Suara.com - Dua hari sebelum Ramadan, lapak daging dadakan muncul di seluruh Aceh. Sejak ratusan tahun lalu, warga Serambi Makkah menggelar perayaan makan daging menyambut bulan suci.
Langit masih gelap ketika Amri tiba di lapaknya di Jalan Teuku Iskandar, Beurawe, Kota Banda Aceh, Jumat (28/2/2025). Pukul lima pagi, ia sudah siap berjualan.
Deretan paha sapi tergantung di depan lapaknya, mengundang perhatian para pembeli yang mulai berdatangan.
“Sudah beberapa hari di sini, memang jualan untuk meugang,” ujarnya kepada Suara.com.
Biasanya, ia berjualan di Lambaro, Aceh Besar. Namun, menjelang meugang, ia memilih pindah ke kawasan ini. Pasarnya lebih ramai, peluang jualannya lebih besar.
Meugang, atau Makmeugang, adalah tradisi masyarakat Aceh. Membeli, memasak, dan menyantap daging bersama keluarga menjadi ritual wajib menjelang Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha.
Bagi banyak orang, daging meugang adalah lambang kebersamaan sekaligus keberkahan.
Pasar dadakan ini membeludak. Puluhan lapak daging berdiri berbanjar, menyesaki tepi jalan. Ukurannya seragam: sekitar 2 x 1 meter, beratapkan terpal plastik yang ditopang balok kayu.
Suasananya riuh. Suara pedagang menawarkan dagangan berpadu dengan celoteh pembeli yang sibuk menawar harga. Harga daging pun naik tajam.
“Sekarang Rp170-180 ribu per kilogram. Hari biasa cuma Rp140-150 ribu,” kata Amri. Kenaikan harga bukan hal baru. Setiap meugang, permintaan melonjak, dan harga ikut melambung. Meski begitu, warga tetap membeli. Tradisi harus dijalankan, berapa pun biayanya.
Di sudut lain, Mukhlis sibuk mengiris paha sapi. Pisau tajamnya membelah daging, meninggalkan potongan merah segar dengan guratan lemak putih.
Di meja lapaknya, tumpukan daging siap dijual. Setiap potong memiliki tujuan, jadi gulai, semur, atau rendang di meja makan keluarga.
“Sejak kemarin sudah ramai yang beli,” katanya yang sehari-hari juga menjual daging di kawasan itu.
Selain pembeli yang ramai, menurut Mukhlis, modal untuk membeli sapi juga lebih besar karena harganya ikut naik. Namun, kenaikan harga tetap tidak menyurutkan warga membeli daging pada hari meugang.
Di Kabupaten Pidie, pasar daging juga muncul. Pembeli juga mengerubung. Salah satunya ialah Nursiah. Ia sudah lebih dulu berbelanja.
Hari sebelumnya, ia membeli daging sapi. Kini, ia kembali ke pasar untuk membeli tulang sapi.
"Hari ini rencana mau beli tulang sapi untuk memasak sop," katanya.
Baginya, meugang bukan sekadar membeli daging. Ini adalah tradisi. Sebuah kewajiban. Setiap meugang, dapur rumahnya harus mengepul. Semua anggota keluarga berkumpul.
"Harus ada masakan istimewa. Daging adalah wajib," ujar Nursiah.
Ia tak sendiri. Hampir semua keluarga di Aceh melakukannya. Meugang adalah momen istimewa, sekaligus pengikat erat silaturahmi.
Tapi, ada harga yang harus dibayar. Mukhlis, seorang pedagang, mengakui bahwa harga daging selalu naik saat meugang.
Pembeli membludak. Permintaan meningkat. Modal pun ikut membengkak. Namun, kenaikan harga bukan alasan untuk melewatkan meugang. Tradisi tetap harus dijalankan.
Sejarah Meugang
Sejarah meugang sudah berlangsung sejak 400 tahun lalu. Menurut Tarmizi Abdul Hamid, seorang pemerhati sejarah Aceh, tradisi ini bermula dari era Kesultanan Aceh Darussalam. Kala itu, sultan memerintahkan pemotongan sapi dan kerbau.
Dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. Sebuah bentuk kesejahteraan sosial.
Pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636), tradisi ini makin kuat. Rakyat tidak hanya menerima daging dari sultan, tetapi juga mulai membeli sendiri. Seiring waktu, meugang berkembang. Warga membeli, memasak, dan menyantap daging bersama keluarga.
Namun, tidak semua perjalanan meugang berjalan mulus. Ketika Belanda memaklumatkan perang terhadap Aceh pada 1873, Kesultanan kewalahan mengelola tradisi ini.
Meski begitu, meugang tetap hidup di masyarakat. Di kampung-kampung, orang kaya membantu orang miskin mendapatkan daging. Solidaritas tetap terjaga.
Kini, tradisi ini berkembang lebih luas. Di beberapa daerah, meugang diawali dengan gotong royong membersihkan kampung dan rumah. Setelah itu, makan bersama menjadi agenda utama.
Sebagian keluarga memilih berkumpul di rumah. Ada pula yang menggelar piknik ke pantai, membawa bekal masakan daging.
Dapur-dapur di Aceh pun sibuk. Masakan khas meugang seperti kuah beulangong dan sie reuboh tersaji di meja makan.
"Saat Meugang inilah ada momen makan besar atau meuramien. Makan itu harus daging. Orang Aceh suka makan daging," ujar Tarmizi.
Lebih dari sekadar makan bersama, meugang adalah pengikat sosial. Ia menyatukan keluarga, mendekatkan tetangga, dan memperkuat kebersamaan.
Tak hanya itu, meugang juga menjadi waktu berbagi. Anak yatim, kaum duafa, dan mereka yang kurang mampu turut merasakan kebahagiaan.
"Meugang ini bukan sekadar tradisi. Ia adalah momen berkumpul, makan bersama, dan saling memaafkan. Semua itu dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan," kata Tarmizi.
__________________________________
Kontributor Aceh: Habil Razali
Daerah yang telah memenuhi kriteria visibilitas MABIMS berada di Aceh, yakni Sabang dan Banda Aceh.
Dr. Tirta memberikan beberapa tips berolahraga saat berpuasa.
Menyambut Ramadan, Accor Greater Jakarta Hotels memperkenalkan berbagai sajian khas yang akan disajikan di enam hotel di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Ketua Badan Hisab Provinsi Sulsel Abbas Padil menambahkan secara hisab, 1 Ramadhan 1446 Hijriah sudah bisa ditetapkan Sabtu, 1 Maret 2025.
Wamendagri Ribka Haluk mengatakan pemerintah akan menggunakan APBN untuk pelaksanaan PSU di beberapa daerah dengan APBD terbatas.
Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh memvonisnya 80 kali hukuman cambuk ke pasangan Gay karena melanggar Pasal 63 Qanun Nomor 6/2014 tentang Hukum Jinayat.
Ormas Gerakan Rakyat Diprediksi jadi Parpol: Antisipasi Anies Tak Rasakan Pahitnya Ditinggalkan Partai Pendukung!
SETARA Institute mencatat tidak kurang dari 37 konflik dan ketegangan antara anggota TNI-Polri itu terjadi di pada 2014-2024.
Namun, sejumlah pakar menilai yang terjadi justru komodifikasi kemiskinankemiskinan dijadikan komoditas atas nama pembangunan.
MK menilai Yandri dan kepala desa tersebut telah melanggar Pasal 71 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Menurut data BKSDA, setidaknya terdapat 583 kali konflik gajah dan manusia di Aceh sepanjang 2019 hingga 2023.