Suara.com - Kasus pembunuhan yang dilakukan anggota TNI terus berulang kali terjadi. Korbannya bukan hanya sipil. Di Kabupaten Way Kanan, Lampung, tiga anggota polisi tewas ditembak TNI. Mereka adalah Kapolsek Negara Batin Iptu Lusiyanto, Bripka Petrus Apriyanto dan Bripda M. Ghalib Surya Ganta.
IPTU Lusiyanto, Bripka Petrus dan Bripda Ghalib tewas ditembak saat menggerebek lokasi judi sabung ayam di Kampung Karang Manik, Kecamatan Negara Batin, Kabupaten Way Kanan, Lampung. Peristiwa itu terjadi pukul 16.50 WIB pada Senin, 17 Maret 2025.
Iptu Lusiyanto tewas mengenaskan dengan luka tembak di dada kanan. Bripka Petrus tewas dengan luka tembak pada bagian mata menebus ke tempurung kepala. Sedangkan Bripda Ghalib tewas dengan luka tembak yang menembus rongga mulut hingga tempurung kepala belakang.
Terduga pelaku Peltu Lubis dan Kopka Basarsyah yang ditengarai sebagai pemilik arena sabung ayam. Mereka melakukan penembakan dengan menggunakan tiga jenis senjata. Dugaan itu merujuk barang bukti 13 selongsong peluru berukuran 5,5 mm, 7,2 mm dan 9 mm yang ditemukan di lokasi kejadian.
Panglima Kodam II Sriwijaya Mayjen TNI Ujang Darwis masih menyelidiki jenis dan asal usul senjata yang digunakan Peltu Lubis dan Kopka Basarsyah. Penyelidikan dilakukan bersama Polri.
"Pengakuan oknum itu, senjata yang digunakan adalah rakitan. Tapi kami cari dahulu, lalu disesuaikan dengan uji balistik,” kata Ujang dalam konferensi pers di Mapolda Lampung, Rabu (19/3/2025).
Di hari yang sama kasus pembunuhan oleh anggota TNI juga terjadi di Aceh. Korbannya seorang sales mobil bernama Hasfiani alias Imam (37). Jasad Imam yang tewas ditembak anggota TNI AL Kelasi Dua berinisial DI itu ditemukan dalam kondisi terbungkus karung di kawasan Gunung Salak, Kecamatan Nisam Antara, Kabupaten Aceh Utara.
Pada 2 Januari 2025 kasus serupa terjadi di Tangerang, Banten. Kepala Kelasi Bambang Apri Atmojo, Sertu Akbar Adli, dan Sertu Rafsin Hermawan menembak bos rental mobil Ilyas Abdurrahman (48) hingga tewas di rest area KM 44 Tol Tangerang-Merak.
Ketiga anggota TNI AL itu kini tengah menjalani persidangan di Pengadilan Militer. Kepala Kelasi Bambang dan Sertu Akbar dituntut penjara seumur hidup. Sedangkan Sertu Rafsin dituntut 4 tahun penjara.
Berdasar catatan Amnesty International Indonesia, sepanjang tahun 2025 terdapat sembilan kasus pembunuhan di luar hukum yang dilakukan TNI dan Polri. Total korban dari peristiwa itu mencapai 11 orang.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyebut data tersebut belum termasuk kasus-kasus pembunuhan di luar hukum yang terjadi di Papua. Di mana aparat keamanan maupun aktor non-negara kerap melakukan pembunuhan di luar hukum dengan impunitas.
Kasus-kasus pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat itu, kata Usman, terus terjadi karena adanya budaya impunitas di tubuh Polri maupun TNI.
“Pelaku harus diadili melalui peradilan umum bukan peradilan militer yang prosesnya cenderung tertutup dan tidak transparan” kata Usman kepada Suara.com, Kamis (20/3/2025).
Usman mendesak pemerintah dan DPR RI segera mereformasi sistem peradilan militer dengan merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Revisi penting dilakukan agar pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan personel militer dapat diproses melalui peradilan umum.
“Ini lebih penting ketimbang merevisi UU TNI saat ini yang akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan memperparah militerisasi ruang-ruang sipil maupun jabatan sipil di Indonesia,” ungkapnya.
Sementara anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP I Wayan Sudirta menilai kasus pembunuhan yang dilakukan dua anggota TNI terhadap tiga anggota polisi di Kabupaten Way Kanan bisa dibawa ke peradilan umum. Sebab peristiwa itu terjadi di luar tugas kemiliteran.
“Jika memang itu bukan dalam melaksanakan tugas, dia bisa diadili di pengadilan umum," kata Wayan.
Pendapat serupa juga disampaikan pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar. Menurutnya pembunuhan yang dilakukan anggota TNI terhadap warga sipil memang sepatutnya diadili di peradilan umum.
“Pembunuhan orang sipil bukan dalam konteks perang. Jadi harus diadili di pengadilan sipil,” jelas Fickar kepada Suara.com.
Suara.com telah berupaya menghubungi Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Hariyanto terkait tuntutan agar pelaku diproses di peradilan umum. Namun hingga kekinian yang bersangkutan belum memberikan jawaban.
Ancaman Setelah RUU TNI Disahkan
Pemerintah dan DPR RI resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang. Keputusan itu disampaikan dalam Rapat Paripurna yang digelar di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada Kamis, 20 Maret 2025.
Dalam RUU TNI yang telah disahkan menjadi undang-undang itu, pemerintah dan DPR RI sepakat menambah lima pos kementerian dan lembaga yang dapat diisi prajurit aktif. Kelima kementerian dan lembaga tersebut, yakni; Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kejaksaan Agung RI.
Wakil Direktur Imparsial Husein Ahmad menilai perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif TNI berpotensi semakin meningkatkan kekerasan militer terhadap masyarakat sipil.
“Persinggungan antara sipil dan militer itu menjadi lebih sering. Konsekuensi logisnya pasti akan lebih menambah potensi kekerasan terhadap sipil itu terjadi,” tutur Husein kepada Suara.com.
Imparsial yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan sejak awal mendorong pemerintah dan DPR RI untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Bukan justru merevisi Undang-Undang TNI. Apalagi revisi tersebut semakin mengembalikan dwifungsi TNI.
Revisi Undang-Undang Peradilan Militer, kata Husein, sudah semestinya dilakukan. Sebab ‘peradilan keluarga’ itu kerap menjadi sarana impunitas bagi anggota TNI yang terlibat dalam kejahatan.
“Kami katakan ini adalah peradilan keluarga, kenapa? Karena baik terdakwanya, pengacaranya, jaksanya, dan hakimnya itu semuanya adalah anggota militer,” ungkapnya.
Dalam banyak perkara, peradilan militer cenderung memberikan hukuman ringan terhadap anggota TNI. Contohnya dalam perkara pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani (68) di Papua. Tiga anggota TNI AD yang menyiksa dan membunuh secara tragis hanya dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.
“Artinya apa? Ada yang salah dalam sistem peradilan militer kita. Itu sebetulnya yang menyebabkan seorang panjurit TNI tidak takut melakukan perbuatan seperti itu. Karena tidak ada efek jeranya,” pungkas Husein.
Pemerintah dan DPR baru saja mengesahkan RUU TNI menjadi UU TNI. Pengesahan regulasi baru ini memicu masuknya militer ke ranah sipil, termasuk ruang siber atau digital.
Gibran Rakabuming mengunggah video AI wajah dirinya yang digabungkan dengan video kakak Fuji, Fadly Faisal.
Terpantau beberapa orang menembak petasan ke arah aparat yang berjaga di halaman depan gedung DPR.
Sekiranya demokrasi hanya dimaknai sebagai prosedur formal tanpa benar-benar mendengar aspirasi publik, maka keberadaan lembaga legislatif ini patut dipertanyakan.
Dari 293 anggota yang hadir, termasuk Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir, tak ada yang menolak.
Potensi kebutuhan tambahan anggaran untuk perpanjangan usia pensiun tahun 2025 dari 6.679 personel tamtama hingga perwira tinggi mencapai Rp412 miliar.
"Investor memandang keterlibatan militer aktif akan mendistorsi orang terbaik di birokrasi untuk menduduki posisi puncak. Ini fatal secara ekonomi," ujar Bhima.
Mereka melabeli aksi itu dengan kata-kata seperti "ilegal," "anarkis," dan "antek asing."
Polisi tidak bisa sewenang-wenang menyita harta milik orang lain, karena itu (menunggak pajak kendaraan) bukan kejahatan, itu soal administrasi saja, kata Fickar.
TNI dididik menjadi prajurit pertahanan negara. Sehingga mereka tidak memiliki kompetensi untuk menjadi jaksa.
Mereka dilaporkan ke Polda dan mengalami teror. Lantas, mengapa pemerintah dan DPR justru terkesan seolah anti pada transparansi?