Review Pengepungan di Bukit Duri, Lebih Ngeri dari Semua Film Joko Anwar
Home > Detail

Review Pengepungan di Bukit Duri, Lebih Ngeri dari Semua Film Joko Anwar

Yohanes Endra

Sabtu, 19 April 2025 | 07:35 WIB

Suara.com - Joko Anwar kembali hadir dengan karya terbaru yang memukau sekaligus mengguncang. 

"Pengepungan di Bukit Duri" bukan sekadar film action berlatar masa depan, tapi juga cerminan pahit dari realitas sosial yang bisa saja terjadi. 

Melalui pendekatan alternate history, film ini membawa penonton ke versi lain dari Indonesia yang lebih suram, lebih brutal, dan terasa sangat mungkin terjadi.

Film ini mengangkat luka sejarah, kegagalan sistem, dan potensi kehancuran sosial jika kita terus mengabaikan sejarah kelam serta nilai-nilai kemanusiaan. 

Tidak hanya memikat secara teknis, film ambisius garapan Come and See Pictures bersama MGM Studios ini juga meninggalkan jejak emosional yang dalam.

Buat saya pribadi, "Pengepungan di Bukit Duri" merupakan karya Joko Anwar yang paling bikin merinding, bahkan lebih ngeri dari semua film horor beliau.

Ketegangannya menyerupai sensasi nonton film zombie, tapi tanpa makhluk hidup yang bangkit dari kubur, justru karena semua terasa sangat nyata.

Ketegangan Sejak Detik Pertama

Seperti karya-karya Joko Anwar sebelumnya, "Pengepungan di Bukit Duri" langsung menarik penonton sejak adegan pertama. 

Tanpa basa-basi, kita langsung dihadapkan pada situasi yang menekan dan penuh ketegangan, serta tidak nyaman.

Adegan pembuka ini begitu kuat hingga bisa jadi cukup memicu trauma bagi sebagian orang, terutama mereka yang pernah merasakan kekerasan atau menyimpan kenangan pahit soal konflik sosial.

Namun, di sinilah letak keberanian film ini. "Pengepungan di Bukit Duri" tidak bermain aman. 

Justru dengan menggali luka lama, film ini membuka ruang untuk refleksi dan diskusi, seperti yang diinginkan oleh Joko Anwar.

Film Pengepungan di Bukit Duri. [X]
Film Pengepungan di Bukit Duri. [X]

Distopia yang Terasa Dekat

Konsep alternate history dalam "Pengepungan di Bukit Duri" membuat ceritanya terasa akrab, meski latarnya fiksi. 

Film ini mengajak kita membayangkan, "Bagaimana kalau sejarah kelam bangsa ini terulang lagi, tapi dalam bentuk yang lebih canggih, lebih kejam, dan lebih membungkam?"

Situasi sosial yang digambarkan dalam film ini sangat mencemaskan. Amat mencemaskan karena terasa dekat dengan hidup kita.

Pemerintahan yang represif, masyarakat yang dibungkam, identitas dijadikan senjata politik, bahkan kekerasan menjadi makanan sehari-hari.

Semua terasa seperti peringatan bahwa jika kita tidak belajar dari masa lalu dan mudah melupakan sejarah, bukan tidak mungkin kita akan jatuh ke dalam jurang yang sama, bahkan lebih dalam.

Dunia Fiksi yang Terasa Nyata

Salah satu kekuatan terbesar "Pengepungan di Bukit Duri" adalah dunia visualnya. 

Jakarta versi distopia yang dibangun oleh tim produksi terasa sangat hidup, dalam artian yang mengerikan. 

Kota metropolitan ini digambarkan sebagai tempat yang kacau, penuh bayangan, dan sesak oleh ketakutan. Setiap sudutnya terasa nyata. 

Bukan hanya karena desain set yang detail, tapi juga berkat sinematografi yang cermat, tata cahaya yang menambah kesuraman, dan warna-warna dingin yang memperkuat atmosfer. 

Penonton tidak hanya melihat dunia ini, tapi juga seperti ikut hidup dan merasakan emosi setiap karakter di dalamnya.

Film Pengepungan di Bukit Duri. [X]
Film Pengepungan di Bukit Duri. [X]

Visualnya mengingatkan pada Gotham City yang ada di film Batman, tapi lebih membumi dan lebih relevan dengan konteks Indonesia. 

Ada kesan bahwa ini bukan sekadar dunia rekaan, melainkan kemungkinan yang menunggu di kita di masa depan.

Cerita yang Penuh Lapisan dan Kritik Sosial yang Tajam

Secara naratif, film ini menggabungkan berbagai elemen, mulai dari thriller kriminal, drama politik, hingga aksi jalanan. 

Hasilnya adalah cerita yang sat-set, penuh ketegangan, namun tetap mengalir dan mudah diikuti.

Yang menarik, "Pengepungan di Bukit Duri" tidak menyampaikan kritik sosial secara gamblang. 

Pesan-pesan tentang rasisme, penyalahgunaan kekuasaan, penghilangan orang secara paksa, dan konflik identitas diselipkan dengan halus tapi tetap terasa. 

Dialog-dialognya tidak berceramah, tapi cukup mengena di hati. Situasi yang ditampilkan tidak berlebihan, tapi cukup membuat kita berpikir.

Joko Anwar jelas tahu bagaimana menyampaikan pesan tanpa membuat penonton merasa digurui. 

Dia mengajak kita merenung, bukan menyuruh. Itulah yang membuat film ini tetap nikmat ditonton, sekaligus punya nilai lebih.

Film Pengepungan di Bukit Duri. [X]
Film Pengepungan di Bukit Duri. [X]

Karakter yang Kuat, Akting yang Tulus

Tak hanya ceritanya yang solid, karakter-karakter dalam film ini juga digarap dengan serius. Setiap tokoh punya latar belakang, motivasi, dan konflik yang jelas. 

Morgan Oey, Hana Malasan, Fatih Unru, Endy Arfian, dan Satine Zaneta tampil apik dalam membawakan peran mereka dengan emosi yang meyakinkan.

Namun, tidak bisa dipungkiri, sosok yang paling mencuri perhatian adalah Omara Esteghlal sebagai Jefri. 

Dia bukan karakter biasa. Jefri adalah sosok yang kompleks, kadang tampak sebagai korban, kadang sebagai pelaku, dan kadang keduanya sekaligus. 

Omara membawakannya dengan luar biasa. Emosinya terasa mentah, penuh amarah, tapi juga menyimpan kepedihan. 

Jefri bukan hanya karakter penting dalam cerita, tapi juga simbol dari kegilaan sistem yang merusak manusia dari dalam.

Aksi yang Brutal, Tapi Bermakna

Adegan aksi di "Pengepungan Bukit Duri" patut mendapat acungan jempol. Koreografinya intens dan realistis. 

Tidak ada gerakan yang sia-sia, semuanya punya makna. Setiap pertarungan seperti tarian kemarahan yang mencerminkan situasi sosial yang penuh kekerasan.

Film ini mungkin adalah film Joko Anwar yang paling berani dalam menampilkan kekerasan fisik secara eksplisit. 

Tidak ada yang dibuat sekadar untuk mengejutkan kita. Semua kekerasan punya konteks, punya alasan naratif.

Lebih Ngeri dari Semua Film Horor Joko Anwar

"Pengepungan di Bukit Duri" bukan film ringan yang akan membuat kita terhibur, tapi justru di situlah kekuatannya. 

Film ini memaksa kita untuk melihat kenyataan, atau kemungkinan yang sering kali ingin kita lupakan. 

Hantaman keras yang membuat saya kepikiran adalah, bagaimana teknologi terus berkembang, tetapi pola pikir manusia tetap primitif.

Dalam rentang belasan tahun, Indonesia masih jalan di tempat, bahkan menjadi lebih parah.

Apa yang terjadi di dalam "Pengepungan di Bukit Duri" bisa menjadi kenyataan dalam waktu dua tahun, atau bahkan lebih cepat.

Jadi, saya merasa film ini lebih mengerikan daripada "Pengabdi Setan", "Perempuan Tanah Jahanam", serta "Siksa Kubur".

"Pengepungan di Bukit Duri" adalah film yang layak dibicarakan, bukan hanya karena kualitas produksinya, tapi juga karena pesannya yang penting. 

Namun, ini bukan tontonan yang nyaman, karena memang tidak dimaksudkan untuk memberi kenyamanan. 

Kontributor : Chusnul Chotimah


Terkait

Viral SD di Purwokerto Sewa 47 Angkot Demi Nobar Film Jumbo, Sutradara Sampai Terharu
Jum'at, 18 April 2025 | 17:32 WIB

Viral SD di Purwokerto Sewa 47 Angkot Demi Nobar Film Jumbo, Sutradara Sampai Terharu

"Teman-teman SD UMP Purwokerto sampai sewa 47 angkot untuk nobar Film Jumbo. Semoga core memory ya, Dek,"

Bangun Kreativitas, Blok demi Blok: A Minecraft Movie Meal Kini Hadir di Indonesia!
Jum'at, 18 April 2025 | 15:57 WIB

Bangun Kreativitas, Blok demi Blok: A Minecraft Movie Meal Kini Hadir di Indonesia!

McDonalds Indonesia merayakan momen penayangan film A Minecraft Movie dengan meluncurkan A Minecraft Movie Meal dan Happy Meal eksklusif.

Film The Roses Pertemukan Benedict Cumberbatch dengan Olivia Colman
Jum'at, 18 April 2025 | 14:48 WIB

Film The Roses Pertemukan Benedict Cumberbatch dengan Olivia Colman

Benedict Cumberbatch beradu akting dengan Olivia Colman di film The Roses.

Terbaru
Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa
nonfiksi

Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa

Sabtu, 01 November 2025 | 08:05 WIB

Film Caught Stealing menghadirkan aksi brutal, humor gelap, dan nostalgia 90-an, tapi gagal memberi akhir yang memuaskan.

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan nonfiksi

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan

Jum'at, 31 Oktober 2025 | 13:18 WIB

Ia hanya ingin membantu. Tapi data dirinya dipakai, dan hidupnya berubah. Sebuah pelajaran tentang batas dalam percaya pada orang lain.

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur nonfiksi

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:00 WIB

Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan nonfiksi

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan

Jum'at, 24 Oktober 2025 | 13:06 WIB

Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu? nonfiksi

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 09:05 WIB

No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan nonfiksi

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan

Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:12 WIB

Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung nonfiksi

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 09:00 WIB

Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.

×
Zoomed