Suara.com - Pemangkasan anggaran membuat intensitas patroli hutan berkurang. Tapi jauh sebelum itu pemerintah juga tidak dapat menghentikan laju konflik satwa di Aceh, terutama gajah.
UJANG Wisnu Barata mesti beradaptasi dengan anggaran untuk pengelolaan kawasan konservasi. Sebab, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh turut terdampak pemangkasan anggaran yang berlaku secara nasional.
“Total anggaran terpotong sekitar 20 persen,” kata Kepala BKSDA Aceh tersebut kepada Suara.com, Selasa (25/2/2025). Ia meminta total anggaran itu tidak ditulis karena disebut masih berpotensi berubah.
Dampak pemangkasan anggaran itu akan mempengaruhi patroli polisi hutan di Aceh. Namun, ia memastikan patroli tidak bakal berhenti.
“Intensitas patroli mungkin akan berpengaruh, tapi harus tetap ada,” ujarnya.
Presiden Prabowo Subianto memerintahkan kementerian dan lembaga menghemat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2025 yang ditargetkan mencapai Rp306,6 triliun. Perintah Prabowo tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025 yang diterbitkan pada 22 Januari 2025. Pemangkasan anggaran belanja negara itu terdiri atas kementerian dan lembaga Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah Rp50,5 triliun.
Kementerian Kehutanan yang membawahi BKSDA Aceh turut terkena pemotongan anggaran. Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI pada Kamis (13/2) mengatakan, pagu anggaran kementeriannya pada 2025 senilai Rp5,158 triliun. Terdiri atas belanja pegawai Rp2,25 triliun, belanja operasional barang Rp764 miliar, dan belanja nonoperasional Rp2,137 triliun.
Anggaran itu lantas dipangkas Rp1,217 triliun sesuai Instruksi Presiden. Alhasil, Kementerian Kehutanan hanya menggunakan 76,4 persen anggaran atau Rp3,941 triliun.
“Dalam kondisi keterbatasan anggaran, kami tetap berkomitmen memperkuat kebijakan strategis Kementerian Kehutanan,” kata Raja Juli Antoni.
Konflik dan Kematian Gajah Terus Terjadi
Meski anggaran berkurang, menurut Ujang, program konservasi di Aceh tidak bisa dihentikan. Sebab, di sana memiliki empat satwa kunci berstatus dilindungi, yaitu gajah, badak, orang utan, dan harimau.
Nasib satwa juga makin terancam seiring maraknya konflik dengan manusia. Dari 23 kabupaten dan kota di Aceh, 14 di antaranya tercatat terdapat konflik satwa. Konflik gajah dan manusia masih mendominasi.
Berdasarkan data BKSDA Aceh, setidaknya terdapat 583 kali konflik gajah dan manusia di Aceh selama 2019-2023. Kematian gajah juga terjadi setiap tahun di Aceh. Dalam tiga tahun terakhir setidaknya 20 gajah mati.
Teranyar, dua gajah mati pada awal 2025. Satu individu mati di Kawasan Perkebunan Panton Reu, Aceh Barat, pada 1 Januari lalu. Kaki depan sebelah kanan pincang, lalu terperosok di lokasi berlumpur. Tak ada bekas luka luar atau jerat di gajah itu.
Kematian kedua di Dusun Emplasemen, Desa Julok Rayeuk Selatan, Indra Makmur, Aceh Timur, pada 31 Januari. Tim medis BKSDA Aceh yang memeriksa bangkainya menduga kematian akibat mengonsumsi sesuatu yang mengandung racun atau sejenisnya sehingga merusak pencernaan gajah.
BKSDA Aceh memperkirakan jumlah gajah sumatra yang tersisa di hutan Aceh berkisar 600 individu. Padahal, gajah sumatra saat ini menjadi salah satu satwa lindung di Indonesia yang terancam punah.
Berdasarkan The IUCN Red List of Threatened Species atau daftar merah spesies terancam, gajah sumatra berstatus terancam kritis, berisiko tinggi untuk punah di alam liar.
Menurut Ujang, penyelesaian konflik satwa butuh kolaborasi semua pihak, terutama para mitra.
“Bagaimana mengoptimalkan dukungan anggaran non-APBN dari program-program mitra. Itu kan tidak terpengaruh efisiensi,” imbuhnya.
Dalam penanganan konflik satwa, Ujang menyebut bakal berat jika semua ditimpakan ke BKSDA. Namun, ia memastikan kendalanya bukan saja anggaran, melainkan kesadaran masyarakat dan tata ruang.
“Bagaimana konfliknya mau berhenti kalau jalur jelajah satwa justru ditanami komoditas yang mereka sukai. Pasti akan selalu berkonflik,” kata Ujang.
“Banyak pola ruang bersinggungan antara kepentingan satwa untuk hidup dan kepentingan masyarakat untuk memenuhi kehidupannya.”
Dalam beberapa kasus, BKSDA Aceh hanya bisa memberikan pandangan teknis. Tapi eksekutornya berada di tangan stake holder lain. Misalnya, kawasan jalur gajah diminta agar tidak ditanami sawit atau jagung, tapi kebijakannya ada di instansi lain.
Masalah lain, kata Ujang, tambang ilegal dalam kawasan hutan lindung yang menjadi habitat satwa.
“Kalau ini tidak diselesaikan, konflik satwa akan terus terjadi,” katanya.
Ujang menjelaskan, penyelesaian akar masalah penyebab konflik satwa di Aceh menjadi penting dan butuh kerja sama banyak pihak, terlebih saat efisiensi anggaran.
“Bagaimana kemudian kita lebih fokus ke penyelesaian permasalahan pokoknya supaya anggaran efektif bisa digunakan,” ujarnya.
Sejak akhir 2023, BKSDA Aceh menonaktifkan sebagian besar Conservation Response Unit (CRU) yang selama ini menempatkan gajah jinak untuk menanggulangi konflik satwa. Ujang menyebut langkah ini diambil jauh sebelum efisiensi anggaran.
Dari tujuh CRU, saat ini yang masih aktif hanya di Trumon, Aceh Selatan dan DAS Peusangan di Bener Meriah.
"Yang lain, gajahnya sudah kami tarik ke Pusat Latihan Gajah (PLG di Saree) supaya lebih terpantau dan efisien dalam operasionalnya," kata Ujang.
Penutupan itu dilakukan setelah Dinas Kehutanan Aceh menghentikan kontrak personel yang bertugas di CRU. Menurut Ujang, BKSDA Aceh tidak mampu menutupi biaya operasional CRU jika pembayaran petugasnya juga dibebankan ke lembaganya.
Sejak tahun lalu, BKSDA Aceh juga membangun kebun pakan sendiri di PLG Saree untuk mengurangi ketergantungan pada pembelian pakan gajah yang dinilai kurang efisien. Hanya gajah tertentu yang memerlukan tambahan suplemen vitamin, itu pun kerja sama Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala dalam perawatannya.
“Tidak perlu terlalu banyak beli pakan gajah karena itu inefisiensi,” katanya.
Semakin Buruk
Kepala Divisi Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh Afifuddin menuturkan kehidupan satwa di Aceh terancam karena habitatnya terus diganggu. Misalnya, perusahaan sawit yang 'ugal-ugalan' memperluas areanya, tambang ilegal, dan penebangan liar tidak terkendali.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa tahun terakhir mencatat deforestasi di Aceh dalam dan luar kawasan hutan mengalami naik turun. Pada periode 2017-2018, deforestasi tercatat sebesar 7.502,2 hektare.
Angka ini meningkat pada periode 2018-2019, mencapai 11.608 hektare. Namun, pada periode berikutnya, 2019-2020, terjadi penurunan menjadi 1.917,9 hektare. Tren penurunan ini berlanjut pada periode 2020-2021, dengan angka deforestasi sebesar 2.998,8 hektare. Namun, pada periode 2021-2022, angka deforestasi kembali meningkat menjadi 5.367,1 hektare.
Afifuddin menilai tanpa pemangkasan anggaran, BKSDA Aceh selama ini juga terkesan tidak melakukan apa pun dalam menyelesaikan konflik satwa di Aceh. Ia menyebut respons mereka ibarat pemadam kebakaran.
“Kalau ada konflik satwa, mereka datang. Kalau ada gajah yang mati, mereka datang. Seperti tidak ada proses penanggulangan secara terintegrasi. Itu bahkan jauh sebelum pemangkasan anggaran,” katanya kepada Suara.com, Rabu (26/2/2025).
Penyelesaian itu juga menimbulkan disparitas dalam penanganan konflik antara kematian gajah dan timbulnya korban jiwa warga. Saat satwa mati, kata Afifuddin, BKSDA datang dengan cepat untuk otopsi dan lainnya.
“Tapi ketika ada masyarakat yang menjadi korban, bahkan yang meninggal, tidak ada respons yang cepat. Ini juga menjadi persoalan,” kata Afifuddin.
__________________________________
Kontributor Aceh: Habil Razali
"Dengan anggaran Rp46 miliar, anggaran perjalanan dinas luar negeri pimpinan dan anggota dewan, kita potong setengahnya..."
Retreat ini memberikan beban tersendiri bagi kepala daerah, mereka harus mengeluarkan ongkos untuk perjalanan, dan itu tentu berlawan dengan Inpres 1/2025, kata Herman.
Mengintip kekayaan Mualem, Gubernur Aceh berdasarkan LHKPN yang dilaporkan ke KPK.
Agus menyampaikan bahwa di banyak negara memang ada pejabat yang juga merangkap sebagai komisaris, tetapi tidak mendapatkan tunjangan tambahan.
Tentu itu bagian dari lanjutan politik kartel di negara ini yang sudah sejak lama ditengarai akan sampai pada pembusukan yang paling dalam, kata Widyanta.
Sekarang tekanan ekonomi kita itu memang keras, banyak PHK dan pengangguran. Mungkin itu salah satu faktornya, ungkap Sunyoto.
Sejumlah pihak menilai surat itu sebagai bentuk perlawanan politik.
Meminta seniman untuk menjadi duta Polri adalah hal yang tidak perlu, dan bentuk pendisiplinan halus ala Orde Baru, kata Ratri.
Dana Desa yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pembangunan, justru sering menjadi sasaran empuk korupsi. Mengapa hal ini terus terjadi?
Hingga akhir upacara pembukaan retreat, terdata ada 503 kepala daerah yang seharusnya menghadiri acara hanya 450 orang yang hadir.
Apakah Marvel berhasil menciptakan "Brave New World" yang benar-benar brave?