Suara.com - Deddy Corbuzier dan sejumlah akun media sosial diduga tengah menggiring stigma terhadap aktivis yang membongkar rapat tertutup revisi UU TNI di DPR RI akhir pekan lalu.
Mereka melabeli aksi itu dengan kata-kata seperti "ilegal," "anarkis," dan "antek asing." Bukannya meredam keresahan, narasi ini justru menuai kecaman dan menegaskan kegagalan negara dalam merespons kritik publik. Lantas, narasi apa sebenarnya yang ingin diarahkan oleh Dedy Corbuzier?
Sabtu sore itu, di sebuah hotel bintang lima di Jakarta, suasana rapat tertutup Komisi I DPR RI dan Kementerian Pertahanan mendadak berubah. Dari balik pintu ruang pertemuan di Fairmont, langkah cepat terdengar.
Wakil Koordinator KontraS, Andrie Yunus, bersama dua rekannya dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, menerobos masuk.
"Selamat sore, Bapak Ibu," suara Andrie menggema.
"Kami dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menuntut agar pembahasan RUU TNI dihentikan. Ini tidak sesuai dengan proses legislatif! Ini dilakukan secara tertutup!"
Puluhan pasang mata terkejut. Beberapa anggota Komisi I tampak berbisik. Pejabat dari Kementerian Pertahanan menatap tajam.
Namun, sebelum Andrie bisa melanjutkan orasinya, beberapa petugas keamanan bergerak cepat. Dorongan keras menghantam tubuhnya. Ia terhuyung, lalu jatuh ke lantai.
Sejenak suasana hening. Tapi Andrie tak menyerah. Dari balik pintu yang kini dijaga ketat dua petugas, suaranya kembali terdengar.
"Rapat ini harus dihentikan! RUU TNI ini berbahaya! Ini mengembalikan Dwi Fungsi TNI seperti di era Orde Baru!"
Suasana semakin tegang. Di luar ruangan, rekan-rekan Andrie berusaha merekam kejadian itu. Sementara di dalam, narasi tentang demokrasi dan transparansi diuji.
Tak lama berselang, Deddy Corbuzier merespon. Laki-laki dengan nama lengkap Deodatus Andreas Deddy Cahyadi Sunjoyo belakangan ditunjuk sebagai Staf Khusus Menteri Pertahanan Bidang Komunikasi Sosial dan Publik.
Deddy, yang awal kariernya sebagai pesulap, menyebut aksi itu sebagai anarkis dan ilegal.
"Bagi kami, gangguan yang terjadi sudah mengarah pada tindak kekerasan anarkis. Ini bukan kritik atau masukan yang membangun, tapi tindakan ilegal dan melanggar hukum," ujar Deddy lewat akun Instagram dc.kemhan pada Minggu (17/3/2025).
Pernyataan itu tak berdiri sendiri. Beberapa hari kemudian, tiga akun Instagram yang diduga berafiliasi dengan TNI turut merespons.
@kodim_1623_karangasem, @kodam.ix.udayana, dan @babinkum.tni mengunggah video yang menuding para aktivis sebagai antek asing.
"Indonesia dalam bahaya. Antek asing bergerak. Mereka hidup dari uang asing. Mereka membela kepentingan asing. Mereka tak ingin TNI kuat. Tak ingin negara ini berdaulat. Mereka takut jika TNI dan rakyat bersatu," demikian narasi dalam video tersebut.
Video itu juga menepis anggapan bahwa RUU TNI bertujuan mengembalikan dwi fungsi ABRI ala Orde Baru. Sebaliknya, aksi para aktivis disebut sebagai framing yang jahat dan sesat.
"TNI hadir sebagai mekanisme sinergitas nasional. Demi kepentingan nasional, dengan tetap menjunjung demokrasi dan supremasi sipil. Tapi mereka hanya punya satu tujuan: melemahkan TNI agar kepentingan asing tetap berjalan di negeri ini," bunyi penggalan narasi dalam video itu.
Stigmatisasi Kritik: Pola Lama untuk Bungkam Masyarakat Sipil
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga, menilai narasi-narasi tersebut sebagai upaya untuk menstigma pergerakan masyarakat sipil. Pendekatan komunikasi seperti itu, menurutnya, tidak tepat untuk negara demokrasi.
"Labeling seperti itu lebih lazim di negara otoriter. Dalam negara demokrasi, hal semacam ini seharusnya tidak terjadi," kata Jamiluddin kepada Suara.com, Selasa (18/3/2024).
Ia melihat narasi tersebut mencerminkan pola pikir militeristik. Menganggap pihak yang berbeda pendapat sebagai musuh. Padahal, dalam negara demokrasi, setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat dan berekspresi.
Terlebih, kritik yang disampaikan menyangkut proses pembuatan undang-undang yang berdampak luas bagi masyarakat. Jamiluddin khawatir, labeling seperti ini bisa meluas dan menyasar siapa saja yang berani mengkritik kebijakan pemerintah.
"Orang-orang yang selalu memberi stigma negatif kepada masyarakat yang mengkritik, menurut saya, tidak layak hidup di negara demokrasi. Mereka lebih cocok tinggal di negara otoriter," tegasnya.
Wakil Direktur Imparsial, Hussein Ahmad—anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan—menyebut stigma yang disematkan kepada rekan-rekannya yang menggerebek rapat tersembunyi RUU TNI adalah pola lama yang kerap digunakan terhadap masyarakat sipil yang mengkritik kebijakan pemerintah dan DPR.
"Itu tuduhan-tuduhan basi. Polanya selalu sama. Kalau bukan PKI, ya, antek asing. Dari dulu begitu saja," kata Hussein kepada Suara.com.
Menurutnya, TNI yang berjiwa kesatria tidak akan melakukan hal semacam itu. Ia menilai akun-akun yang mengunggah video tersebut perlu diperiksa lebih lanjut.
Berdasarkan penelusuran Suara.com, salah satu akun, @kodam.ix.udayana, terverifikasi oleh Instagram dengan tanda centang biru. Akun ini memiliki 31,7 ribu pengikut dan telah mengunggah 12,9 ribu konten. Beberapa di antaranya menampilkan aktivitas Penerangan Kodam IX/Udayana.
Hussein menegaskan, perlu dipertanyakan apakah unggahan video tersebut dibuat atas perintah atasan. Jika benar, ia mengingatkan pernyataan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Maruli Simanjuntak yang menyebut pengkritik RUU TNI sebagai "orang kampungan."
"Kata-kata Pak Maruli soal kampungan itu mestinya lebih cocok disematkan kepada, misalnya, pimpinan yang memerintahkan unggahan tersebut," ujar Hussein.
Deddy Tak Layak Jadi Staf Khusus
Jamiluddin menyoroti narasi yang dibangun Deddy dalam videonya. Stigma anarkis dan ilegal yang ia sematkan menunjukkan minimnya pemahaman tentang prinsip demokrasi. Alih-alih menjawab keresahan publik, pernyataannya justru memperkeruh keadaan.
Menurut Jamiluddin, hal ini membuktikan Deddy tak layak menjadi staf khusus di bidang komunikasi sosial dan publik, apalagi di lembaga strategis seperti Kementerian Pertahanan.
Sejak awal, kapabilitas Deddy sudah diragukan. Namun, Kementerian Pertahanan tetap mengangkatnya. Mereka mengklaim Deddy punya kapasitas karena pengaruhnya sebagai podcaster dan pemilik jaringan YouTube Close The Door yang memiliki jutaan pelanggan.
Gaya komunikasi Deddy pun sering disorot. Salah satu contohnya saat ia merespons keluhan seorang anak SD tentang program makan bergizi gratis. "Kurang enak, kurang enak, kepala elu pea, kurang enak ayamnya," ujar Deddy dalam video yang beredar sebelum ia diangkat sebagai staf khusus.
Komika Pandji Pragiwaksono juga menanggapi. Ia setuju bahwa narasi Deddy tak menjawab persoalan utama. Namun, menurutnya, pernyataan itu bukan inisiatif pribadi Deddy, melainkan perintah dari Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin.
"Dia disuruh atasannya, Menteri Pertahanan kita, Pak Sjafrie. Kalau mau protes, ya ke Pak Menteri. Kenapa staf khusus Bapak malah fokus soal penerobosan rapat?" kata Pandji lewat video di akun Instagramnya, @pandji.pragiwaksono, Senin (18/3/2025).
Menurut Pandji, ada pertanyaan yang lebih mendesak. Mengapa rapat digelar di hotel bintang lima, bukan di gedung DPR? Jika benar hanya membahas tiga pasal, seperti klaim Komisi I DPR dan pemerintah, kenapa harus tertutup dan berlangsung berhari-hari?
Selain itu, Pandji menilai seharusnya Deddy menjelaskan nasib anggota TNI aktif yang kini bertugas di lembaga sipil. Apalagi, mereka tidak termasuk dalam 16 institusi yang disebut dalam revisi UU TNI.
"Terus gimana? Berhenti? Itu yang harusnya dijelaskan. Jangan cuma soal penerobosan rapat, itu mah gampang," tegas Pandji.
Hal itu nantinya akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI).
TNI wajib tunduk sepenuhnya di bawah pemerintahan sipil dan semua pihak harus memiliki kesadaran menjaganya agar tidak kembali dwifungsi
Menurut ICW, angka tersebut meliputi anggota TNI aktif dan yang sudah purnawirawan. 15 orang tersebut berkaitan dengan delapan perkara korupsi.
"Sekarang kalau dilakukan diam-diam itu apa, dilakukan tanpa memberikan ruang kepada masyarakat sipil untuk ikut terlibat, itikadnya apa?..."
Polisi tidak bisa sewenang-wenang menyita harta milik orang lain, karena itu (menunggak pajak kendaraan) bukan kejahatan, itu soal administrasi saja, kata Fickar.
TNI dididik menjadi prajurit pertahanan negara. Sehingga mereka tidak memiliki kompetensi untuk menjadi jaksa.
Mereka dilaporkan ke Polda dan mengalami teror. Lantas, mengapa pemerintah dan DPR justru terkesan seolah anti pada transparansi?
Student loan ini bukan solusi, tapi jebakan baru atau modus baru komersialisasi dan liberalisasi pendidikan, kata Ubaid.
"Ifan Seventeen punya beberapa kredit terlibat di beberapa film, tapi it's not enough (itu tidak cukup)," ujar Joko.
Hanya indikator inflasi yang bisa dijadikan salah satu penguat. Tapi sebagian besar indikator tidak mengarah kesiapan untuk melakukan redenominasi secara makro, kata Eko.
Prabowo sempat menyatakan akan mengampuni koruptor jika mereka mengembalikan uangnya secara diam-diam.