Suara.com - Pengemudi ojek online dan taksi online mengeluhkan bonus hari raya atau BHR yang diberikan aplikator. Nominal yang diberikan tak sesuai dengan perhitungan sebagaimana surat edaran Kementerian Ketenagakerjaan.
Bagi pengemudi yang mengadu ke Kemenaker diancam diputus hubungan kemitraannya oleh aplikator.
Pemberian BHR untuk pengemudi ojol ini cuma berdasarkan surat edaran pemerintah yang tentunya tidak mengikat. Apalagi belum ada regulasi yang mengatur hubungan kemitraan antara ojol dengan aplikator.
Sehingga terjadi ketimpangan relasi antara pengemudi dengan aplikator, membuat pemenuhan hak mereka semakin rapuh.
SEJAK Sabtu 22 Maret 2025, sejumlah perusahaan tranportasi berbasis aplikasi daring mulai mencairkan bonus hari raya kepada para pengemudinya. Tapi nominal yang dikirim tak sesuai dengan perhitungan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Pemberian Bonus Hari Raya Keagamaan Tahun 2025 Bagi Pengemudi dan Kurir Pada Layanan Angkutan Berbasis Aplikasi yang diterbitkan Menteri Ketanagakerjaan, Yassierli.
Surat edaran bernomor M/3/HK.04.00/III/2025 diterbitkan pada 11 Maret 2025. Ini respons atas aksi unjuk rasa para pengemudi ojol dan taksi online yang sudah lama mereka perjuangkan agar diberikan tunjangan hari raya (THR).
Dalam edaran itu ditetapkan perhitungan BHR berdasarkan 20 persen dari rata-rata pendapatan bersih bulanan pengemudi selama 12 bulan terakhir. Dengan aturan tersebut pengemudi digadang-gadang mendapatkan kisaran Rp1 juta per orang, seperti yang pernah disampaikan Presiden Prabowo Subianto.
"Saya mendengar mereka akan terima Rp1 juta setiap pekerja (ojol). Tapi saya imbau pengusaha swasta kalau bisa ditambahlah ini. Mengimbau kan boleh, nggak ada paksaan kan," kata Prabowo pada sidang kabinet di Istana Kepresidenan, Jumat (21/3/2025).

Namun, ibarat panggang jauh dari api. Realita di lapangan menunjukan fakta berbeda. BHR yang diterima pengemudi jauh dari nominal yang disampaikan Prabowo.
Rully, pengemudi ojol dari Gojek mengaku BHR yang diterimanya tidak manusiawi. Nominalnya hanya Rp50 ribu, padahal dia sudah bergabung dengan Gojek sejak 2016.
"Sangat jauh mas. Kalau dihitung satu tahun terakhir enggak mungkin nominal BHR saya Rp50 ribu. Karena history satu tahun terakhir saya lumayan banyak," kata Rully kepada Suara.com, Selasa (25/3/2025).
Rully mengaku dirinya dan rekan-rekannya sudah menaruh harapan besar terhadap BHR yang diberikan. Setidaknya dapat membantu memenuhi keperluan keluarganya jelang Hari Raya Iduli Fitri.
Sedangkan Anna, pengemudi perempuan taksi online Grab hanya bisa pasrah menerima BHR yang diberikan kepadanya. Nominalnya hanya Rp255 ribu, padahal ia bergabung dengan Grab sejak 2017.
"Kalau dari angkanya balik lagi ya, dari namanya bonus hari raya. Kami ini kan hanya mitra, kalau misalnya segitu, ya sudah," ucap Anna kepada Suara.com.
Keluhan Rully dan Anna juga sama dengan sejumlah aduan pengemudi ojol lain kepada Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI). Sejak BHR mulai dicairkan, SPAI membuka posko pengaduan lewat nomor WhatsApp 081511982590.
Salah satu pengaduan yang terima dari seorang pengemudi Gojek, ia hanya mendapatan BHR Rp50 ribu. Menanggapi hal itu, Ketua SPAI Lily Pujiati menyebut angka itu tidak manusiawi.
"Seorang pekerja ojol Gojek hanya dibayar THR-nya senilai Rp50 ribu, padahal pendapatannya selama 12 bulan sebesar Rp93 juta," kata Lily kepada Suara.com.
Perhitungan yang dilakukan tidak mengikuti ketetapan yang termuat dalam surat edaran Kementerian Ketenagakerjaan. Masing-masing aplikator memiliki perhitungannya sendiri.
Gojek misalnya membagi nominal BHR berdasarkan kategori kemitran, yakni mitra harapan hingga mitra utama. Untuk pegemudi ojol nilai BHR yang akan diberikan berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp900 ribu. Sementara taksi online berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp1,6 juta.
Selain itu terdapat pula persyaratan yang harus dipenuhi. Seperti hari kerja 25 hari, jam kerja online 250 jam, tingkat penerimaan order 90 persen, total orderan minimal 250 orderan dan rata-rata rating 4,9 setiap bulan.
Hal yang hampir sama juga diterapkan oleh Grab. Besaran BHR ditentukan berdasarkan empat kategori kemitraan; anggota, pejuang, ksatria, dan jawara. Untuk pengemudi ojol besaran BHR berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp850 ribu.
Pengemudi taksi online Rp50 ribu hingga Rp1,6 juta. Sama seperti Gojek, terdapat pula persyaratan yang harus dipenuhi.
Lili mengaku masih banyak pengemudi yang tidak mendapatkan BHR karena tidak memenuhi syarat. Pasalnya, persyaratan itu tidak berkeadilan dan diskriminatif.
"Sangat tidak adil karena sepinya orderan para pekerja ojol disebabkan oleh skema prioritas diskriminatif yang diterapkan platfrom. Seperti adanya akun prioritas, skema slot, skema aceng (argo goceng), skema level/tingkat prioritas," katanya.
"Belum lagi potongan platform selangit yang mencapai 50 persen, yang berdampak pada penurunan pendapatan pekerja ojol dan membuat seolah-olah pengemudi tidak berkinerja baik," sambungnya.
Selain itu, SPAI menerima aduan dari sejumlah pengemudi yang mendapatkan itimidasi dari pihak aplikasi. Mereka diancam akan dibekukaan atau diputus kemitraanya jika membuat aduan ke Kementerian Ketenagakerjaan.
"Untuk itu kami mendesak Kemnaker untuk menindak tegas platform yang memberi sanksi kepada pekerjanya," kata Lily.
Tidak Bersifat Mengikat
Sikap peruhasaan tranfortasi online yang tidak mengikuti dasar perhitungan BHR dari pemerintah karena ketetapanya yang hanya diatur dalam surat edaran.
![Presiden Prabowo Subianto (kedua kiri) berbincang dengan CEO Gojek Patrick Walujo (kanan) dan para pengemudi ojek daring seusai menyampaikan keterangan terkait pemberian tunjangan hari raya (THR) di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (10/3/2025). [ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/sgd/YU]](https://media.suara.com/pictures/original/2025/03/10/90900-thr-untuk-ojol-ojek-daring-ojek-online.jpg)
Dosen Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa menegaskan surat edaran tidak bersifat mengikat. Terlebih dalam perundangan-perudangan atau peraturan pemerintah tidak terdapat frasa yang mengatur bonus hari raya atau BHR.
"Karena dari awal memang sudah dikritik bahwa kebijakan BHR melalui surat edaran itu tidak mengikat," kata Nabiyla kepada Suara.com.
Sifatnya yang tidak mengikat membuat surat edaran tersebut tidak memiliki implikasi hukum bagi perusahaan yang tidak menjalankannya.
Berbeda dengan surat edaran tentang tunjangan hari raya atau THR yang jika tidak dijalankan memiliki dampak hukum. Karena pemberian THR diatur dalam berbagai peraturan seperti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
"Sehingga yang terjadi adalah para perusahaan tidak menggunakan perhitungan yang dalam surat edaran. Perusahaan membuat perhitungannya masing-masing," kata Nabiyla.
Menurutnya persoalan ini satu dari sekian dampak dari ketiadaan aturan hukum yang meregulasi hubungan kemitraan pengemudi dengan perusahaan transfortasi online. Tuntutan BHR atau THR akan muncul setiap waktu jika pemerintah tidak segera membuat regulasi perundang-undangan yang mengakomodir hubungan kemitraan antara pengemudi dengan perusahaan transfortasi online.
"Seharusnya bukan pengaturan tentang BHR yang kita perjuangkan, tapi segera dilakukan oleh pemerintah adalah membuat pengaturan hubungan kemitraan secara luas," tegasnya.
Peneliti dari Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) – Universitas Gadjah Mada, Arif Novianto menilai perhitungan BHR yang ditentukan sendiri oleh masing-masing aplikator sebagai upaya untuk mengakali surat edaran yang diterbitkan Kementerian Ketenagakerjaan.
Berbagai persyaratan, menurutnya, sengaja dibuat sehingga pihak aplikator tidak memberikan BHR kepada seluru pengemudi yang menjadi mitra.
Sikap aplikator ini pun dinilai sangat mengecewakan. Pasalnya tuntutan THR atau BHR bukan hanya mereka suarakan kali ini, namun sejak beberapa tahun ke belakang.
"Tapi baru dipenuhi sekarang dan ketika dipenuhi pun banyak hal yang dilanggar oleh perusahaan platform itu sendiri," kata Arif kepada Suara.com.
Pemerintah harus memberikan sanksi tegas. Arif juga sepakat agar pemenuhan hak para pengemedi diatur dalam regulasi yang mengikat seperti undang-undang atau peraturan menteri.
"Kalau terus seperti ini kewenangan atau kekuasaan dari negara untuk melindungi masyarakat itu menjadi seolah-olah diremehkan oleh perusahaan platform," tegasnya.
Menanggapi berbagai persoalan ini Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer menyebut pemerintah akan menyelidiki perusahaan yang tidak mengikuti ketentuan dalam edaran. Dia menegaskan akan memberikan peringatan.
"Kalau itu benar terjadi memalukan. Mendingan kami bikin seruan pulangin saja duitnya Rp50 ribu," katanya.
"Negara ini mampu kok. Saya juga mampu sebagai Wakil Menteri membalikkan Rp50 ribu itu. Jangan dihina bangsa ini karena driver ojek online itu patriotik-patriotik bangsa ini. Jangan dihina mereka," sambungnya.
Menurut Immanuel, besaran BHR tersebut ditentukan berdasarkan kategorisasi yang dibuat oleh pihak aplikator.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengaku tak habis pikir dan geleng-geleng setelah mengetahui bahwa pengemudi ojek online (ojol) hanya menerima BHR Rp50 ribu.
Yassierli mengatakan hingga saat ini pihaknya masih menunggu laporan lengkap mengenai hal tersebut.
Film Caught Stealing menghadirkan aksi brutal, humor gelap, dan nostalgia 90-an, tapi gagal memberi akhir yang memuaskan.
nonfiksi
Ia hanya ingin membantu. Tapi data dirinya dipakai, dan hidupnya berubah. Sebuah pelajaran tentang batas dalam percaya pada orang lain.
nonfiksi
Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.
nonfiksi
Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.
nonfiksi
No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.
nonfiksi
Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?
nonfiksi
Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.