Kebut Revisi UU TNI di DPR: Minim Partisipasi Publik, Anggota Dewan Cuma Jadi Tukang Stempel?
Home > Detail

Kebut Revisi UU TNI di DPR: Minim Partisipasi Publik, Anggota Dewan Cuma Jadi Tukang Stempel?

Bimo Aria Fundrika | Yaumal Asri Adi Hutasuhut

Kamis, 20 Maret 2025 | 15:05 WIB

Suara.com - Rapat Paripurna DPR akhirnya mengesahkan revisi Undang-Undang TNI pada Kamis (20/3) siang.

Pengesahan ini terjadi setelah pembahasan di tingkat I antara Komisi I DPR dan pemerintah pada Selasa (18/3). Meski disetujui semua fraksi, RUU TNI menuai kritik tajam.

Masyarakat sipil, akademisi, dan mahasiswa menolak. Tagar #TolakRUUTNI bahkan sempat trending dengan lebih dari 300 ribu twit.

Ketua DPR Puan Maharani memimpin sidang. Ia meminta persetujuan dari seluruh fraksi.

“Apakah Rancangan Undang-Undang TNI dapat disetujui menjadi undang-undang?” tanyanya.

Serempak, para anggota dewan menjawab, “Setuju!”

Ketua Komisi I DPR Utut Adianto (kiri) menyerahkan laporan kepada Ketua DPR Puan Maharani pada Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Ketua Komisi I DPR Utut Adianto (kiri) menyerahkan laporan kepada Ketua DPR Puan Maharani pada Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Dari 293 anggota yang hadir, termasuk Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir, tak ada yang menolak.

Sejak awal, revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menuai banyak sorotan. DPR dinilai abai terhadap prinsip demokrasi dan partisipasi publik.

Pembahasan dilakukan secara tertutup, terburu-buru, dan minim transparansi. Salah satu contohnya, rapat Komisi I DPR dan Kementerian Pertahanan di Hotel Fairmont Jakarta pada 14-16 Maret 2025.

Rapat eksklusif ini memperkuat kekhawatiran publik: revisi UU TNI bisa membuka jalan bagi kembalinya Dwi Fungsi TNI.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menegaskan kritiknya. Menurutnya, DPR gagal menjalankan fungsi kontrol.

Ia tidak melihat ada dinamika diskusi. Tidak ada perdebatan pro dan kontra yang seharusnya terjadi.

"Sidang-sidang ini hanya mengarahkan fraksi DPR untuk menyepakati keputusan yang sudah disiapkan sebelumnya," kata peneliti Formappi, Lucius Karus, kepada Suara.com, Kamis (20/3/2025).

Tiga Masalah Proses Pembentukan RUU TNI

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengkritik penetapan RUU Revisi UU TNI sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Setidaknya ada tiga masalah utama dalam prosesnya.

Pertama, menurut PSHK RUU ini disahkan dalam Rapat Paripurna 18 Februari 2025 tanpa mengikuti prosedur perubahan agenda sesuai Pasal 290 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020. Seharusnya, perubahan agenda diajukan secara tertulis minimal dua hari sebelumnya.

Kedua, masuknya RUU ini ke Prolegnas tidak melalui pertimbangan Badan Legislasi DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 66 huruf f Tata Tertib DPR. Hal ini menyalahi prinsip akuntabilitas karena urgensi RUU ini belum dibandingkan dengan prioritas lain seperti RUU Perampasan Aset atau RUU Masyarakat Hukum Adat.

Suasana jalannya Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Suasana jalannya Rapat Paripurna ke-15 DPR Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (20/3/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]

Badan Legislasi DPR juga tidak mensosialisasikan perubahan ini kepada publik sesuai tugasnya dalam Pasal 66 huruf l Tatib DPR.

Ketiga, proses penyusunannya cacat prosedur. Surat Presiden yang menunjuk perwakilan pemerintah sudah terbit pada 13 Februari 2025, sebelum RUU ini masuk Prolegnas pada 18 Februari 2025. Seharusnya, tahapan perencanaan mendahului penyusunan.

RUU ini juga bukan bagian dari carry over DPR periode sebelumnya, sebagaimana ditegaskan dalam Keputusan DPR Nomor 64/DPR RI/I/2024-2025.

Pasal 71A UU 15/2019 menyatakan bahwa carry over hanya berlaku jika RUU telah memasuki tahap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), yang tidak terjadi pada periode sebelumnya. Dengan demikian, seharusnya RUU ini harus dibahas dari nol.

Tak hanya itu, draf RUU ini tidak pernah dipublikasikan secara resmi oleh DPR, sehingga publik kehilangan kesempatan untuk berpartisipasi. Kritik masyarakat bahkan disalahkan dengan klaim bahwa draf yang beredar berbeda dari yang dibahas.

Pembahasan RUU ini pun dilakukan di hotel dengan pengamanan ketat, semakin membatasi akses publik. Meski menuai banyak kritik dan cacat prosedur, Komisi I DPR tetap bersikeras melanjutkan pembahasan, padahal masa pembahasan maksimal hanya tiga kali masa sidang.

DPR Hanya Tukang Stempel

Lucius Karus juga menegaskan bahwa  rapat dari Januari hingga Maret hanyalah formalitas.

"DPR sekadar tukang stempel. Itu istilah kasarnya. Rapat-rapat legislasi hanya formalitas belaka," tegasnya.

Sejak awal, kekhawatiran bahwa DPR 2024-2029 hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah sudah muncul. Komposisi DPR yang didominasi Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi salah satu penyebabnya. Hampir semua fraksi mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.

Bahkan PDIP, yang bukan bagian dari KIM, tak menunjukkan sikap oposisi yang tegas. "Fraksi-fraksi DPR ada dalam cengkeraman kepentingan kekuasaan. Mereka tak berdaya untuk menolak," lanjut Karus.

Proses revisi UU TNI yang penuh kejanggalan memunculkan pertanyaan: siapa yang sebenarnya diwakili oleh anggota dewan?

"Kalau rakyat menolak revisi ini, lalu siapa yang mereka wakili?" kata Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro.

Menurutnya, suara masyarakat sipil dianggap angin lalu oleh para legislator.

Agung juga memperingatkan bahwa undang-undang yang dibahas secara problematik hanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

"Aturan seperti ini rentan digugat. Bisa judicial review ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi," ujarnya.

Ia mencontohkan UU Cipta Kerja yang dibuat secara kilat dan minim partisipasi publik. Akibatnya, aturan ini berkali-kali digugat ke MK dan memicu gejolak sosial.

"Berkaca dari itu, seharusnya potensi masalah bisa dicegah sejak awal. DPR sebaiknya mengkaji ulang revisi UU TNI sebelum disahkan," tambahnya.

Agung berharap ke depan proses legislasi lebih terbuka.

"Jangan ulangi kesalahan yang sama. Pembahasan undang-undang harus lebih transparan, demokratis, dan berkualitas," pungkasnya.


Terkait

KPK Ungkap Alasan Jaksa Munculkan Rekaman Mantan Terpidana di Sidang Hasto
Jum'at, 25 April 2025 | 22:34 WIB

KPK Ungkap Alasan Jaksa Munculkan Rekaman Mantan Terpidana di Sidang Hasto

KPK ungkap alasan tunjukkan rekaman suara terpidana suap PAW Harun Masiku di sidang Hasto. Bukti diperlukan untuk pembuktian perkara, meski tak dihadirkan di sidang lalu.

Soal Gugatan 'DPR Rapat di Hotel', Pimpinan Baleg: Kalau Tempat Rapat Digugat, Kasihan Hakim MK
Jum'at, 25 April 2025 | 20:35 WIB

Soal Gugatan 'DPR Rapat di Hotel', Pimpinan Baleg: Kalau Tempat Rapat Digugat, Kasihan Hakim MK

Gugatan UU MD3 ke MK soal larangan rapat DPR di luar Kompleks Parlemen dinilai Baleg DPR terlalu teknis. Rapat di hotel dianggap perlu dalam kondisi tertentu, bukan pemborosan.

Solo Jadi Daerah Istimewa? DPR: Hati-Hati! Bisa Picu Daerah Lain Minta Hal Serupa
Jum'at, 25 April 2025 | 20:11 WIB

Solo Jadi Daerah Istimewa? DPR: Hati-Hati! Bisa Picu Daerah Lain Minta Hal Serupa

Politisi Partai Golkar Ahmad Doli skeptis dengan usulan Solo jadi daerah istimewa, perlu kajian mendalam.

Pertanyakan Alasan Solo Diusul jadi Daerah Istimewa, Legislator Golkar Khawatirkan Ini
Jum'at, 25 April 2025 | 15:20 WIB

Pertanyakan Alasan Solo Diusul jadi Daerah Istimewa, Legislator Golkar Khawatirkan Ini

Menurutnya, diperlukan kajian mendalam, apa yang menjadi alasan mendasar untuk menjadikan Solo sebagai daerah istimewa.

Terbaru
Jajanan Anak Mengandung Babi Punya Label Halal: Negara Gagal Lindungi Konsumen
polemik

Jajanan Anak Mengandung Babi Punya Label Halal: Negara Gagal Lindungi Konsumen

Jum'at, 25 April 2025 | 16:14 WIB

KPAI mendesak agar temuan tersebut tidak hanya berhenti pada sanksi berupa penarikan produk dari pasar, tapi diproses secara hukum.

Maksud Prabowo 'Rapatkan Barisan' di Tengah Isu Matahari Kembar? polemik

Maksud Prabowo 'Rapatkan Barisan' di Tengah Isu Matahari Kembar?

Kamis, 24 April 2025 | 19:01 WIB

"Justru perintah ini sebagai arahan agar para menteri atau pejabat itu tidak dimasuki isu-isu yang ada di luar pemerintahan," ujar Asrinaldi.

Monolog Gibran Soal Bonus Demografi 'Menohok' Dirinya Sendiri polemik

Monolog Gibran Soal Bonus Demografi 'Menohok' Dirinya Sendiri

Kamis, 24 April 2025 | 09:29 WIB

"Jadi apa yang dinyatakan itu bertolak belakang dengan apa yang terjadi atas pemilihan dia (Gibran) sebagai wakil presiden," kata Widyanto.

'Luka Lama' Warga Ngaran II Borobudur di Balik Penolakan Kremasi Taipan Murdaya Poo polemik

'Luka Lama' Warga Ngaran II Borobudur di Balik Penolakan Kremasi Taipan Murdaya Poo

Rabu, 23 April 2025 | 17:16 WIB

Ada 'luka lama' di balik penolakan warga terkait rencana kremasi Murdaya Poo di kawasan Borobudur.

Mengapa Narasi Kejaksaan Agung Tersangkakan Direktur Pemberitaan Jak TV Bahaya bagi Kebebasan Pers? polemik

Mengapa Narasi Kejaksaan Agung Tersangkakan Direktur Pemberitaan Jak TV Bahaya bagi Kebebasan Pers?

Rabu, 23 April 2025 | 08:12 WIB

Narasi Kejaksaan Agung inipun dianggap berbahaya bagi kebebasan pers. Mengapa demikian?

Di Balik Sorotan AS Terhadap Barang Bajakan Pasar Mangga Dua polemik

Di Balik Sorotan AS Terhadap Barang Bajakan Pasar Mangga Dua

Selasa, 22 April 2025 | 15:03 WIB

AS soroti Pasar Mangga Dua sbg sarang barang bajakan dan tekan Indonesia perkuat HaKI di tengah perang dagang AS-China. Pemerintah klaim rutin lakukan pengawasan.

Perusahaan Tahan Ijazah Karyawan: Modus Baru Perbudakan Modern? polemik

Perusahaan Tahan Ijazah Karyawan: Modus Baru Perbudakan Modern?

Selasa, 22 April 2025 | 10:26 WIB

Sejumlah daerah memiliki peraturan daerah yang melarang perusahaan menahan ijazah pekerja.