Hingga Napas Terakhir: Perjuangan Pika Tuntut Legalisasi Ganja Medis Untuk Pengobatan
Home > Detail

Hingga Napas Terakhir: Perjuangan Pika Tuntut Legalisasi Ganja Medis Untuk Pengobatan

Bimo Aria Fundrika | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Jum'at, 21 Maret 2025 | 12:17 WIB

Suara.com - Selasa, 18 Maret 2025 jadi hari yang berat bagi Santi Warastuti. Putrinya, Pika Sasi Kirana, berpulang. 

Pika adalah anak yang belasan tahun berjuang melawan cerebral palsy. Langkah Pika kini berhenti. Ia telah mengembuskan napas terakhir.

Kepergian Pika membuka kembali lembaran perjuangan ibunya. Santi tak hanya menjadi seorang ibu, tapi juga pejuang. Sejak 2020, ia berjuang demi satu hal: legalisasi ganja medis di Indonesia.

Pagi cerah, 26 Juni 2022. Santi melangkah menembus kerumunan di Bundaran HI, Jakarta. Pika duduk di stroller, lemah, tak berdaya.

Sang ayah mendorongnya perlahan. Santi berjalan di samping mereka, membawa spanduk bertuliskan: "Tolong, Anakku Butuh Ganja Medis."

Aksi itu bukan sekadar unjuk rasa biasa. Itu adalah seruan hati. Tuntutan seorang ibu kepada negara yang lamban.

Gugatan yang diajukannya sejak November 2020 tak kunjung disidangkan oleh Mahkamah Konstitusi. Ia muak menunggu. Turun ke jalan adalah pilihannya.

Gugatan itu sederhana. Santi bersama sejumlah orrganisasi masyarakat sipil meminta MK melakukan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Mereka tak meminta ganja dilegalkan secara bebas. Hanya untuk satu kepentingan, pengobatan.

Aksinya viral. Media sosial ramai membicarakan Santi dan Pika.

Media massa menyorot perjuangannya. Sehari setelah aksi, 27 Juni 2022, Suara.com menghubungi Santi lewat telepon.

Suaranya terdengar tegas, meski sesekali tersendat. Ia menceritakan awal mula mengenal manfaat ganja medis.

Semua berawal dari seorang mantan majikannya, warga Makedonia, tempatnya bekerja di Bali pada 2014. Dari pria itu, Santi mengetahui bahwa di beberapa negara, ganja digunakan untuk pasien cerebral palsy.

Bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk mengurangi kejang-kejang yang menyiksa.

Saat itu, Santi hanya menyimpan informasi tersebut. Belum ada keinginan untuk mencoba. Hingga pada 2015, ia dan keluarganya pindah ke Yogyakarta.

Pika tak menunjukkan perkembangan yang baik. Harapan semakin menipis.

Lalu, takdir mempertemukannya dengan seorang ibu. Anaknya mengidap cerebral palsy, sama seperti Pika. Bedanya, anak itu menjalani terapi ganja di Australia. Hasilnya membaik. Perlahan tapi pasti.

Hati Santi mencelos. Ia ingin mencoba, tapi kebibungungan. Membawa Pika berobat ke luar negeri bukan pilihan.

Dari segi biaya jelas tak mampu. Pika masih ditanggung BPJS, tapi itu pun terbatas.

Saat itulah tekadnya bulat. Jika ia tak bisa ke luar negeri, maka pengobatan itu harus bisa masuk ke Indonesia.

Bersama para ibu lainnya dan organisasi masyarakat sipil, ia menggugat. Ia tak hanya berjuang untuk Pika. Ia berjuang untuk semua anak yang bernasib sama.

"Harapan saya seperti ibu-ibu yang lain.Melihat anak-anaknya sehat. Melihatnya mereka bisa tersenyum. Dan kami memohon kepada MK memberikan perhatian yang lebih pada permohonan kami, yang maunya kami di legalkan ganja medis secepatnya," kata Santi saat itu kepada Suara.com.

Sebulan setelah aksinya, pada 21 Juli 2022, MK menolak gugatan mereka.

"Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan Pemohon V dan Pemohon VI tidak dapat diterima. Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Anwar Usman yang saat itu menjabat sebagai Ketua MK.

Jalan Terjal Legalisasi Ganja Medis

Tangkapan layar sidang MK permohonan uji materil UU No 35/2009 tentang Narkotika, perihal larangan penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan. (kontributor / uli febriarni)
Tangkapan layar sidang MK permohonan uji materil UU No 35/2009 tentang Narkotika, perihal larangan penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan. (kontributor / uli febriarni)

Upaya legalisasi ganja medis tak hanya diperjuangkan Santi dan rekan-rekannya. Pada 12 Februari 2024, gugatan serupa diajukan Pipit Sri Hartanti dan Supardji ke MK. Keduanya orang tua dengan anak pengidap cerebral palsy.

Sebulan berselang, 20 Maret 2024, MK kembali menolak. Harapan pupus.

Meninggalnya Pika, bagi peneliti ICJR Maidina Rahmawati, adalah pengingat betapa mendesaknya legalisasi ganja medis.

"Kami meminta negara melihat fakta ini. Banyak anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan opsi pengobatan ganja medis," katanya kepada Suara.com, Kamis (20/3/2025).

Menurutnya, penolakan negara mencerminkan kegagalan pemerintah dalam memenuhi hak kesehatan warganya.

Lebih ironis, hingga kini belum ada penelitian resmi dari pemerintah soal manfaat ganja medis.

Itulah yang menjadi dasar MK dalam menolak gugatan Santi, Pipit, dan Supardji.

Dalam putusannya, MK menyatakan belum bisa mengabulkan permohonan karena belum ada riset di Indonesia yang membuktikan manfaat ganja medis. Namun, MK juga memerintahkan pemerintah segera melakukan penelitian.

Janji penelitian sebenarnya sudah pernah disampaikan. Akhir Juni 2022, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan akan menerbitkan aturan soal penelitian ganja medis.

Sampai sekarang, tindak lanjutnya tak jelas.

Sikap pemerintah memang tak berubah. Jalan menuju legalisasi ganja medis masih terjal. Bahkan, pada Juni 2020, Indonesia menolak rekomendasi WHO soal pemanfaatan ganja untuk medis.

Dalam surat resminya, pemerintah, diwakili Kementerian Kesehatan, Polri, dan BNN, menyatakan tiga alasan utama penolakan.

Salah satunya, mereka mengklaim ganja yang tumbuh di Indonesia berbeda dengan di Eropa atau AS.

Kandungan THC di ganja Indonesia disebut tinggi (18 persen), sementara CBD-nya rendah (1 persen). THC dianggap berbahaya karena efek psikoaktifnya.

INFOGRAFIS: Mengenal Ganja Medis untuk Pengeboatan
INFOGRAFIS: Mengenal Ganja Medis untuk Pengeboatan

Ganja Indonesia disebut tidak layak untuk medis karena tumbuh alami tanpa rekayasa genetik. Kandungan THC tinggi, CBD rendah.

Pemerintah beralasan, ganja di Indonesia lebih banyak digunakan untuk rekreasi ketimbang pengobatan.

Namun, ICJR dan LBH Masyarakat meragukan klaim itu. Tak ada bukti ilmiah yang mendukung, apalagi regulasi yang memungkinkan penelitian ganja medis di Indonesia.

Dua lembaga ini bahkan mengajukan permohonan informasi ke Kementerian Kesehatan, Polri, dan BNN. Mereka meminta bukti ilmiah yang mendukung klaim pemerintah.

Hingga kini, tak ada jawaban.

Melihat dinamika ini, Maidina skeptis.

"Susah, karena enggak ada komitmen yang benar-benar dari pemerintah," tegasnya.

Ganja Medis Adalah Hak Warga

Dosen Hukum Tata Negara Adhyaksa Law School, Dio Ashar Wicaksana,  menilai pelarangan ganja medis bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28H. Pasal ini menjamin hak warga atas layanan kesehatan.

Tak hanya itu, larangan ini juga kontradiktif dengan Undang-Undang Narkotika. UU ini justru mengamanatkan ketersediaan narkotika untuk kepentingan medis dan riset.

Dalam artikelnya di The Conversation (Maret 2024), Dio memaparkan manfaat ganja medis.

Ia mengutip riset Institute of Medicine (1982). Studi ini menunjukkan bahwa ganja dan turunannya mampu mengurangi gangguan kesehatan.

Pada pasien glaukoma, mekanisme kerja ganja berbeda dari obat konvensional. Untuk asma, efektivitasnya setara dengan isoproterenol.

CBD dalam ganja juga bermanfaat bagi penderita epilepsi. Pada pasien sindrom Dravet, konsumsi CBD terbukti menurunkan frekuensi kejang.

Dio juga menyoroti sejarahnya di Indonesia.

"Di Aceh, antara 1764–1794, ganja lazim digunakan sebagai obat herbal. Namun, fakta ini jarang dibicarakan karena dianggap tabu," tulisnya di Suara.com (20/3/2025).

Regulasi Ganja Medis di Berbagai Negara

Beberapa negara telah melegalkan ganja medis. Di AS, California menerapkan Health and Safety Code (HSC) yang mengizinkan pasien dengan penyakit serius mengakses ganja medis dengan asesmen dokter.

Belanda sejak 2001 mendirikan Office for Medicinal Cannabis (OMC) di bawah Kementerian Kesehatan untuk menyediakan ganja medis dan mendukung penelitian ilmiah.

Saat ini, lebih dari 20 negara telah meregulasi ganja medis, sementara lainnya masih melakukan penelitian manfaatnya bagi kesehatan.

Distribusi ganja medis perlu pengawasan ketat. Thailand menjadi contoh regulasi yang kurang komprehensif, menciptakan celah hukum dalam produksi dan penjualan.

Sejak Juni 2022, tanpa batasan yang jelas, produk ganja dengan THC hingga 35% dijual bebas, jauh melebihi ambang batas legal.

Ganja terbukti memiliki manfaat medis dan tak seharusnya dilarang sepenuhnya. Langkah awal yang perlu dilakukan adalah riset mendalam terkait penggunaannya di Indonesia.


Terkait

Duka Mendalam: Pika, Anak Penderita Cerebral Palsy, Pemohon Uji Materi Ganja Medis Tutup Usia
Rabu, 19 Maret 2025 | 21:08 WIB

Duka Mendalam: Pika, Anak Penderita Cerebral Palsy, Pemohon Uji Materi Ganja Medis Tutup Usia

ICJR berduka atas meninggalnya Pika, pemohon uji materi UU Narkotika terkait ganja medis. ICJR sesalkan pemerintah belum riset ganja medis meski MK mendorong.

Fokus Konservasi Lokal, WGII: Tak Perlu Perluasan Kawasan Formal
Kamis, 05 Desember 2024 | 00:05 WIB

Fokus Konservasi Lokal, WGII: Tak Perlu Perluasan Kawasan Formal

"...Tapi ada praktik yang memang datang dari bawah, dari grassroot, dan itu dikasih aja pengakuannya."

Wujudkan Wasiat Mendiang Putrinya, Komeng Ubah Sudut Rumah untuk Tempat Terapi Anak Cerebral Palsy
Selasa, 20 Februari 2024 | 15:07 WIB

Wujudkan Wasiat Mendiang Putrinya, Komeng Ubah Sudut Rumah untuk Tempat Terapi Anak Cerebral Palsy

Komeng yang ternyata punya yayasan untuk anak-anak penderita Cerebral Palsy, masalah saraf yang menyebabkan gangguan motorik tubuh.

Terbaru
Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur
nonfiksi

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:00 WIB

Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan nonfiksi

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan

Jum'at, 24 Oktober 2025 | 13:06 WIB

Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu? nonfiksi

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 09:05 WIB

No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan nonfiksi

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan

Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:12 WIB

Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung nonfiksi

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 09:00 WIB

Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.

Review Tukar Takdir, Bukan Film yang Bikin Penonton Trauma Naik Pesawat! nonfiksi

Review Tukar Takdir, Bukan Film yang Bikin Penonton Trauma Naik Pesawat!

Sabtu, 04 Oktober 2025 | 12:33 WIB

Mouly Surya dan Marsha Timothy kembali menunjukkan kerja sama yang memukau di film Tukar Takdir.

Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan nonfiksi

Arsitektur Sunyi 'Kremlin', Ruang Siksa Rahasia Orba yang Sengaja Dilupakan

Selasa, 30 September 2025 | 19:26 WIB

Ada alamat di Jakarta yang tak tercatat di peta teror, namun denyutnya adalah neraka. Menelusuri 'Kremlin', ruang-ruang interogasi Orde Baru, dan persahabatan aneh di Cipinang

×
Zoomed