Suara.com - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali disorot. Sejumlah kasus dugaan keracunan muncul. Menu ayam yang masih mentah juga ditemukan di beberapa daerah. Lantas, mengapa kasus ini terjadi dan apa risikonya?
Kasus terbaru terjadi di Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Kalimantan Selatan. Pada 26 Februari 2025, 13 siswa dari tiga sekolah dasar diduga mengalami keracunan usai menyantap MBG. Mereka mengalami mual, pusing, dan sakit perut.
Semua dilarikan ke puskesmas.
Ini bukan kasus pertama. 16 Januari lalu, di SDN 03 Dukuh Sukoharjo, 10 siswa juga dilarikan ke puskesmas. Gejalanya sama: mual, muntah, dan pusing. Diduga, ayam yang mereka makan sudah basi.
Di Waingapu, Sumba Timur, 24 Februari, sebuah sekolah menemukan ayam MBG dalam kondisi masih mentah, bahkan berdarah. Dugaan sementara: ayam tidak dimasak hingga matang.
Di Kupang, NTT, pihak sekolah terpaksa membuang menu sayuran MBG karena basi sebelum sempat dikonsumsi.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai kasus-kasus ini sebagai peringatan keras bagi pemerintah. Evaluasi menyeluruh harus segera dilakukan. Jika perlu, program ini dihentikan sementara.
“Ini menyangkut perut anak-anak, terutama balita yang sistem pencernaannya masih sensitif. Proses memasak harus diawasi ketat dan dicek secara acak,” ujar Agus kepada Suara.com, Sabtu (28/2/2025).
Ia juga mempertanyakan quality control dalam program ini. Apakah benar ada ahli gizi yang memastikan makanan memenuhi standar?
“Kalau sekarang terjadi (dugaan keracunan), tanyakan ke BGN. Bagaimana quality control-nya?” tegasnya.
Sejak awal, Agus sudah mengkhawatirkan risiko ini. Ia menilai program MBG dipaksakan tanpa persiapan matang. Hasilnya, tata kelola berantakan, pengawasan lemah, dan korban berjatuhan.
Agus khawatir bahwa dampak buruk bisa lebih besar.
“Saya cuma bisa berdoa semoga tidak ada fatality (kematian),” kata Agus.
Kontrol MBG Lewat Medsos
Meresepons deretan masalah yang terjadi Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana mewajibkan semua Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk mengunggah menu makanan yang mereka masak setiap hari.
Langkah ini untuk meningkatkan transparansi dan memastikan kontrol bersama terhadap kualitas makanan yang disajikan.
"Kami sudah meminta seluruh satuan pelayanan membuat media sosial sendiri, seperti Instagram dan Facebook, dan wajib meng-upload masakan mereka setiap hari," kata Dadan di Magelang, Kamis (27/2/2025).
Ia menegaskan, keterbukaan dalam program ini sangat penting. Masyarakat bisa ikut mengawasi. Namun, langkah itu juga dikritik oleh Agus.
"Bagaimana kontrolnya? Memang dari sosial media bisa ketahuan, itu berbakteri atau enggak? Atau itu rasanya enak atau enggak Emang bisa?" ujar Agus mempertanyakan.
Langkah tersebut dinilai masih jauh dari ideal. Masih ada celah manipulasi. Salah satunya, mengunggah foto atau video lama yang bukan menu sebenarnya.
Pengawasan rutin menurut Agus lebih penting. Agus menekankan perlunya pemeriksaan dapur secara berkala—dari kebersihan peralatan hingga kualitas bahan baku.
"Itu harus diawasi setiap hari, setiap saat. Sebelum memasak, dapur harus bersih. Setelahnya, harus dirapikan. Supaya keesokan harinya siap digunakan," ujar Agus.
Ketua Ombudsman RI (ORI) Mokhammad Najih juga mempertanyakan efektivitas pengawasan di lapangan.
"Siapa yang memastikan bahwa makanan yang didistribusikan sesuai dengan yang ada di gambar?" katanya kepada Suara.com.
Quality control harus diperketat. Tingkat kematangan dan kandungan gizi makanan harus dipastikan sebelum distribusi.
"Bukan sekadar memasak dan membagikan. Aspek gizinya harus diperiksa lebih dulu," kata Najih.
Ombudsman kini tengah memantau seluruh rantai distribusi MBG, mulai dari pemasok bahan baku, pengukuran kualitas gizi, hingga proses pendistribusian.
Kasus dugaan keracunan dan temuan daging mentah akan menjadi bahan koreksi dalam rekomendasi yang disampaikan ke Badan Gizi Nasional (BGN).
Najih menilai tata kelola MBG tidak bisa dipusatkan sepenuhnya. Setiap daerah memiliki kondisi dan tantangan berbeda, termasuk keterbatasan ahli gizi.
"Bagaimana cara memastikan makanan yang disebut ‘makan bergizi gratis’ benar-benar bergizi?" ujarnya.
Setelah evaluasi selesai, ORI akan berkoordinasi dengan BGN sebagai penanggung jawab program.
Harus Dikelola Hati-Hati
Di sisi lain, Kepala BGN Dadan Hindayana menilai kasus keracunan dan makanan mentah terjadi karena kurangnya pengalaman mitra dalam memasak dalam jumlah besar.
"Yang baru-baru memang masih ada kendala. Tapi yang lama sudah terbiasa, jadi tidak ada masalah," klaim Dadan, Kamis (27/2).
Seperti diketahui, MBG menelan anggaran puluhan triliun rupiah. Oleh karena itu, Agus menilai program ini dikelola dengan sangat hati-hati. Jika pengawasan lemah, dana yang besar hanya akan terbuang sia-sia.
Ia merekomendasikan pengawasan harus dilakukan dari hulu ke hilir. Mulai dari pemilihan bahan baku, penyusunan menu bergizi, proses memasak, hingga distribusi ke sekolah.
Lebih jauh, Agus menekankan, jika tata kelola tetap kacau, tujuan utama MBG tidak akan tercapai. Alih-alih memberi gizi, Agus menilai program ini justru membahayakan kesehatan anak-anak.
Akun Facebook @Balingga Lius Balingga membagikan sebuah foto dengan narasi sebagai potret siswa SD di Papua meninggal dunia keracunan makanan bergizi gratis
Selama pelaksanaannya, lebih dari 100 anak sekolah diduga sempat keracunan setelah menyantap MBG.
Bukannya bergizi, siswi ini menerima sepotong daging mentah untuk ia konsumsi sebagai makan siang.
Tetapi kalau korupsinya karena keserakahan atau corruption by greed, gaji berapapun tidak akan menjadi jawaban, ujar Zaenur.
Salah satu hal dari Negeri Sakura selama ini terkenal dengan budaya kerja keras, disiplin, hingga kejujuran dalam kehidupan sehari-hari.
Film GJLS: Ibuku Ibu-Ibu sama Agak Laen, lucu mana?
Prabowo bakal mereshuffle Bahlil jika sudah ada kepastian PDIP bergabung dengan koalisi partai pro pemerintah.
Sebelum mewajibkan karyawan swasta, pemerintah pusat seharusnya terlebih dahulu memberikan contoh.
Celios meragukan UMKM dapat mengelola tambang secara profesional dengan memperhatikan dampak lingkungan dan potensi konflik yang terjadi.
Jika rumah dibuat terlalu kecil, tidak hanya ruang hidup yang terbatas, tapi juga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan, sosial, dan psikologis penghuninya, ujar Irine.