Suara.com - Perpanjangan masa usia pensiun prajurit TNI menuai kritik keras dari kalangan masyarakat sipil. Aturan itu tertuang di Pasal 53 dalam draf Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia yang telah disepakati DPR RI dan pemerintah. Jumlah perwira tinggi non job atau tanpa jabatan diprediksi akan semakin bertambah dan dikhawatirkan dimobilisasi ke jabatan-jabatan sipil yang semakin diperluas.
PASAL 53 RUU TNI mengatur masa usia pensiun prajurit kini mengacu pada jenjang kepangkatan. Bagi bintara dan tamtama 55 tahun; perwira sampai dengan pangkat kolonel 58 tahun; perwira tinggi bintang satu 60 tahun; perwira tinggi bintang dua 61 tahun; dan perwira tinggi bintang tiga 62 tahun.
Sedangkan perwira tinggi bintang empat atau jenderal, usia pensiun maksimal 63 tahun. Namun khusus jenderal masa usia pensiun mereka dapat diperpanjang dua kali, masing-masing selama satu tahun sesuai kebutuhan dan keinginan presiden.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai penambahan masa usia pensiun prajurit tidak hanya semakin menambah persoalan penumpukan perwira non-job. Tapi dalam praktiknya juga berpotensi dimobilisasi ke kementerian dan lembaga serta perusahaan-perusahaan milik negara atau BUMN.
Apalagi dalam RUU TNI jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif semakin diperluas. Di Pasal 47 dalam draf RUU TNI, DPR RI dan pemerintah sepakat menambah lima pos kementerian dan lembaga yang dapat diisi prajurit aktif. Kelima kementerian dan lembaga tersebut, yakni; Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Kejaksaan Agung RI.
“Masyarakat sipil telah banyak melihat praktik tersebut yang ini justru akan menggerus profesionalitas dan kualitas kinerja lembaga negara maupun BUMN,” kata Isnur dalam keterangannya kepada Suara.com, Rabu (19/3/2025).
Di sisi lain perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki prajurit aktif TNI dianggap bukan solusi mengatasi persoalan penumpukan perwira non-job. Sebab akar daripada persoalan itu adalah tata kelola sumber daya manusia atau SDM yang buruk.
Berdasar data Rapat Pimpinan TNI tahun 2024, jumlah perwira tinggi TNI dari bintang satu hingga empat mencapai 1.293. Terdapat kelebihan 179 personel perwira tinggi dari jumlah 1.114 yang dibutuhkan sesuai daftar susunan personel (DSP).
Kelebihan personel juga terjadi pada tingkat perwira menengah kolonel. Di mana jumlah personel berpangkat kolonel mencapai 5.661 dari 5.423 yang dibutuhkan sesuai DSP.
Chandra Ariyadi Prakosa, Mhd. Halkis & Tarsisius Susilo dalam Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS) bertajuk: Kompetensi Digital dan Manajemen SDM TNI pada Era Revolusi Industri 4.0 mengatakan, pertumbuhan perwira TNI yang tidak terkendali ini sangat berisiko jika tidak dikelola dengan baik. Mereka juga menekankan kalau persoalan ini bukan akibat dari dihapuskannya dwifungsi ABRI. Sehingga perluasan jabatan sipil yang dapat dijabat prajurit aktif lewat RUU TNI selayaknya mengembalikan dwifungsi ABRI bukan jawaban atas persoalan tersebut.
“Solusi utama untuk mengatasi tantangan tersebut adalah melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan SDM,” tulisnya.
Salah satu permasalahan utama dalam pengelolaan SDM di lingkungan TNI menurut Chandra dkk. adalah kesenjangan keterampilan. Di mana banyak personel TNI yang belum sepenuhnya siap menghadapi tuntutan atau tantangan baru di era teknologi digital. Padahal TNI sebagai organisasi militer saat ini membutuhkan personel yang tidak hanya mahir dalam kemampuan fisik dan taktis, tapi juga keterampilan teknologi yang mendukung operasi modern.
Menambah Beban Biaya Belanja Pegawai dan Barang
Co-founder Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) Dwi Sasongko mengungkap dampak lain di balik perpanjangan masa usia pensiun. Bukan hanya memperparah bottle neck atau stagnasi karir perwira, kebijakan tersebut menurutnya juga berpotensi menambah beban anggaran belanja pegawai dan barang.
Berdasarkan data yang dimiliki ISDS, potensi kebutuhan tambahan anggaran untuk perpanjangan usia pensiun tahun 2025 dari 6.679 personel tamtama hingga perwira tinggi mencapai Rp412 miliar. Tergerusnya anggaran TNI untuk belanja rutin tersebut pada akhirnya akan berdampak terhadap pengurangan anggaran pembangunan kekuatan militer.
“Angka ini akan bertambah setiap tahun seiring dengan pertambahan jumlah anggota TNI yang diperpanjang usia pensiunnya,” jelas Dwi kepada Suara.com.
Perpanjangan masa pensiun yang memicu stagnasi karir perwira, kata Dwi, juga akan membuat TNI menjadi organisasi yang kurang adaptif terhadap perkembangan global dan teknologi terbaru. Sekalipun selama ini TNI membuat beberapa solusi untuk menyalurkan stagnasi tersebut, seperti menambah Kogabwilhan, Kodam, dan berbagai satuan lain.
Namun penambahan satuan itu, lanjut Dwi, terkesan hanya bertujuan untuk menampung perwira non-job bukan untuk fungsi pertahanan. Sebab terdapat kekurangan personel di tingkat prajurit.
“Akibatnya, berbagai organisasi tidak diisi utuh seperti satuan-satuan teritorial di perbatasan pun baik darat, laut, udara hanya terpenuhi antara 50-70 persen, sehingga menurunkan kinerja,” ungkapnya.
Dwi menilai secara umum RUU TNI memang terkesan hanya ingin mewadahi perwira tinggi untuk mendapatkan posisi empuk dan masa pengabdian lebih lama. Bukan justru menjawab persoalan atas beragam tantangan perang di era modern.
“Perubahan paling krusial dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 ini adalah Pasal 53 yang memperpanjang usia pensiun,” pungkasnya.
"Kita harus taat azas. Saya mohon kepada Panglima TNI agar segera mengeluarkan surat perintah,"
Istilah "27 club" ikut jadi perbincangan seiring pengesahan RUU TNI jadi UU pada Kamis (20/3/2025) kemarin.
"Kita harus taat azas..."
Keputusan DPR menggelar rapat tertutup di hotel mewah untuk membahas RUU TNI menuai kritik tajam karena dianggap mengabaikan prinsip transparansi dan partisipasi publik.
Dua anggota TNI yang membunuh tiga polisi di Kabupaten Way Kanan seharusnya dibawa ke peradilan umum, bukan peradilan militer.
Dari 293 anggota yang hadir, termasuk Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir, tak ada yang menolak.
"Investor memandang keterlibatan militer aktif akan mendistorsi orang terbaik di birokrasi untuk menduduki posisi puncak. Ini fatal secara ekonomi," ujar Bhima.
Mereka melabeli aksi itu dengan kata-kata seperti "ilegal," "anarkis," dan "antek asing."
Polisi tidak bisa sewenang-wenang menyita harta milik orang lain, karena itu (menunggak pajak kendaraan) bukan kejahatan, itu soal administrasi saja, kata Fickar.
TNI dididik menjadi prajurit pertahanan negara. Sehingga mereka tidak memiliki kompetensi untuk menjadi jaksa.
Mereka dilaporkan ke Polda dan mengalami teror. Lantas, mengapa pemerintah dan DPR justru terkesan seolah anti pada transparansi?