Hukum Tumpul ke Atas? Usulan Tak Tahan Politisi dan Pejabat Koruptor Tuai Kritik Tajam
Home > Detail

Hukum Tumpul ke Atas? Usulan Tak Tahan Politisi dan Pejabat Koruptor Tuai Kritik Tajam

Erick Tanjung | Muhammad Yasir

Kamis, 06 Maret 2025 | 09:20 WIB

Suara.com - Usulan soal politisi dan pejabat yang menjadi tersangka agar tidak ditahan sebelum dijatuhkan vonis pengadilan menuai kritik tajam. Wacana itu diusulkan diatur dalam RKUHAP yang tengah bergulir di DPR RI.

Usulan dari seorang pengacara yang kerap menjadi kuasa hukum tersangka kasus korupsi ini dinilai berbahaya dalam penegakkan hukum di Indonesia.

KOMISI III DPR menggelar rapat dengar pendapat umum bersama sejumlah advokat. Mereka membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau RKUHAP di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu, 5 Maret 2025.

Advokat Maqdir Ismail salah satu yang diundang dan hadir dalam rapat itu. Dia mengusulkan agar RKUHAP memuat aturan politisi dan pejabat yang berstatus tersangka tidak ditahan sebelum adanya vonis pengadilan.

“Kalau saya tidak keliru, salah satu di antaranya yang cukup menarik dari Belanda itu,” ungkap Maqdir.

Di Belanda, kata Maqdir, seorang tersangka baru ditahan setelah adanya vonis dari pengadilan. Praktik hukum di negeri kincir angin itu menurutnya bisa diterapkan di Indonesia sebagai solusi di tengah kondisi rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan yang sudah melebihi kapasitas.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto (rompi tahanan KPK) dan pengacanya, Maqdir Ismail di KPK. (Suara.com/Dea)
Pengacanya Maqdir Ismail dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di KPK. (Suara.com/Dea)

Sementara penahanan sebelum adanya vonis pengadilan, lanjut Maqdir, dapat diterapkan kepada tersangka yang memang tidak memiliki latar belakang pekerjaan dan tempat tinggal yang jelas.

”Tokoh politik rumahnya jelas, gampang melihatnya. Itu mestinya tidak perlu dilakukan penahanan. Apalagi kalau belum ada bukti yang sangat substansial bahwa orang ini sudah melakukan kejahatan” katanya.

Usulan Maqdir dikritik pakar hukum pidana dari Universitas Mulawarman, Orin Gusta. Aturan yang diusulkan Maqdir, kata dia, tidak sesuai dengan hakikat dan tujuan upaya paksa penahanan dalam hukum pidana.

Dalam Pasal 21 Ayat 1 KUHAP Orin menjelaskan, syarat subjektif penahanan itu dilakukan penyidik atas pertimbangan tersangka atau terdakwa khawatir melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana.

“Siapa yang bisa menjamin supaya tidak terjadi hal-hal itu? Saya rasa itu usulan yang aneh dan berpotensi memperkuat stigma hukum tajam ke bawah tumpul ke atas,” ungkap Orin kepada Suara.com, Rabu (5/3/2025).

Sementara Maqdir belakangan membantah usulan tersebut berkaitan dengan Sekjen PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto. Di mana Maqdir merupakan kuasa hukum dari Hasto selaku tersangka korupsi yang baru saja ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Tidak ada kaitannya dengan Mas Hasto. Ini adalah urusannya dengan kemanusiaan,” ungkap Maqdir usai rapat dengan Komisi III DPR.

Maqdir lalu mengklaim usulan tersebut sebenarnya sudah sering dia sampaikan.

“Ada beberapa orang teman mengatakan bahwa orang di Lapas dan Rutan itu disusun seperti sarden. Ini menurut hemat saya merupakan suatu bentuk pelanggaran hak asasi kalau ini dibiarkan,” katanya.

Pengacara Maqdir Ismail saat memberikan masukan RKUHAP kepada Komisi III DPR RI. (tangkapan layar/Bagaskara)
Pengacara Maqdir Ismail saat memberikan masukan RKUHAP kepada Komisi III DPR RI. (tangkapan layar/Bagaskara)

Pengawasan Pengadilan

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur sependapat dengan Orin. Dia menilai usulan Maqdir penuh bias dan diskriminasi terhadap orang-orang yang tidak memiliki kejelasan pekerjaan dan tempat tinggal.

“Ini juga bias pembelaan kepada orang-orang kaya, koruptor dan pejabat. Nampak sekali ketidakadilan dalam usulan itu,” ujar Isnur kepada Suara.com.

Isnur menyebut apa yang sebenarnya diperlukan dalam RKUHAP adalah adanya mekanisme pengawasan pengadilan atau judicial scrutiny untuk menguji penahanan terhadap tersangka. Koalisi masyarakat sipil dalam RKUHAP juga telah mengusulkan agar mekanisme tersebut dilakukan lewat Hakim Pemeriksa Pendahuluan atau HPP.

“Sehingga penahanan menjadi objektif dalam pertimbangannya. Begitupun pihak-pihak terkait bisa langsung menguji di forum itu, tidak harus mengajukan secara pribadi lewat praperadilan yang selama ini tidak efektif,” jelas Isnur.

Sementara Sekretaris Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PHBI) Gina Sabrina menambahkan, mekanisme judicial scrutiny penting untuk menguji upaya paksa penahanan yang kerap dilakukan secara serampangan oleh penyidik atau penuntut umum.

“Seringkali sedikit-sedikit tersangka itu ditahan. Dan memang benar penahanan itu jadi salah satu kontributor terbesar terhadap over kapasitas baik di Rutan atau Lapas,” kata Gina kepada Suara.com.

Namun begitu, Gina tak sepakat dengan apa yang diusulkan Maqdir. Sebab hal itu justru memberikan keistimewaan pada politisi atau pejabat. Seharusnya, politisi dan pejabat yang khususnya berkaitan dengan kasus korupsi justru dapat dilakukan penahanan sebelum adanya vonis pengadilan.

“Perlu diingat pejabat publik itu punya kuasa dan punya pengaruh. Dia bisa meperdagangkan itu untuk melakukan transaksi hukum terhadap kasusnya yang sedang berlangsung. Jadi apa yang diusulkan Maqdir itu sangat berbahaya,” pungkasnya.


Terkait

Bolehkah Tersangka Tak Diborgol? Nikita Mirzani Santai Pakai Baju Tahanan
Rabu, 05 Maret 2025 | 10:40 WIB

Bolehkah Tersangka Tak Diborgol? Nikita Mirzani Santai Pakai Baju Tahanan

Nikita Mirzani terlihat tidak diborgol setelah ditetapkan sebagai tersangka.

4 Gestur Santai Nikita Mirzani, Tak Ingin Terlihat Jelek Pakai Baju Tahanan
Rabu, 05 Maret 2025 | 10:24 WIB

4 Gestur Santai Nikita Mirzani, Tak Ingin Terlihat Jelek Pakai Baju Tahanan

Nikita Mirzani resmi ditahan Polda Metro Jaya 20 hari untuk penyidikan. Meski pakai baju tahanan, ia tetap bergaya dan menyapa wartawan dengan senyum.

Terbaru
Bahaya di Balik Babinsa Jadi 'Sales' Beras Bulog: Dwifungsi TNI atau Solusi Swasembada?
polemik

Bahaya di Balik Babinsa Jadi 'Sales' Beras Bulog: Dwifungsi TNI atau Solusi Swasembada?

Rabu, 05 Maret 2025 | 20:47 WIB

Keterlibatan Babinsa mendorong petani agar menjual gabah ke Bulog sebagai bentuk intervensi ekonomi.

Badai PHK di Tengah Mimpi Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen polemik

Badai PHK di Tengah Mimpi Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

Rabu, 05 Maret 2025 | 13:37 WIB

Saya masih menyakini bahwa pertumbuhan ekonomi 8 persen sangat sulit dicapai. Bahkan untuk mencapai 5,2 persen pada tahun ini pun rasanya perlu effort lebih," ujar Huda.

Banjir di Jabodetabek Hingga Warga Minta Tolong di Medsos: Mengapa Pemerintah Gagal Mengelola Komunikasi Krisis? polemik

Banjir di Jabodetabek Hingga Warga Minta Tolong di Medsos: Mengapa Pemerintah Gagal Mengelola Komunikasi Krisis?

Rabu, 05 Maret 2025 | 08:41 WIB

Wali Kota Bekasi Tri Andhianto menyatakan kota lumpuh. Dari 12 kecamatan terdampak, 8 di antaranya berada di wilayah Kota Bekasi.

Skandal Disertasi Menteri Bahlil: Akankah UI Berani Batalkan Hingga Berhentikan? polemik

Skandal Disertasi Menteri Bahlil: Akankah UI Berani Batalkan Hingga Berhentikan?

Selasa, 04 Maret 2025 | 14:14 WIB

Dia terbukti menciderai. Itu sanksinya harusnya diberhentikan sebagai mahasiswa, kata Herlambang.

Pepesan Kosong UU Cipta Kerja: PHK Merajalela, Cari Kerja Kian Susah! polemik

Pepesan Kosong UU Cipta Kerja: PHK Merajalela, Cari Kerja Kian Susah!

Selasa, 04 Maret 2025 | 09:09 WIB

UU Cipta Kerja yang diklaim pemerintah sebagai solusi penciptaan lapangan kerja justru jadi alat pemutusan hubungan kerja.

Skandal Solar Subsidi Kolaka: Nelayan Menjerit, Negara Rugi Rp105 Miliar! polemik

Skandal Solar Subsidi Kolaka: Nelayan Menjerit, Negara Rugi Rp105 Miliar!

Senin, 03 Maret 2025 | 20:49 WIB

Kami sudah teriakkan persoalan ini sudah lama. Bahkan kepada Pertamina, kata Rohimin.

Dari Makanan Mentah Hingga Kasus Dugaan Keracunan MBG Bermunculan: Bukti Buruknya Tata Kelola dan Pengawasan! polemik

Dari Makanan Mentah Hingga Kasus Dugaan Keracunan MBG Bermunculan: Bukti Buruknya Tata Kelola dan Pengawasan!

Senin, 03 Maret 2025 | 15:09 WIB

Lantas, mengapa kasus ini terjadi dan apa risikonya?