Suara.com - Konflik antara anggota TNI dan Polri hingga berujung penyerangan markas polisi terus berulang kali terjadi. Peristiwa tersebut acapkali dilatarbelakangi persoalan sepele; seperti masalah pribadi, ketersinggungan, dan kesalahpahaman.
Terbaru, konflik terjadi di Kalimantan Utara pada Senin (24/2/2025) malam. Sekira 20 Anggota TNI dari Yonif 614/RJP menyerang Mapolres Tarakan menggunakan batu, kayu, dan besi. Tak hanya itu, mereka merusak fasilitas hingga melukai enam anggota Polres Tarakan.
Penyerangan dipicu insiden pengeroyokan yang dilakukan lima anggota Polres Tarakan terhadap Anggota Yonif 614/RJP. Pengeroyokan itu terjadi dua hari sebelumnya di sebuah tempat hiburan malam di Tarakan.
Lima anggota Polres Tarakan sempat sepakat akan menanggung biaya pengobatan Anggota Yonif 614/RJP sebesar Rp10 juta. Namun, hal itu tak kunjung direalisasikan hingga memicu amarah yang berujung penyerangan terhadap Mapolres Tarakan.
Panglima TNI Jenderal Agus Subianto memastikan bakal menindak tegas anggotanya yang terlibat dalam penyerangan Mapolres Tarakan. Kasus ini, kata dia, juga telah ditangani oleh Panglima Kodam VI/Mulawarman dan Kapolda Kalimantan Utara.
“Memang kejadiannya kan di tempat hiburan malam, kami pasti akan tindak yang salah,” kata Agus di Lapangan Bhayangkara Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (27/2/2024).
Sementara, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan konflik yang terjadi antara anggota tersebut tidak akan memengaruhi soliditas dan sinergitas TNI dan Polri.
“Kami sudah sama-sama sepakat yang melanggar kami tindak. Soliditas dan sinergitas TNI-Polri juga terus kami jaga dan tingkatkan,” katanya.
Mengapa terus berulang?
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi menyebut konflik antara anggota TNI dan Polri di Tarakan sebagai bentuk jiwa korsa yang keliru.
SETARA Institute mencatat tidak kurang dari 37 konflik dan ketegangan antara anggota TNI-Polri itu terjadi di pada 2014-2024.
“Angka ini merupakan fenomena gunung es, di mana konflik dan ketegangan yang tidak mengemuka dipastikan lebih banyak dari yang tercatat di permukaan,” kata Hendardi kepada Suara.com.
Sebagian besar konflik yang terjadi tidak berkaitan dengan tugas kemiliteran. Melainkan acap kali dilatarbelakangi persoalan sepele. Persis seperti yang terjadi di Tarakan.
Karena tidak berhubungan dengan tugas kemiliteran, menurut Hendardi tindakan-tindakan anggota TNI itu semestinya diproses dalam kerangka hukum pidana umum. Namun sayangnya, itu tidak pernah diterapkan.
“Supremasi anggota TNI yang tidak tunduk pada peradilan umum inilah yang menjadi salah satu sebab keberulangan peristiwa,” ungkapnya.
Mengapa konflik dan ketegangan antara anggota TNI-Polri itu terus terjadi, menurut Hendardi, juga tidak terlepas dari cara penyelesaiannya di tingkat elite yang acap kali sebatas simbolis. Ketika kondusivitas dan sinergitas artifisial selalu didengungkan kedua pimpinan lembaga tersebut, tanpa menyelesaikan akar persoalan yan ada.
"Termasuk abai membangun karakter dan mentalitas patriotik anggota," katanya.
Lantaran itu, Hendardi mendorong DPR untuk menjadikan persoalan ini sebagai pedoman dalam merevisi UU TNI, UU Polri, UU Kejaksaan, dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
"Jangan mencoba merekayasa pasal yang melampaui ketentuan UUD Negara RI 1945, hanya karena ingin memanjakan institusi-institusi tertentu yang justru menimbulkan kekacauan konstitusional dan instabilitas politik baru," ujarnya.
Peradilan Militer Jadi Sarana Impunitas
Sementara itu, Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra menilai tindakan kekerasan yang dilakukan anggota TNI terus berulang kali terjadi karena tidak adanya sanksi tegas terhadap pelaku.
Peristiwa penyerangan terhadap Mapolres Tarakan, menurutnya, tidak boleh dipisahkan dari peristiwa serangan dan kekerasan yang dilakukan anggota TNI terhadap masyarakat sipil yang juga banyak terjadi sebelumnya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS mengungkap, kekerasan yang dilakukan anggota TNI terhadap masyarakat di sepanjang tahun 2024 mencapai 64 peristiwa. Dari puluhan peristiwa itu mengakibatkan 75 korban luka dan 18 meninggal dunia.
Sedangkan penyerangan yang dilakukan anggota TNI terhadap markas kepolisian, kata Ardi, juga bukan kali ini saja terjadi.
Imparsial mencatat peristiwa serupa juga pernah terjadi di beberapa daerah lain; Mapolsek Ciracas, Jakarta Timur pada 2018 dan 2020 serta Mapolres Jeneponto pada 2023.
"Tindakan kekerasan seperti ini akan terus terjadi sepanjang tidak ada penghukuman yang adil dan maksimal terhadap oknum anggota TNI yang terlibat," kata Ardi kepada Suara.com.
Selama ini anggota TNI yang terlibat dalam kasus kekerasan acap kali mendapat hukuman ringan. Bahkan terkadang, menurut Ardi ada yang dibebaskan.
Penghukuman yang tidak adil itu dinilai terjadi akibat para pelaku diadili dalam peradilan militer yang sama sekali tidak memenuhi prinsip peradilan yang jujur dan adil atau fair trial.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer itu, kata Ardi, sejatinya memang didesain untuk melindungi anggota militer yang melakukan kejahatan di bawah rezim Orde Baru.
Imparsial mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi undang-undang tersebut demi memutus mata rantai impunitas anggota TNI yang terlibat tindak kejahatan.
"Catatan Imparsial selama ini Peradilan Militer cenderung menjadi sarana impunitas bagi oknum anggota TNI yang melakukan kejahatan," katanya.
TNI Angkatan Laut kembali mendapatkan tambahan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) terbarunya yang diberi nama KRI Bung Hatta-370.
TB pun menegaskan para oknum tersebut harus ditindak oleh atasannya.
Wah ini gak bener. Akan saya tindak, ucap Agus
"Wakapolres sudah menjalani patsus (penempatan khusus), jadi sudah ditahan sambil menunggu proses selanjutnya."
Namun, sejumlah pakar menilai yang terjadi justru komodifikasi kemiskinankemiskinan dijadikan komoditas atas nama pembangunan.
MK menilai Yandri dan kepala desa tersebut telah melanggar Pasal 71 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Menurut data BKSDA, setidaknya terdapat 583 kali konflik gajah dan manusia di Aceh sepanjang 2019 hingga 2023.
Kejaksaan Agung mengungkap kasus dugaan korupsi di Pertamina merugikan keuangan negara mencapai Rp 193,7 triliun
Pemangkasan anggaran ini berdampak terhadap konservasi empat satwa kunci dilindungi, yaitu gajah, badak, orang utan, dan harimau sumatera.
Tentu itu bagian dari lanjutan politik kartel di negara ini yang sudah sejak lama ditengarai akan sampai pada pembusukan yang paling dalam, kata Widyanta.
Sekarang tekanan ekonomi kita itu memang keras, banyak PHK dan pengangguran. Mungkin itu salah satu faktornya, ungkap Sunyoto.