Suara.com - Joko Anwar kembali hadir dengan karya terbaru yang memukau sekaligus mengguncang.
"Pengepungan di Bukit Duri" bukan sekadar film action berlatar masa depan, tapi juga cerminan pahit dari realitas sosial yang bisa saja terjadi.
Melalui pendekatan alternate history, film ini membawa penonton ke versi lain dari Indonesia yang lebih suram, lebih brutal, dan terasa sangat mungkin terjadi.
Film ini mengangkat luka sejarah, kegagalan sistem, dan potensi kehancuran sosial jika kita terus mengabaikan sejarah kelam serta nilai-nilai kemanusiaan.
Tidak hanya memikat secara teknis, film ambisius garapan Come and See Pictures bersama MGM Studios ini juga meninggalkan jejak emosional yang dalam.
Buat saya pribadi, "Pengepungan di Bukit Duri" merupakan karya Joko Anwar yang paling bikin merinding, bahkan lebih ngeri dari semua film horor beliau.
Ketegangannya menyerupai sensasi nonton film zombie, tapi tanpa makhluk hidup yang bangkit dari kubur, justru karena semua terasa sangat nyata.
Ketegangan Sejak Detik Pertama
Seperti karya-karya Joko Anwar sebelumnya, "Pengepungan di Bukit Duri" langsung menarik penonton sejak adegan pertama.
Tanpa basa-basi, kita langsung dihadapkan pada situasi yang menekan dan penuh ketegangan, serta tidak nyaman.
Adegan pembuka ini begitu kuat hingga bisa jadi cukup memicu trauma bagi sebagian orang, terutama mereka yang pernah merasakan kekerasan atau menyimpan kenangan pahit soal konflik sosial.
Namun, di sinilah letak keberanian film ini. "Pengepungan di Bukit Duri" tidak bermain aman.
Justru dengan menggali luka lama, film ini membuka ruang untuk refleksi dan diskusi, seperti yang diinginkan oleh Joko Anwar.
Distopia yang Terasa Dekat
Konsep alternate history dalam "Pengepungan di Bukit Duri" membuat ceritanya terasa akrab, meski latarnya fiksi.
Film ini mengajak kita membayangkan, "Bagaimana kalau sejarah kelam bangsa ini terulang lagi, tapi dalam bentuk yang lebih canggih, lebih kejam, dan lebih membungkam?"
Situasi sosial yang digambarkan dalam film ini sangat mencemaskan. Amat mencemaskan karena terasa dekat dengan hidup kita.
Pemerintahan yang represif, masyarakat yang dibungkam, identitas dijadikan senjata politik, bahkan kekerasan menjadi makanan sehari-hari.
Semua terasa seperti peringatan bahwa jika kita tidak belajar dari masa lalu dan mudah melupakan sejarah, bukan tidak mungkin kita akan jatuh ke dalam jurang yang sama, bahkan lebih dalam.
Dunia Fiksi yang Terasa Nyata
Salah satu kekuatan terbesar "Pengepungan di Bukit Duri" adalah dunia visualnya.
Jakarta versi distopia yang dibangun oleh tim produksi terasa sangat hidup, dalam artian yang mengerikan.
Kota metropolitan ini digambarkan sebagai tempat yang kacau, penuh bayangan, dan sesak oleh ketakutan. Setiap sudutnya terasa nyata.
Bukan hanya karena desain set yang detail, tapi juga berkat sinematografi yang cermat, tata cahaya yang menambah kesuraman, dan warna-warna dingin yang memperkuat atmosfer.
Penonton tidak hanya melihat dunia ini, tapi juga seperti ikut hidup dan merasakan emosi setiap karakter di dalamnya.
Visualnya mengingatkan pada Gotham City yang ada di film Batman, tapi lebih membumi dan lebih relevan dengan konteks Indonesia.
Ada kesan bahwa ini bukan sekadar dunia rekaan, melainkan kemungkinan yang menunggu di kita di masa depan.
Cerita yang Penuh Lapisan dan Kritik Sosial yang Tajam
Secara naratif, film ini menggabungkan berbagai elemen, mulai dari thriller kriminal, drama politik, hingga aksi jalanan.
Hasilnya adalah cerita yang sat-set, penuh ketegangan, namun tetap mengalir dan mudah diikuti.
Yang menarik, "Pengepungan di Bukit Duri" tidak menyampaikan kritik sosial secara gamblang.
Pesan-pesan tentang rasisme, penyalahgunaan kekuasaan, penghilangan orang secara paksa, dan konflik identitas diselipkan dengan halus tapi tetap terasa.
Dialog-dialognya tidak berceramah, tapi cukup mengena di hati. Situasi yang ditampilkan tidak berlebihan, tapi cukup membuat kita berpikir.
Joko Anwar jelas tahu bagaimana menyampaikan pesan tanpa membuat penonton merasa digurui.
Dia mengajak kita merenung, bukan menyuruh. Itulah yang membuat film ini tetap nikmat ditonton, sekaligus punya nilai lebih.
Karakter yang Kuat, Akting yang Tulus
Tak hanya ceritanya yang solid, karakter-karakter dalam film ini juga digarap dengan serius. Setiap tokoh punya latar belakang, motivasi, dan konflik yang jelas.
Morgan Oey, Hana Malasan, Fatih Unru, Endy Arfian, dan Satine Zaneta tampil apik dalam membawakan peran mereka dengan emosi yang meyakinkan.
Namun, tidak bisa dipungkiri, sosok yang paling mencuri perhatian adalah Omara Esteghlal sebagai Jefri.
Dia bukan karakter biasa. Jefri adalah sosok yang kompleks, kadang tampak sebagai korban, kadang sebagai pelaku, dan kadang keduanya sekaligus.
Omara membawakannya dengan luar biasa. Emosinya terasa mentah, penuh amarah, tapi juga menyimpan kepedihan.
Jefri bukan hanya karakter penting dalam cerita, tapi juga simbol dari kegilaan sistem yang merusak manusia dari dalam.
Aksi yang Brutal, Tapi Bermakna
Adegan aksi di "Pengepungan Bukit Duri" patut mendapat acungan jempol. Koreografinya intens dan realistis.
Tidak ada gerakan yang sia-sia, semuanya punya makna. Setiap pertarungan seperti tarian kemarahan yang mencerminkan situasi sosial yang penuh kekerasan.
Film ini mungkin adalah film Joko Anwar yang paling berani dalam menampilkan kekerasan fisik secara eksplisit.
Tidak ada yang dibuat sekadar untuk mengejutkan kita. Semua kekerasan punya konteks, punya alasan naratif.
Lebih Ngeri dari Semua Film Horor Joko Anwar
"Pengepungan di Bukit Duri" bukan film ringan yang akan membuat kita terhibur, tapi justru di situlah kekuatannya.
Film ini memaksa kita untuk melihat kenyataan, atau kemungkinan yang sering kali ingin kita lupakan.
Hantaman keras yang membuat saya kepikiran adalah, bagaimana teknologi terus berkembang, tetapi pola pikir manusia tetap primitif.
Dalam rentang belasan tahun, Indonesia masih jalan di tempat, bahkan menjadi lebih parah.
Apa yang terjadi di dalam "Pengepungan di Bukit Duri" bisa menjadi kenyataan dalam waktu dua tahun, atau bahkan lebih cepat.
Jadi, saya merasa film ini lebih mengerikan daripada "Pengabdi Setan", "Perempuan Tanah Jahanam", serta "Siksa Kubur".
"Pengepungan di Bukit Duri" adalah film yang layak dibicarakan, bukan hanya karena kualitas produksinya, tapi juga karena pesannya yang penting.
Namun, ini bukan tontonan yang nyaman, karena memang tidak dimaksudkan untuk memberi kenyamanan.
Kontributor : Chusnul Chotimah
Berikut adalah lima film animasi terlaris dari Asia Tenggara yang berhasil memikat jutaan penonton.
Begitu film dimulai, kamu akan dibawa ke dalam kisah Jihan (Asmara Abigail) dan adiknya, Syafa (Ajeng Giona), yang baru saja pindah ke panti asuhan.
Ada The King of Kings untuk temani libur Paskah 2025.
The Help: Potret Kefanatikan Ras & Kelas Sosial di Era Tahun 1960-an.
Rentetan tentara masuk kampus (UIN, Unud, Unsoed) saat diskusi, dinilai intervensi & ancaman kebebasan akademik, mirip Orde Baru. Kritik RUU TNI menguatkan kekhawatiran militerisasi.
Posisi dan keahlian medis digunakan untuk melancarkan kejahatan seksual.
Ayah, paman, dan kakek di Garut ditangkap atas pemerkosaan anak 5 tahun. Menteri PPPA dan KPAI mengutuk keras, kawal kasus, dan minta hukuman diperberat serta restitusi.
"Kontroversial Jokowi ini kan terlihat karena selama memimpin sebagai presiden sering dinilai banyak berbohong," kata Jamiluddin.
Ketua DPP PDIP Puan Maharani mengonfirmasi kabar soal rencana pertemuan lanjutan.
Kasus suap empat hakim ini bukan demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga, tetapi corruption by greed atau keserakahan.
"Setelah diberikan kelonggaran, maka tidak boleh ada lagi toleransi bagi pelanggaran serupa di masa depan, ujar Nur.