawatir pengalaman pahit terulang kembali jika mereka memberi izin kremasi. Tidak cukup hanya kremasi untuk Murdaya Poo, warga cemas lokasi yang sama akan dijadikan tempat upacara pembakaran jenazah dikemudian hari.
Kecemasan itu bukan tanpa alasan. Penelusuran warga ke kantor Desa Borobudur menemukan catatan kepemilikian 18 bidang tanah atas nama Dra Siti Hartati Murdaya di Dusun Ngaran II, RT 002 RW 06.
Luas lahan tanpa bangunan miliki Hartati Murdaya, bervariasi antara 379 m2 hingga 3.670 m2. Tanah paling luas dihargai sesuai nilai jual objek pajak (NJOP) sebesar Rp1,9 miliar.
Setiap tahun Hartati Murdaya membayar pajak sekitar Rp5 juta yang urusannya dititipkan kepada salah seorang pengurus Vihara Griya Vipasana Avalokitesvara (GVA) di Mendut.
Prajna Murdaya, putra kedua Murdaya Poo mengaku mengetahui keluarganya memiliki beberapa bidang tanah di kawasan Borobudur. Termasuk lahan yang semula akan dijadikan tempat kremasi.
“Sudah lama, cuma nggak dimanfaatkan saja,” kata Prajna.
Keluarga biasanya membeli tanah di sekitaran Borobudur begitu ada kesempatan.
“Nggak banyak sih. Belum ada rencana, cuma kadang kita ada kesempatan untuk dapat itu (tanah). Nanti kalau ada kegiatan yang beneficial untuk daerah, kami bisa plan and see.”
Selain Hartati Murdaya, mantan pemilik tanah Graha Padmasambhava, Ferry Surya Prakasa juga masih memiliki bidang lahan lainnya di Dusun Ngaran II. Masing-masing lahan seluas 200 m2 dan 1.160 m2 dengan nilai jual objek pajak mencapai Rp814 juta.
Kepala Desa Borobudur, Anwar Ujang Maryadi Lukman membenarkan soal kepemilikan tanah atas nama Hartati Murdaya di Dusun Ngaran II.
“Tanah atas nama Dra Hartati Murdaya saya kira benar itu,” ujarnya saat konfirmasi.
Namun dia mengaku tidak mengetahui pasti berapa jumlah bidang dan luas tanah yang dimiliki Hartati. Yang pasti posisi tanah milik istri Murdaya Poo itu tidak berada dalam satu bidang lahan.
Tanahnya terpisah-pisah diantara lahan milik warga lainnya. Sebagian tanah terpisah saluran irigasi atau sawah produktif yang masih digarap oleh warga Ngaran II.
Bukan Konflik Agama
Tudingan warga tidak memiliki tenggang rasa kepada umat agama lain karena mereka menolak kremasi Murdaya Poo dinilai tidak tepat.
Sederet alasan warga Ngaran menolak kremasi, ditambah pengalaman merasa dibohongi saat pengurusan izin pendirian Graha Padmasambhava pada 2003, perlu jadi refleksi sebelum melabel mereka tidak toleran.
Ini sejalan dengan pernyataan sikap Pemuda Lintas Agama (Pelita) Kabupaten Magelang yang menilai polemik ini bukan terkait agama.
Menurut Ketua Pelita Magelang, Vinanda Febriani, perlu dipahami bahwa akar penolakan kremasi bukan terkait sentimen agama tertentu. Tapi konflik sosial antara warga Ngaran II dengan keluarga Hartati Murdaya.
Vinanda berharap masalah ini dapat diselesaikan melalui jalur mediasi yang maslahat, tanpa tekanan dan justifikasi ke pihak manapun.
Masyarakat diimbau bertindak bijaksana dengan tidak membangun narasi yang menggiring opini masyarakat, seolah masalah tersebut adalah konflik antarpemeluk agama, intoleransi, dan bermuatan SARA.
Belakangan pihak keluarga Murdaya Poo mengindikasikan akan menerima tawaran memindah lokasi kremasi ke Bukti Dagi. Usul memindahkan lokasi kremasi ke lahan kompleks Candi Borobudur sempat disampaikan dalam forum mediasi.
“Kami disarankan lakukan di Bukit Dagi. Sebenarnya tempatnya juga sangat terbatas, orang yang datang juga nggak banyak. Mudah-mudahan kalau kita bisa lakukan itu, bagus juga buat lingkungan,” kata Prajna.
Menurut putra kedua mendiang Murdaya Poo ini, rencana memindah lokasi kremasi ke Bukit Dagi masih dalam proses.
“Kami lagi proses sekarang. Mudah-mudahan bisa ok, memang ada dukungan dari pemerintah. Tapi cuma pengertian saja dari masyarakat, sebenarnya ini untuk menghormati salah satu individu yang benar-benar bantu sekitarnya (Borobudur) sudah lama sekali.”
________________________________________
Kontributor Magelang: Angga Haksoro Ardi
Segini harga tiket masuk Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Terletak di Magelang Jawa Tengah, Candi Borobudur adalah salah satu cagar budaya nasional yang banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik asing ataupun domestik. Berapa tiketnya?
Temukan inspirasi modifikasi terbaru Honda PCX 160 yang memukau, mulai dari desain futuristik hingga sentuhan budaya lokal dengan stupa Borobudur.
Jalur alternatif mudik ini membantu pengendara menghindari jalur utama menuju Magelang, Jawa Tengah agar tak terjebak macet.
Narasi Kejaksaan Agung inipun dianggap berbahaya bagi kebebasan pers. Mengapa demikian?
AS soroti Pasar Mangga Dua sbg sarang barang bajakan dan tekan Indonesia perkuat HaKI di tengah perang dagang AS-China. Pemerintah klaim rutin lakukan pengawasan.
Sejumlah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang perusahaan menahan ijazah pekerja.
Perwira Penuntun (Patun) Pokjar II Serdik Sespimmen, Kombes Denny, menyebut kunjungan tersebut hanya sebatas silaturahmi.
Dapur mengaku belum dibayar. Kisruh ini makin menegaskan amburadulnya pelaksanaan program andalan Presiden Prabowo Subianto tersebut.
Pentas perhelatan Piala Dunia U-17 2025 akan dihelat Qatar. Meski hanya kompetisi untuk pemain kelompok umur, trik jahat pencurian umur mengintai.
Konsep alternate history dalam "Pengepungan di Bukit Duri" membuat ceritanya terasa akrab, meski latarnya fiksi.