Suara.com - Kejaksaan Agung menetapkan Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar sebagai tersangka perintangan penyidikan. Tian disebut menerima uang ratusan juta untuk memproduksi konten pemberitaan yang memframing negatif tentang proses hukum yang tengah dilakukan Kejaksaan Agung. Berita negatif yang diproduksi Tian dianggap merintangi penyidikan.
Narasi Kejaksaan Agung inipun dianggap berbahaya bagi kebebasan pers. Mengapa demikian?
Selasa (22/4) dini hari, Kejaksaan Agung menetapkan tiga tersangka dalam kasus obstruction of justice. Mereka adalah Tian Baktir (Direktur Pemberitaan Jak TV), Marcella Santoso, dan advokat Junaedi Saibih.
Ketiganya diduga merintangi penyidikan sejumlah perkara korupsi, termasuk kasus PT Timah, impor gula, dan dugaan suap vonis lepas dalam perkara ekspor minyak mentah (CPO).
Menurut Direktur Penyidikan Jampidsus, Abdul Qohar, Marcella dan Junaedi memerintahkan Tian untuk membuat konten dan berita negatif yang menyudutkan Kejaksaan Agung. “Tersangka MS dan JS mengorder TB membuat berita-berita negatif terkait penanganan perkara, mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga persidangan,” kata Abdul.
Penyidikan menemukan adanya aliran dana Rp478 juta dari Marcella dan Junaedi ke Tian. Uang itu digunakan untuk memproduksi konten negatif.
Barang bukti yang disita antara lain dokumen tagihan dan invoice. Salah satunya, invoice senilai Rp153 juta untuk produksi 14 berita soal kasus impor gula, 18 berita tanggapan Jamin Ginting, 10 berita soal Ronald Loblobly, serta 15 berita tanggapan dari Dian Puji dan Prof Romli.
Kejaksaan juga menyita invoice senilai Rp20 juta untuk pembayaran pemberitaan di sembilan media dan konten TikTok.
Namun, penetapan Tian sebagai tersangka menuai kritik.
Direktur Eksekutif LBH Pers, Mustafa Layong, mempertanyakan dasar hukum Kejaksaan. Ia menegaskan LBH Pers tidak ingin mengomentari soal aliran dana, tetapi menyoroti narasi hukum yang dipakai untuk menjerat insan media.
"Bagaimana mungkin konten berita yang dinilai negatif dijadikan dasar menetapkan jurnalis sebagai pelaku obstruction of justice?" kata Mustafa.
Menurutnya, Kejaksaan mengabaikan mekanisme yang diatur dalam UU Pers No. 40 Tahun 1999 dan tak berkoordinasi dengan Dewan Pers. Ia menyebut pendekatan ini berbahaya bagi kebebasan pers.
"Kalau dipakai narasi Kejaksaan Agung, maka jangan sampai media apapun yang kritis dan menulis informasi berbeda dari penyidik juga akan dituduh melakukan perintangan penyidikan saat mengkritik proses penyidikan," kata Mustafa kepada Suara.com, Selasa (22/4/2025).
"Ini adalah logika sesat menganggap berita sebagai tindak pidana dan khususnya dapat dikualifikasi sebagai bentuk perintangan penyidikan karena mengganggu konsentrasi penyidik."
Mustafa Layong menegaskan, kewenangan menilai isi pemberitaan berada di tangan Dewan Pers. Jika Jak TV dianggap menyudutkan Kejaksaan dan tidak memberi ruang hak jawab, seharusnya Kejaksaan melapor ke Dewan Pers lebih dulu.
Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 15 ayat (2) huruf d. Di sana ditegaskan, Dewan Pers bertugas memberikan pertimbangan dan menyelesaikan pengaduan masyarakat terkait pemberitaan.
"Harus jelas dibedakan. Menerima suap itu pidana. Tapi berita? Itu bentuk kemerdekaan pers dan ekspresi yang sah," kata Mustafa.
Pakar hukum pidana dari Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, jika yang dimaksud perintangan penyidikan adalah pemberitaan, maka jalurnya adalah mekanisme di UU Pers.
“Kalau memang ada dugaan pidana, baru disampaikan ke aparat penegak hukum. Tapi, apakah mekanisme awal ini sudah dijalankan? Itu yang jadi soal,” ujar Aan kepada Suara.com.
Sementara itu, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyatakan dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Mereka tidak menampik perlunya menelusuri aliran dana yang diterima Tian. Namun, IJTI menilai narasi hukum yang digunakan Kejaksaan berisiko berbahaya.
Penetapan jurnalis sebagai tersangka karena isi pemberitaan dinilai bisa menjadi preseden buruk. Cara ini, menurut IJTI, rentan disalahgunakan untuk membungkam media yang kritis.
"Ini berpotensi menciptakan iklim ketakutan dan menghambat kemerdekaan pers," kata Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan.
Framing Bukan Manipulasi
Framing bukan hal baru dalam dunia komunikasi. Pakar komunikasi krisis, Jojo S. Nugroho, menjelaskan bahwa framing adalah teori dalam komunikasi massa. Fungsinya membingkai informasi agar membentuk makna tertentu.
“Framing itu cara media memilih sudut pandang. Bisa lewat talkshow, editorial, atau debat antar pengacara di ruang publik,” jelas Jojo, dosen Humas di Universitas Indonesia.
Ia menegaskan, framing bukan manipulasi. Tujuannya bukan menyesatkan, melainkan menyoroti aspek tertentu yang kerap diabaikan. Framing adalah bagian sah dari praktik komunikasi publik.
“Jadi kalau framing dianggap menghalangi penyidikan, ini sudah masuk wilayah berbahaya,” kata Jojo dalam pernyataan tertulis kepada Suara.com.
Kalaupun Tian menerima uang untuk membuat berita dengan narasi tertentu, kata Jojo, hal itu bisa dipersoalkan secara etik.
“Tapi apakah itu cukup untuk memenjarakan seseorang? Bukankah advertorial, PR placement, dan siaran berbayar juga lazim dilakukan institusi negara, korporasi, bahkan aparat penegak hukum?” tegasnya.
Jojo mencontohkan Amerika Serikat. Di sana, menggiring opini publik adalah bagian dari strategi komunikasi yang sah. Pengacara bahkan aktif bicara ke media untuk membentuk persepsi publik.
“Selama tidak melanggar hukum, itu boleh-boleh saja. Indonesia memang bukan Amerika. Tapi kita juga bukan negara di mana kritik langsung dianggap makar,” ujarnya.
Menurut Jojo, narasi sebaiknya dilawan dengan narasi. Framing dibalas klarifikasi. Itu sehat. Tapi framing dibalas pasal pidana? Itu represi.
Ia menegaskan tidak sedang membela pelanggar hukum.
“Tapi mari jujur. Kalau media tak boleh bersuara, advokat tak boleh bicara, dan publik dilarang curiga—siapa yang mengawasi jalannya hukum?” katanya.
Pada Selasa (22/4), Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menemui Kejaksaan Agung. Ia mengingatkan, hanya Dewan Pers yang berwenang menilai apakah suatu produk adalah karya jurnalistik atau bukan. Itu mandat dari Undang-Undang Pers.
Menurut Ninik, jika Tian menyalahgunakan profesinya atau menerima uang, itu termasuk pelanggaran etik. Dan etik punya mekanismenya sendiri.
Dewan Pers kini mengusut dua hal: dugaan berita tak berimbang, dan dugaan penerimaan uang. Mereka akan mengkaji isi berita yang menurut Kejaksaan digunakan untuk rekayasa kejahatan.
“Apakah berita-berita itu sesuai parameter kode etik jurnalistik atau tidak, itu yang akan kami nilai,” ujar Ninik.
Namun, soal proses pidana, Ninik menegaskan Dewan Pers tak akan ikut campur. Semua diserahkan ke Kejaksaan.
“Kalau ada bukti pidana, itu wewenang penuh Kejaksaan untuk menindaklanjuti,” katanya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, membantah Tian dijerat karena berita.
“Jangan dilihat sepotong. Ini bukan soal berita, tapi permufakatan jahat,” tegas Harli.
Menurutnya, Tian dan dua orang lainnya sepakat membentuk narasi seolah-olah Kejaksaan Agung busuk.
“Padahal kenyataannya tidak begitu. Informasi itu dikemas untuk mempengaruhi opini publik,” ujarnya.
Berdasarkan catatan yang dihimpun, DH telah dua kali diperiksa dalam kasus tersebut.
"Invoice tagihan Rp20.000.000 untuk pembayaran atas pemberitaan di 9 media mainstream dan umum, media monitoring dan konten Tiktok Jakarta, 4 Juni 2024,"
"Sejak kapan pemberitaan negatif bisa mengganggu penyidikan?..."
Saya sampaikan bahwa penyidik juga sudah melakukan pemeriksaan terhadap sekuriti yang dimaksud,"
AS soroti Pasar Mangga Dua sbg sarang barang bajakan dan tekan Indonesia perkuat HaKI di tengah perang dagang AS-China. Pemerintah klaim rutin lakukan pengawasan.
Sejumlah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang perusahaan menahan ijazah pekerja.
Perwira Penuntun (Patun) Pokjar II Serdik Sespimmen, Kombes Denny, menyebut kunjungan tersebut hanya sebatas silaturahmi.
Dapur mengaku belum dibayar. Kisruh ini makin menegaskan amburadulnya pelaksanaan program andalan Presiden Prabowo Subianto tersebut.
Pentas perhelatan Piala Dunia U-17 2025 akan dihelat Qatar. Meski hanya kompetisi untuk pemain kelompok umur, trik jahat pencurian umur mengintai.
Konsep alternate history dalam "Pengepungan di Bukit Duri" membuat ceritanya terasa akrab, meski latarnya fiksi.
Rentetan tentara masuk kampus (UIN, Unud, Unsoed) saat diskusi, dinilai intervensi & ancaman kebebasan akademik, mirip Orde Baru. Kritik RUU TNI menguatkan kekhawatiran militerisasi.