Resiliensi Budaya: Mengapa Meugang di Aceh Tak Lekang oleh Waktu?
Home > Detail

Resiliensi Budaya: Mengapa Meugang di Aceh Tak Lekang oleh Waktu?

Erick Tanjung

Sabtu, 01 Maret 2025 | 14:14 WIB

Suara.com - Masyarakat Aceh memilih pulang kampung saat meugang. Tradisi berkumpul dan makan daging bersama keluarga untuk menyambut Ramadan.

ISKANDAR jauh-jauh hari dihubungi oleh orang tuanya yang tinggal di Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh. Pria yang sekarang menetap di Kota Banda Aceh ini dilempar pertanyaan.

“Ditanyakan oleh mamak, apakah pulang atau enggak,” kata pria berprofesi wiraswasta ini kepada Suara.com, Kamis (27/2/2025).

Sang ibu memastikan kemungkinan Iskandar akan merayakan meugang bersama keluarga di kampung halaman. Karena itu, Rabu malam (26/2), ia menempuh perjalanan tujuh jam dengan angkutan umum, dan tiba di rumahnya pada Kamis pagi.

“Selain sudah lama enggak pulang, pasti juga teringat-ingat orang tua kalau enggak pulang,” ujarnya.

Pulang kampung pada saat meugang juga memiliki makna tersendiri bagi Iskandar. Sebab, meugang menjadi momen berkumpul bersama keluarga sebelum menjalani ibadah puasa Ramadan. Laiknya saat lebaran, saudaranya yang telah berkeluarga juga berkumpul di rumah orang tua.

“Berkumpul di rumah dan menyantap daging bersama. Ada juga lemang, serta menu kuah sop dan rendang,” tuturnya.

Meugang atau Makmeugang, tradisi membeli, memasak, dan menyantap daging bersama keluarga di Aceh. Perayaan itu berlangsung dua hari sebelum Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha.

Pemerhati sejarah Aceh Tarmizi Abdul Hamid mengatakan tradisi meugang di Aceh sudah berlangsung sejak 400 tahun lalu. Tradisi ini berawal dari Kesultanan Aceh Darussalam.

“Dalam Qanun Al-Asyi BAB II Pasal 47 qanun tersebut disebutkan Sultan Aceh secara turun temurun memerintahkan Qadi Mu’azzam Khazanah Balai Silaturahmi untuk mengambil dirham hingga kain-kain, serta kerbau dan sapi dipotong, lalu dibagi-bagikan kepada fakir miskin di hari meugang,” kata Tarmizi kepada Suara.com, Kamis (28/2).

Tradisi meugang makin berkembang pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Awalnya, meugang memang kebijakan sultan untuk membagikan kepada rakyat sebagai bentuk kesejahteraan sosial dan penghormatan hari besar Islam.

“Seiring waktu, tradisi ini tetap dilestarikan oleh masyarakat Aceh, di mana mereka membeli daging sendiri dan memasaknya bersama keluarga,” ujarnya.

Pulang kampung saat meugang juga dilakukan Oviyandi yang saat ini tinggal di Kota Banda Aceh. Ia kembali ke kampung halaman di Kabupaten Pidie, berjarak 2 hingga 3 jam perjalanan darat untuk meugang bersama orang tua.

“Meugang ini momen berkumpul dengan keluarga sambil santap daging,” katanya.

Bagi Oviyandi, pulang kampung saat meugang sudah menjadi kebiasaan, dan itu juga bentuk penghormatan kepada orang tua. Sejak kecil, ia telah diajarkan bahwa meugang adalah momen penting bagi keluarga di Aceh.

“Bukan menikmati daging saja, tapi meugang ini soal kebersamaan,” ujar Ovi.

Tradisi Meugang di Aceh. (Kontributor Aceh: Habil Razali)
Tradisi Meugang di Aceh. (Kontributor Aceh: Habil Razali)

Pulang saat meugang juga menjadi cara untuk menjaga silaturahmi dengan kerabat dan mengenang masa kecil, terutama saat menyambut Ramadan.

Di Banda Aceh, ia bisa saja membeli daging sendiri dan memasaknya. Namun, itu tidak akan sama.

“Ada sesuatu yang tak tergantikan saat meugang adalah momen berkumpul bersama keluarga di rumah,” katanya.

Saban menjelang meugang, keluarga di kampung memahami Fauzan tidak bisa pulang. Pekerjaannya di Kota Banda Aceh membuatnya sulit meninggalkan kota, terutama di hari-hari menjelang Ramadan.

“Karena saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan sehingga saya tidak pulang. Biasanya saya pulang saat meugang Idul Fitri dan Idul Adha,” kata Fauzan.

Namun, pemuda asal Aceh Utara ini tidak melewatkan momen meugang begitu saja. Menurut Fauzan, meugang tetaplah bagian penting dari tradisi. Tidak bisa berkumpul dengan keluarga besar di kampung, ia tetap merayakannya bersama saudara yang ada di Banda Aceh.

“Saya tetap makan daging meugang di rumah keluarga di Banda Aceh,” ujarnya.

“Bagi kami orang Aceh, kesannya seperti kurang sempurna menyambut bulan suci Ramadan tanpa makan daging di hari meugang,” imbuhnya.

Meugang dan Resiliensi Budaya

Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh Teuku Kemal Fasya memandang masyarakat Aceh yang tetap merawat tradisi meugang sebagai resiliensi budaya. Karena itu, ada upaya mempertahankan dan memperjuangkannya secara turun temurun agar tetap dilaksanakan.

“Kenapa itu dilaksanakan? Dianggap itu menjadi bagian dari identitas budaya masyarakat Aceh. Jadi, resiliensi mengarah kepada pengukuhan terhadap identitas budaya,” kata Kemal kepada Suara.com, Jumat (28/2/2025).

“Makanya tetap dipertahankan. Tampaknya sampai 10 tahun ke depan tradisi ini belum tentu hilang, tidak akan hilang kalau menurut saya,” imbuhnya.

Lantas mengapa perantau Aceh pulang saat meugang? Menurut Kemal, tradisi mudik dimiliki oleh semua kebudayaan masyarakat. Bagi masyarakat Aceh pulang saat meugang juga untuk merayakan puasa Ramadan pertama di kampung.

“Tapi itu biasa terjadi untuk daerah yang mobilitasnya masih mungkin, misalnya orang dari Sumatra Utara pulang ke Aceh. Tapi itu yang saya lihat agak jarang untuk misalnya perantauan di Jakarta pulang. Mereka lebih memilih pulang nanti di meugang terakhir menjelang Lebaran,” tuturnya.

Dalam bahasa Aceh, mudik itu dikenal dengan istilah riwang atau pulang. Bagi sebagian besar orang, riwang bisa memperkuat kembali memori masa kecil atau masa lalu agar tetap dianggap sebagai bagian dari identitas kebudayaan dalam keluarga.

“Apalagi kan kalau pulang, itu berarti dia juga harus membeli daging untuk orang tuanya. Kalau dulu dia dibiayai, sekarang dia membayarnya, dia membeli daging,” kata Kemal.

“Akan memalukan ketika dia pulang kampung tidak membeli 2–3 kilogram daging untuk merayakan meugang menyambut bulan Ramadan ini.”

Perayaan meugang mengapa harus daging? Kemal menuturkan masyarakat Aceh bukan pemakan daging setiap hari. Jadi, menyantap daging meugang cara memanjakan diri menjelang Ramadan.

“Makanan istimewa pasti daging. Pilihannya ada daging lembu, tapi juga ada yang memakai daging kerbau hingga ayam,” tuturnya.

“Di beberapa daerah saya lihat, misalnya di Aceh Utara dan Bireuen mereka ada membeli eungkot muloh atau ikan bandeng. Itu dianggap sebagai kemewahan sendiri untuk memakan daging di hari istimewa,” kata Kemal.

__________________________________

Kontributor Aceh: Habil Razali


Terkait

Tempat Ngabuburit Menunggu Buka Puasa Ramadan di Jakarta
Sabtu, 01 Maret 2025 | 10:44 WIB

Tempat Ngabuburit Menunggu Buka Puasa Ramadan di Jakarta

Rekomendasi lokasi ngabuburit di Jakarta untuk menunggu waktu berbuka puasa.

Prabowo: Semoga Ramadan 1446 H Berjalan Tenang dan Khusyuk
Sabtu, 01 Maret 2025 | 06:00 WIB

Prabowo: Semoga Ramadan 1446 H Berjalan Tenang dan Khusyuk

Ia juga menyampaikan permohonan maaf sebelum menghadapi Ramadan 1446 Hijriyah.

Terbaru
Mengupas Tuntas Lagu Garam & Madu yang Candu, Lebih dari Sekadar Viral
nonfiksi

Mengupas Tuntas Lagu Garam & Madu yang Candu, Lebih dari Sekadar Viral

Sabtu, 01 Maret 2025 | 08:00 WIB

Lagu Garam & Madu tengah viral di kalangan masyarakat.

Penantian dan Campur Tangan Tuhan, PSIM Yogyakarta Menuju Liga 1 Musim Depan polemik

Penantian dan Campur Tangan Tuhan, PSIM Yogyakarta Menuju Liga 1 Musim Depan

Sabtu, 01 Maret 2025 | 06:58 WIB

Definisi buah kesabaran hingga Tuhan ulurkan tangan untuk PSIM Yogyakarta.

Cerita Meugang di Aceh: Perayaan Makan Daging Sambut Ramadan polemik

Cerita Meugang di Aceh: Perayaan Makan Daging Sambut Ramadan

Jum'at, 28 Februari 2025 | 19:05 WIB

Sejak ratusan tahun lalu, warga Serambi Makkah menggelar perayaan makan daging menyambut bulan suci.

Ironi Pemungutan Suara Ulang: Efisiensi yang Diklaim, Pemborosan yang Nyata polemik

Ironi Pemungutan Suara Ulang: Efisiensi yang Diklaim, Pemborosan yang Nyata

Jum'at, 28 Februari 2025 | 16:00 WIB

Wamendagri Ribka Haluk mengatakan pemerintah akan menggunakan APBN untuk pelaksanaan PSU di beberapa daerah dengan APBD terbatas.

Ironi di Serambi Mekah: Pasangan Gay Dicambuk di Depan Publik! polemik

Ironi di Serambi Mekah: Pasangan Gay Dicambuk di Depan Publik!

Jum'at, 28 Februari 2025 | 12:19 WIB

Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh memvonisnya 80 kali hukuman cambuk ke pasangan Gay karena melanggar Pasal 63 Qanun Nomor 6/2014 tentang Hukum Jinayat.

Gerakan Rakyat; Benteng Politik Anies Keluar dari Trauma Ditinggal Parpol? polemik

Gerakan Rakyat; Benteng Politik Anies Keluar dari Trauma Ditinggal Parpol?

Jum'at, 28 Februari 2025 | 08:12 WIB

Ormas Gerakan Rakyat Diprediksi jadi Parpol: Antisipasi Anies Tak Rasakan Pahitnya Ditinggalkan Partai Pendukung!

Konflik Berulang Anggota TNI-Polri, Fenomena Gunung Es yang Tak Usai polemik

Konflik Berulang Anggota TNI-Polri, Fenomena Gunung Es yang Tak Usai

Kamis, 27 Februari 2025 | 19:47 WIB

SETARA Institute mencatat tidak kurang dari 37 konflik dan ketegangan antara anggota TNI-Polri itu terjadi di pada 2014-2024.