Mengapa Revisi UU TNI Memperburuk Ekonomi Indonesia dan Bikin Investor Kabur?
Home > Detail

Mengapa Revisi UU TNI Memperburuk Ekonomi Indonesia dan Bikin Investor Kabur?

Erick Tanjung

Kamis, 20 Maret 2025 | 08:55 WIB

Suara.com - Indeks Harga Saham Gabungan Indonesia turun mencapai ambang batas pembekuan perdagangan. Benarkah investor was-was di tengah proses revisi UU TNI?

BURSA Efek Indonesia (BEI) mengumumkan pembekuan sementara perdagangan atau trading halt pukul 11.19 WIB, Selasa (18/3/2025). Pemicunya adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun mencapai ambang batas penghentian otomatis yang ditetapkan: 5 persen dalam satu sesi perdagangan. Kala itu IHSG anjlok 5,02 persen ke level 6.146,91.

Penghentian sementara itu berlangsung 30 menit. Perdagangan dilanjutkan kembali pukul 11.49 WIB.

Direktur Utama BEI, Iman Rachman, menduga salah satu penyebab IHSG anjlok adalah kebijakan ekonomi dan perang tarif oleh Presiden AS Donald Trump. Hal ini membuat investor hati-hati dalam mengambil langkah.

"Beberapa isu global memang terjadi jadi mereka (investor) wait and see," ujar Iman, Selasa (18/3).

“Kalau lihat penurunannya hari ini sebagian besar asing melihat update oleh Donald Trump, itu menjadi salah satu dampak penurunan Indeks kita hari ini," imbuhnya.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan sangat kecil dampak kebijakan Donald Trump terhadap perubahan IHSG. Sebab, berdasarkan data hanya Indonesia yang ‘merah’ di Asia, meski Vietnam agak menurun sedikit saat penutupan.

“Indonesia sampai trading halt, dibekukan sementara karena ada penurunan yang tajam,” katanya dalam diskusi virtual Tentara Polisi Menguat, Rupiah Bursa Ekonomi Melemah, Selasa (18/3) malam.

Menurut Bhima, yang terjadi adalah sektor riil di Indonesia sedang sakit, tapi pasar terlambat mengidentifikasinya. Misalnya, impor barang konsumsi anjlok 21 persen. Seharusnya sebulan menjelang Ramadan dan Lebaran, masyarakat biasa akan belanja barang impor.

“Ini menunjukkan ada yang salah dari konsumsi rumah tangga,” katanya.

Ekonom Indef (Institute for Development of Economics and Finance), Bhima Yudhistira. [Suara.com / Adhitya Himawan]
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira. [Suara.com]

Gejala-gejala bahwa ekonomi melemah, kata Bhima, dapat dilihat dari jumlah simpanan individu turun hingga angka pinjaman yang hampir akan diberikan ke debitur tapi batal yang meningkat secara konsisten.

“Sektor riil sedang dalam situasi yang sakit, tapi obatnya apa, dengan revisi UU TNI. Negara lain sibuk dengan dampak eksternal, seperti Trump misalnya. Indonesia kok sibuk dengan revisi UU TNI. Apa yang dilihat oleh market, investor?” kata Bhima.

Menurut Andhyta Firselly Utami, pendiri Think Policy Indonesia, negara-negara yang memiliki blessing with resources dengan sumber daya alam memang biasanya datang dengan kutukannya sendiri, kadang disebut dengan resource curse atau dutch disease.

“Karena kita terbiasa bergantung pada pemasukan dari ekspor komoditas, kita gagal memprioritaskan reformasi struktural secara ekonomi yang tepat, serta membangun ekonomi yang terdiversifikasi dan resilien sehingga mampu bertahan terhadap berbagai bentuk shock,” kata Andhyta.

Menurutnya, Indonesia perlu bertransformasi dari ekonomi yang bergantung pada sektor primer dan sumber daya alam menuju sektor sekunder dan ekonomi yang lebih kompleks dengan nilai tambah.

Ia menilai, reformasi pertama sudah dilakukan di era Jokowi, yang berfokus pada pembangunan infrastruktur. Seharusnya tahap kedua berfokus pada pengembangan sumber daya manusia.

Namun, Jokowi periode pertama dan kedua masih berfokus pembangunan infrastruktur. Seharusnya, pada periode kedua, prioritasnya sudah bergeser ke peningkatan kualitas SDM.

Menurut Andhyta, jika pemerintah saat ini memahami akar permasalahan, seharusnya mereka melanjutkan tahapan itu. Berupa pembangunan infrastruktur yang sesuai dengan prinsip ketahanan iklim, kemudian fokus pada pengembangan sumber daya manusia, dan membuat ekonomi kompetitif tidak bergantung di sektor ekstraktif sumber daya alam.

“Eh, solusinya malah TNI,” kata Andhyta.

Komisi I DPR dan pemerintah sebelumnya telah bersepakat revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI akan dibawa ke rapat paripurna terdekat dan disahkan menjadi Undang-Undang (UU). Rencana, rapat paripurna tersebut akan digelar pada Kamis, 20 Maret 2025.

Apa Kaitan Revisi UU TNI dan Ekonomi?

Menurut Bhima, dua hal tersebut sangat berkaitan. Sebab, revisi akan menambah masa pensiun anggota TNI. Di sisi lain, dalam 10 tahun terakhir beban belanja pegawai pemerintah meningkat 85 persen.

“Situasi sekarang ketika ada penerimaan negara yang anjlok dan beban yang meningkat, ditambah dengan wacana penambahan usia pensiun TNI,” ujarnya.

DPR-Pemerintah Sepakat Bawa RUU TNI ke Paripurna untuk Disahkan Jadi Undang-undang
DPR-Pemerintah Sepakat Bawa RUU TNI ke Paripurna untuk Disahkan Jadi Undang-undang. (Ist)

Kemudian, revisi regulasi itu akan menambah kewenangan TNI mengisi jabatan-jabatan sipil. Bhima menilai, investor memandang keterlibatan militer aktif akan mendistorsi orang terbaik di birokrasi untuk menduduki posisi puncak. Yang lantas diisi political appointee atau orang yang ditunjuk hanya karena militer dan boleh masuk jabatan sipil.

“Itu fatal secara ekonomi, dari sisi daya saing, efisiensi sumber daya, dan celah korupsi,” ucapnya.

Bhima menyebut pada sektor riil saat ini kepercayaan terhadap pemerintah dan kebijakan publik sedang minus. Namun, pemerintah justru menjawab persoalan itu dengan penguatan TNI di pos sipil.

“Apa yang dilihat ketika situasi ekonomi memburuk tapi justru perhatian ada pada sektor pertahanan dan keamanan? Ini tidak matching (cocok),” tuturnya.

Menurut Farid Gaban, jurnalis senior anggota tim Ekspedisi Indonesia Baru, ekonomi pada masa Orde Baru yang sering diklaim baik itu ditopang oleh militerisme.

Ia menilai model ekonomi semacam itu justru meniadakan atau mengurangi ruang bagi keberagaman pemikiran, inovasi, dan partisipasi publik. Sebab, militer identik dengan bedil, komando, dan seragam.

“Kelemahan Orde Baru terbesar menurut saya justru di situ, partisipasi dan inovasi publik itu rendah. Itu yang bikin ekonomi kita dalam jangka panjang menjadi rapuh. Ketika tersentral kita makin rapuh,” kata Farid.

Revisi UU TNI Mengkhawatirkan Buruh

Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia, Sri Rahmawati mengatakan kondisi buruh saat ini sedang terpuruk, terutama karena ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin tinggi. Ia menilai Undang-Undang Cipta Kerja semakin memperburuk keadaan karena menciptakan ketidakpastian status kerja.

“Banyak pengusaha menggunakan buruh dengan harian lepas, borongan waktu, kontrak kerja yang sangat pendek," ujar Sri.

Perusahaan sering berdalih orderan sedikit dan persaingan global untuk menekan posisi buruh. Dalam industri garmen, misalnya, buruh terpaksa menerima kontrak kerja sangat pendek dengan upah yang kadang di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) karena takut kehilangan pekerjaan.

Di tengah kondisi yang rentan itu, buruh melihat revisi UU TNI akan menjadi alat untuk membungkam suara buruh yang ingin memperjuangkan haknya.

"Kami melihat revisi UU TNI ini sangat mengkhawatirkan bagi kami. Sebelum UU ini direvisi saja, kami sebagai buruh itu dihadap-hadapkan dengan aparat polisi, preman setempat yang dibayar pengusaha. Apalagi dengan adanya revisi UU TNI, itu sangat mengkhawatirkan bagi kami yang bersuara itu dibungkam,” kata Sri.

“Marsinah jadi sejarah cukup tragis bagi buruh. Tidak menutup kemungkinan kejadian itu akan terjadi di masa-masa sekarang," lanjutnya.

Marsinah adalah aktivis buruh di Sidoarjo, Jawa Timur, yang dibunuh pada 1993 karena memperjuangkan hak buruh.

Menurut Sri Rahmawati, revisi UU TNI berpotensi digunakan untuk membungkam suara buruh dengan memberikan keleluasaan bagi pemerintah dan pengusaha untuk semakin menekan pekerja.

"Kita melihat mau mengkondisikan atau membungkam suara-suara kita, geraknya pemerintah itu leluasa untuk menguasai kita. Itu yang kami lihat dengan revisi UU TNI," katanya.

Dengan kondisi ekonomi saat ini, buruh sulit menabung karena upah yang sangat kecil. Untuk memenuhi kebutuhan hidup masih gali lubang tutup lubang.

“Kawan-kawan buruh hanya bisa menyambung hidup untuk bisa mempertahankan dirinya sehingga besok masih bisa bekerja,” tutur Sri.

Sementara Bhima menyebut pemerintah saat ini seolah-olah berhasil meyakinkan publik bahwa kondisi ekonomi berjalan baik. Namun, mereka lupa bahwa ada masalah-masalah struktural yang tetap terlihat oleh para investor.

“Orang yang memang membaca data dan grafik setiap hari tidak bisa dipengaruhi oleh buzzer dan statemen politik,” katanya.

__________________________________

Kontributor Aceh: Habil Razali


Terkait

Draf Final RUU TNI: Operasi Militer Lawan Gerakan Separatis Bersenjata Harus Lapor DPR
Rabu, 19 Maret 2025 | 15:10 WIB

Draf Final RUU TNI: Operasi Militer Lawan Gerakan Separatis Bersenjata Harus Lapor DPR

Dalam RUU ini pemerintah sendiri kalau mengatasi kasus tersebut harus meminta izin kepada DPR RI terlebih dahulu.

Kabar Grab Caplok GoTo Terus 'Digoreng' Asing
Rabu, 19 Maret 2025 | 12:08 WIB

Kabar Grab Caplok GoTo Terus 'Digoreng' Asing

PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) dengan tegas membantah rumor yang beredar mengenai rencana akuisisi oleh Grab Holdings Ltd.

Ekonom: Melorotnya IHSG Jadi Alarm Ekonomi Indonesia Lemah
Rabu, 19 Maret 2025 | 10:21 WIB

Ekonom: Melorotnya IHSG Jadi Alarm Ekonomi Indonesia Lemah

Ekonom dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan, kondisi pasar saham tersebut membuktikan lemahya struktur perekonomian Indonesia.

Mirip UU Ciptaker, Alissa Wahid Curiga RUU TNI Digeber Jelang Lebaran: Kalau Diam-diam, Itikad Apa?
Rabu, 19 Maret 2025 | 08:59 WIB

Mirip UU Ciptaker, Alissa Wahid Curiga RUU TNI Digeber Jelang Lebaran: Kalau Diam-diam, Itikad Apa?

"Sekarang kalau dilakukan diam-diam itu apa, dilakukan tanpa memberikan ruang kepada masyarakat sipil untuk ikut terlibat, itikadnya apa?..."

Terbaru
Narasi Deddy Corbuzier dan Stimatisasi Kritik: Cara Lama Bungkam Masyarakat Sipil
polemik

Narasi Deddy Corbuzier dan Stimatisasi Kritik: Cara Lama Bungkam Masyarakat Sipil

Rabu, 19 Maret 2025 | 11:52 WIB

Mereka melabeli aksi itu dengan kata-kata seperti "ilegal," "anarkis," dan "antek asing."

Negara 'Galak' ke Rakyat Kecil: Polisi Bisa Sita Kendaraan STNK Mati Tuai Kritik Pedas! polemik

Negara 'Galak' ke Rakyat Kecil: Polisi Bisa Sita Kendaraan STNK Mati Tuai Kritik Pedas!

Rabu, 19 Maret 2025 | 08:32 WIB

Polisi tidak bisa sewenang-wenang menyita harta milik orang lain, karena itu (menunggak pajak kendaraan) bukan kejahatan, itu soal administrasi saja, kata Fickar.

RUU TNI Izinkan Militer Jadi Jaksa Agung, Sejarah Kelam Terulang? polemik

RUU TNI Izinkan Militer Jadi Jaksa Agung, Sejarah Kelam Terulang?

Selasa, 18 Maret 2025 | 18:32 WIB

TNI dididik menjadi prajurit pertahanan negara. Sehingga mereka tidak memiliki kompetensi untuk menjadi jaksa.

Pembungkaman di Balik Protes Rapat Tertutup RUU TNI: Mengapa Masyarakat Sipil Dikriminalisasi? polemik

Pembungkaman di Balik Protes Rapat Tertutup RUU TNI: Mengapa Masyarakat Sipil Dikriminalisasi?

Selasa, 18 Maret 2025 | 16:45 WIB

Mereka dilaporkan ke Polda dan mengalami teror. Lantas, mengapa pemerintah dan DPR justru terkesan seolah anti pada transparansi?

Program Student Loan: Solusi atau Komersialisasi Pendidikan? polemik

Program Student Loan: Solusi atau Komersialisasi Pendidikan?

Selasa, 18 Maret 2025 | 12:08 WIB

Student loan ini bukan solusi, tapi jebakan baru atau modus baru komersialisasi dan liberalisasi pendidikan, kata Ubaid.

Warisan Puing-Puing: Nasib PFN di Tangan Ifan Seventeen, Mampukah Bangkit? polemik

Warisan Puing-Puing: Nasib PFN di Tangan Ifan Seventeen, Mampukah Bangkit?

Selasa, 18 Maret 2025 | 08:06 WIB

"Ifan Seventeen punya beberapa kredit terlibat di beberapa film, tapi it's not enough (itu tidak cukup)," ujar Joko.

Gugatan di MK Gegerkan Wacana Redenominasi Rupiah: Bagaimana Dampaknya? polemik

Gugatan di MK Gegerkan Wacana Redenominasi Rupiah: Bagaimana Dampaknya?

Senin, 17 Maret 2025 | 12:44 WIB

Hanya indikator inflasi yang bisa dijadikan salah satu penguat. Tapi sebagian besar indikator tidak mengarah kesiapan untuk melakukan redenominasi secara makro, kata Eko.