Suara.com - WACANA redenominasi rupiah kembali mencuat setelah seorang warga bernama Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mengajukan gugatan uji materi Pasal 5 Ayat 1 Huruf c dan Pasal 5 Ayat 2 Huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam gugatan yang teregistrasi dengan Nomor: 23/PUU-XXIII/2025 itu, Zico menilai angka nol yang berlebihan pada mata uang rupiah saat ini telah menimbulkan kerumitan dalam transaksi sehari-hari. Sehingga dia mengusulkan agar rupiah disederhanakan dari Rp1.000 menjadi Rp1.
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi nominal yang lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Pemerintah sebenarnya telah beberapa kali menggulirkan wacana tersebut. Pertama kali diusulkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY pada 2010 silam.
Pada 2017 Gubernur BI (2013-2018) Agus Martowardojo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga sempat menyerahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redenominasi Mata Uang ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Tapi saat itu RUU tersebut belum menjadi prioritas utama pemerintah.
Tiga tahun kemudian pada 2020 yang bertepatan dengan masa pandemi Covid-19, Kementerian Keuangan mengusulkan RUU Redenominasi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020-2024.
Dalam permohonannya ke MK, Zico juga menyinggung soal wacana redenominasi yang sempat diusulkan Darmin Nasution. Di mana menurut Zico, sejak 2010 Darmin Nasution telah menyatakan Indonesia perlu melakukan redenominasi untuk menghadapi tantangan integrasi perekonomian regional. Zico juga memohon agar redenominasi dilakukan dengan tujuan meningkatkan cara pandang publik terhadap rupiah secara nasional maupun internasional.
Tepatkah redenominasi dilakukan?
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto menyebut redenominasi yang berhasil memerlukan beberapa prasyarat. Selain nilai tukar rupiah dan inflasi harus terkendali, pertumbuhan ekonomi juga mesti dalam tren postif.
“Kalau kita mengacu pada indikator-indikator tersebut maka saat ini saya bisa katakan tidak tepat jika redenominasi rupiah dilakukan,” kata Eko kepada Suara.com, Jumat (14/3/2025).
Menurut Eko, terlalu berisiko jika redenominasi diberlakukan saat kondisi rupiah lemah. Ditambah lagi IHSG juga dalam kondisi zona merah dan pertumbuhan ekonomi yang cenderung melambat.
“Hanya indikator inflasi yang bisa dijadikan salah satu penguat. Tapi sebagian besar indikator tidak mengarah kesiapan untuk melakukan redenominasi secara makro,” jelasnya.
Selain itu, Eko menyebut pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi secara masif jika ingin melakukan redenominasi. Tidak hanya kepada masyarakat di kota-kota, tetapi juga di daerah-daerah terpencil.
Menurut Eko pemerintah juga harus mempertimbangkan atau melihat contoh negara-negara yang berhasil melakukan redenominasi. Di mana sebagian besar yang berhasil merupakan negara daratan seperti di Eropa.
“Sedangkan negara kita kepulauan, asimetri informasi sering terjadi. Nah bagaimana sosialisasinya bisa mengantisipasi soal isu kepulauan tersebut,” tuturnya.
Ekonom dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky sependapat dengan Eko. Dia menilai saat ini tidak ada urgensi untuk melakukan redenominasi rupiah.
“Saya rasa nggak ada keperluan yang mendesak untuk melakukan redenominasi saat ini,” tutur Riefky kepada Suara.com.
Dampak positif dan negatifnya?
Riefky menilai redenominasi memang memiliki dampak positif dan negatif. Salah satu dampak postifnya adalah simplifikasi baik dari sisi akuntansi dan pencatatan transaksi
“Akuntansi, pencatatan dan segala macam itu akan lebih simpel. Tapi dari sisi negatifnya juga akan ada risiko implementasi yang membuat potensi inflasi,” ungkapnya.
Sementara Eko menambahkan, selain mempermudah proses pencatatan transaksi, dampak positif redenominasi lainnya adalah meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap nilai rupiah secara ‘nominal’. Sebab dengan adanya redenominasi itu nominal rupiah tidak akan selisih terlalu banyak dengan dollar.
“Walaupun secara riil nilai tukarnya sama saja. Jadi dampak positifnya ini secara psikologis saja sebenarnya,” ujarnya.
Sedangkan dampak negatifnya, jika redenominasi dilakukan menurut Eko berpotensi menimbulkan inflasi semu. Sebab beberapa harga barang dengan harga ganjil seperti Rp9.500 cenderung akan dibulatkan ke atas menjadi Rp10 jika redenominasi itu diterapkan.
“Jadi rata-rata harga barang nanti terdongkrak ke atas, sehingga mengakibatkan inflasi semu. Kalau terjadi inflasi, tentu lagi-lagi akan menggerus daya beli masyarakat,” bebernya.
Inflasi semu itu, lanjut Eko, banyak terjadi di negara-negara yang melakukan redenominasi. Salah satunya adalah Turki.
“Ini pernah terjadi di Turki dan beberapa negara lain. Ada yang berhasil melakukan redenominasi tapi banyak juga yang gagal, banyak timbul masalah inflasi dan seterusnya,” jelasnya.
Senada dengan itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebut selain berpotensi menimbulkan inflasi, redenominasi juga dikhawatirkan akan menimbulkan kebingungan di masyarakat. Apalagi jika kebijakan itu diambil tanpa persiapan yang matang.
“Ketika tidak siap, yang terjadi di tengah masyarakat adalah penipuan dan lain sebagainya. Pengembalian kembalian transaksi juga akan menjadi hal yang harus diperhitungkan,” ujarnya kepada Suara.com.
Netizen menyoroti 'kemudahan' Gibran saat Pilpres 2024 lalu.
Mahkamah meyakini terjadi serangkaian pelanggaran yang secara fundamental telah merusak kemurnian suara pemilih, ujar Hakim MK Enny Nurbaningsih.
Rifqi menyebutkan rapat evaluasi itu rencananya akan dilakukan pekan depan.
Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin menjelaskan pihaknya sedang mempelajari putusan MK secara menyeluruh untuk masing-masing perkara
Prabowo sempat menyatakan akan mengampuni koruptor jika mereka mengembalikan uangnya secara diam-diam.
Film ini mengisahkan Mickey Barnes (Robert Pattinson), seorang pria yang meninggalkan bumi untuk ikut serta dalam misi kolonisasi ke planet es, Nilfheim.
Dalam paparannya, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa hingga akhir Februari 2025, APBN mengalami defisit Rp31,3 triliun atau 0,13 persen dari PDB.
Tapi, benarkah problemnya karena jumlah hakim yang kurang? Atau justru sebarannya yang tidak merata?
Jika melihat dari celengan atau kotak amal, memang ada penurunan sejak tahun lalu," ujar Ustaz Mauliza.
Berdasarkan keputusan baru, CPNS baru akan diangkat pada 1 Oktober 2025, sedangkan PPPK pada 1 Maret 2026.
Penyidik didorong agar bergerak cepat dalam mengusut kasus dugaan korupsi Bank BJB setelah menggeledah rumah eks Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.