Suara.com - Pungutan liar berkedok tunjangan hari raya atau THR menjelang perayaan Idul Fitri dilakukan oleh sejumlah organisasi masyarakat, bahkan aparat penegak hukum seakan menjadi tradisi setiap tahun. Kebiasan buruk ini menunjukan sejumlah persoalan, yakni lemahnya upaya penegakan hukum hingga faktor ekonomi yang disebabkan kegagalan negara memberikan penghidupan layak bagi warganya.
Di tengah persoalan ini, pernyataan Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi'i yang menyebut ormas meminta THR sebagai tradisi menjelang lebaran dinilai membahayakan. Sebab hal itu bisa jadi pembenaran atas tindakan pungutan liar atau pungli.
SEJUMLAH kasus pungli berkedok meminta THR yang dilakukan organisasi masyarakat atau ormas kembali terjadi menjelang lebaran tahun ini. Di Kota Bekasi, Suhada alias Jagoan Cikiwul, bersama dua rekannya berinisial A, dan D yang tergabung dalam Ormas Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) viral di media sosial. Mereka terekam meminta THR kepada sebuah perusahaan di Bantargebang.
Dalam video yang beredar, Suhada marah karena proposal THR yang diajukan ditolak oleh perusahaan. Beberapa hari berselang, Polres Metro Bekasi Kota menangkap ketiga pelaku.
Sementara di Kabupaten Tangerang seorang satpam di SMKN 9 Tangerang ditusuk oleh dua anggota ormas Gerhana Indonesia karena tidak diberi THR. Peristiwa itu terjadi pada 17 Maret lalu.
Kasus ini berawal dari kedua pelaku ingin menemui staf sekolah menanyakan perihal surat permintaan THR yang mereka layangkan. Namun kedatangan keduanya berujung dengan keributan hingga terjadi pemukulan dan penusukan terhadap terhadap korban.
Selain ormas, aparat penegak hukum juga dilaporkan melakukan pungli berkedok THR. Di Jakarta, viral surat permintaan THR yang mengatasnamakan Polsek Menteng. Surat itu ditujukan kepada hotel yang berada di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Terdapat empat nama Bhabin Kamtibmas yang dicantumkan dalam surat edaran itu, yaitu AKP Irawan Junaedi, Aiptu Hardi Bakri, Aipda Anwar, dan seorang staf bernama Rahman. Belakangan keempatnya diperiksa Propam Polres Jakarta Pusat.
Secara umum pungli berkedok THR yang dilakukan ormas atau aparat penegak hukum menyasar masyarakat umum, pelaku usaha, dan instansi-instansi pemerintahan di tingkat daerah.
Di tengah maraknya pungli tersebut, pernyataan kontroversial keluar dari Wakil Menteri Agama Muhammad Syafi'i. Menurutnya ormas yang meminta THR adalah suatu hal yang biasa dan tidak perlu untuk dibesar-besarkan, bahkan dianggap sebagai budaya.
"Saya rasa itu budaya lebaran Indonesia sejak dahulu kala. Tak perlu dipersoalkan," kata Syafi'i dalam sebuah video yang viral di media sosial.
Praktik Ilegal
Sosiolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Andreas Budi Widyanta menilai kasus ormas yang meminta THR setiap tahun menunjukkan upaya lemahnya penegakan hukum. Situasi yang terjadi saat ini semakin memburuk dengan pernyataan dari Wamenag yang menyebut ormas minta THR sebagai bagian budaya Indonesia.
"Saya tidak sepakat sama sekali. Itu adalah bentuk dari seorang pejabat publik tidak layak untuk mengatakan itu. Itu artinya dia (Syafi'i) tidak tahu tentang aturan," kata Widyanta kepada Suara.com, Senin (24/3/2024).
Dia menegaskan tindakan yang dilakukan sejumlah ormas tersebut merupakan pemerasan yang masuk dalam kategori kriminal. Dia khawatir di tengah lemahnya penegakan hukum terhadap ormas meminta THR, dan ditambah dengan pernyataan Syafi'i dapat dijadikan sebagai pembenaran.
"Dan pembiasaan seperti ini adalah pembiasaan di mana negara yang tidak punya hukum," ujar Widyanta.
Senada dengan Widyanta, Dosen Sosiologi Universitas Jenderal Soedirman, Hariyadi menilai pernyataan wamenag Syafi'i bisa menjadi legitimasi bahwa ormas yang meminta THR sebuah tindakan yang legal. Pernyataan Syafi'i menurutnya sebagai pembiaran, seolah-olah tidak ada masalah ketika ormas meminta THR.
"Wamenag tidak menyadari bahwa tindakan-tindakan seperti itu turut menyumbang bagi beratnya beban yang harus ditanggung oleh para pengusaha terutama di lingkup menengah ke bawah," kata Hariyadi kepada Suara.com.
Hariyadi melihat ormas yang meminta THR dari dua sisi. Pertama terdapat sejumlah ormas yang secara struktural kerap bertindak arogan karena merasa memiliki jasa keamanan kepada masyarakat dan pelaku usaha. Atas hal itu mereka merasa miliki hak untuk mengutip bayaran atas jasa kemananannya.
"Jadi jika situasi kondisinya menjelang lebaran, maka mereka merasa berhak untuk meminta THR," jelas Hariyadi.
Terlebih, ormas sering dilibatkan aparat penegak hukum dalam berbagai kegiatan keamanan sehingga membuat mereka merasa akan dilindungi ketika melakukan pungli. Hariyadi pun menyebut sikap arogan tersebut tak bisa dipisahkan dari tanggung jawab aparat penegak hukum.
Di sisi lain, Hariyadi menilai maraknya kasus ini dipicu latar belakang ekonomi. Umumnya, anggota ormas di level bawah yang melakukan pungli berasal dari golongan perekonomian kurang mampu.
"Selama ini kelihatannya elite ormas kurang memperhatikan kesejahteraan mereka, sehingga para pelaku pungli atau permintaan THR mau tidak mau melakukan hal tersebut sebagai bentuk bertahan hidup," tuturnya.
Sementara Widyanta menyebut persoalan ini tidak berdiri sendiri. Terdapat berbagai faktor penyebab, salah satunya adalah masalah ekomi.
Pada umumnya anggota ormas yang melakukan pungli adalah kelompok pengangguran yang tidak memiliki penghasilan. Terdapat kegagalan negara dalam menciptakan lapangan pekerjaaan.
"Negara juga gagal memberikan penghidupan kepada warga negaranya. Ini yang harus dibaca lebih jauh," kata Widyanta.
Selain persoalan ekonomi, persoalan ini cerminan dari aparat penegak hukum. Misalnya, pelaku pungli ke hotel-hotel di Menteng, Jakarta Pusat diduga anggota kepolisian.
"Jadi kita bisa menyaksikan bahwa ormas tadi adalah potret kecil saja. Bahwa kita perhatin dengan itu, iya. Bahwa itu harus ditindak secara hukum? jelas. Tetapi masalahnya penegak hukum sendiri juga melakukan hal yang sama, terus bagaimana?" kata Widyanta.
Dalam konteks yang lebih luas, hal ini adalah cerminan dari sikap pemerintahan yang berkuasa saat ini. Praktek ekonomi yang diterapkan hanya demi keuntungan oligarki. Perekonomian yang dijalankan sebagai proses ekonomi penghisapan.
"Penghisapan-penghisapan itu sudah dilakukan dengan cara mengekstraksi kekayaan alam untuk kepentingan kelompok elit oligarki itu sendiri," tegasnya.
Komisi II DPR mewanti-wanti ormas bisa dibubarkan jika mengganggu persatuan & keadilan. Kemendagri didesak evaluasi, apalagi jika lakukan intoleransi.
Proyek pembangunan pabrik mobil listrik raksasa asal China, BYD, di Subang, Jawa Barat, dilaporkan diganggu oleh aksi premanisme organisasi masyarakat (ormas).
"...Katanya sudah ada investor yang menyediakan biaya halal..."
Rahayu Saraswati kembali mencalonkan diri sebagai Ketum TIDAR 2025-2030, didukung kader daerah dan luar negeri. Fokus kaderisasi dan peran anak muda di politik.
Memang tak ada kalimat yang lebih tepat untuk menggambarkan kecintaan Ricky kepada musik rock, yang juga membuatnya amat dicintai penggemar band Seringai.
KPAI mendesak agar temuan tersebut tidak hanya berhenti pada sanksi berupa penarikan produk dari pasar, tapi diproses secara hukum.
"Justru perintah ini sebagai arahan agar para menteri atau pejabat itu tidak dimasuki isu-isu yang ada di luar pemerintahan," ujar Asrinaldi.
"Jadi apa yang dinyatakan itu bertolak belakang dengan apa yang terjadi atas pemilihan dia (Gibran) sebagai wakil presiden," kata Widyanto.
Ada 'luka lama' di balik penolakan warga terkait rencana kremasi Murdaya Poo di kawasan Borobudur.
Narasi Kejaksaan Agung inipun dianggap berbahaya bagi kebebasan pers. Mengapa demikian?
AS soroti Pasar Mangga Dua sbg sarang barang bajakan dan tekan Indonesia perkuat HaKI di tengah perang dagang AS-China. Pemerintah klaim rutin lakukan pengawasan.