Omon-Omon Generasi Emas, Anak Muda Terancam Sulit Kuliah Jika UKT Naik
Home > Detail

Omon-Omon Generasi Emas, Anak Muda Terancam Sulit Kuliah Jika UKT Naik

Erick Tanjung

Selasa, 18 Februari 2025 | 08:59 WIB

Suara.com - Uang kuliah tunggal berpotensi naik imbas pemangkasan anggaran. Pemerintah dinilai tak memiliki keberpihakan kepada pendidikan tinggi. Imbasnya, generasi emas omon-omon semata.

SATRYO Soemantri Brodjonegoro melempar sinyal itu di depan anggota parlemen. Dalam rapat kerja Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Rabu, 12 Februari 2025, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi itu mengemukakan potensi kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) perguruan tinggi.

Satryo semula menjelaskan program Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) terkena pemangkasan anggaran. Pagu awal Rp6,018 triliun terdampak efisiensi Rp3 triliun.

"Karena kalau BOPTN ini dipotong separuh, maka ada kemungkinan perguruan tinggi harus menaikkan uang kuliah," kata Satryo.

Selain itu, bantuan ke perguruan tinggi swasta juga dipangkas 50 persen. Semula dianggarkan Rp365,3 miliar. Program Bantuan Pendanaan Perguruan Tinggi Badan Hukum yang memiliki pagu awal Rp2,37 triliun juga ikut dipotong 50 persen.

Satryo sudah mencoba mengakali berbagai pemangkasan ini agar tidak terlalu berdampak ke publik.

“Ini kami mencoba untuk mengurangi potongan tersebut sehingga kami usulkan efisiensi yang dilakukan semula Rp1,185 triliun menjadi Rp711,081 miliar, 30 persen dari 50 persen yang semula. Kami ikuti potongan meski tidak sebesar yang mereka lakukan, kalau besar potongannya, PTN BH terpaksa naikkan sebagian uang mahasiswa," katanya.

Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Eduart Wolok mengakui UKT kemungkinan naik bila biaya operasional dari Kemendikti Saintek ikut dipangkas.

"Ketika perguruan tinggi berusaha untuk menutupi dana yang dipotong tadi, paling rasional yaitu UKT yang berisiko untuk naik memang. Kenapa UKT? Karena memang tidak semua perguruan tinggi mempunyai kapasitas untuk mengoptimalkan pendanaan di luar UKT,” kata Eduart Wolok.

Sejumlah mahasiswa UAJY memanfaatkan fasilitas kampus untuk mengerjakan tugas dan berdiskusi [Suara.com]
Sejumlah mahasiswa UAJY memanfaatkan fasilitas kampus untuk mengerjakan tugas dan berdiskusi [Suara.com]

Menurut Eduart, belum banyak PTN yang bisa mendapatkan pendapatan tambahan di luar bantuan dari kementerian. Sehingga juga harus mengandalkan biaya UKT yang dibayarkan mahasiswanya. Menurutnya, tidak semua perguruan tinggi yang sudah relatif maju dan bisa bekerja sama dengan industri untuk punya pendapatan tambahan.

"Jadi ketika dilakukan pemotongan pasti akan sangat terasa imbasnya buat PTN," katanya.

Kenaikan UKT Persempit Anak Muda Kuliah

Pendiri Social Movement Institute (SMI) Eko Prasetyo keberatan atas rencana kenaikan UKT karena akan semakin mempersempit partisipasi anak muda untuk menempuh pendidikan tinggi. “Mestinya negara tidak memotong subsidi untuk pendidikan,” katanya saat dihubungi Suara.com, Jumat (14/2).

Menurutnya, menaikkan biaya pendidikan di tengah situasi ekonomi yang berat saat ini akan membuat anak muda kehilangan kesempatan untuk duduk di perguruan tinggi. Situasi itu disebut akan semakin membuat kemunduran kualitas sumber daya manusia sehingga makin merosot.

“Tentu kampus akan melakukan penghematan, salah satunya adalah menunda proyek infrastruktur kampus serta yang paling bahaya adalah menurunnya kualitas pembelajaran. Karena dengan pemotongan anggaran maka dana riset hingga beasiswa juga menurun,” ujar Eko.

Yang terancam, kata dia, adalah kegiatan akademik akan semakin memudar karena riset minim. Alhasil, bakal minim inovasi. “Kampus akan makin kehilangan kemampuan memenuhi Tri Dharma-nya,” tuturnya.

Eko menawarkan solusi bagi kampus untuk mencari kerja sama dengan lembaga terkait. Misalnya, perusahaan dalam penemuan teknologi atau penelitian. Namun, kampus di Indonesia dinilai masih mengandalkan pendanaan mayoritas dari mahasiswa dan bantuan pemerintah.

Ia melihat kampus masih kurang terlatih mengembangkan kolaborasi dengan institusi lain yang kepentingannya sejalan dengan kampus.

Alternatif lain, kata Eko, model pembiayaan kuliah yang tidak membebani mahasiswa adalah memberikan subsidi pada yang tidak mampu oleh yang mampu. Model subsidi silang itu harus diperluas terutama di kampus negeri. Sedangkan kampus swasta mulai melakukan efisiensi terutama dalam pengembangan fisik bangunan kampus serta menggalang dana publik untuk membiayai kampus.

“Dana publik bisa menjadi sumber pendanaan sebagaimana kampus-kampus luar. Negara, misalnya, mewajibkan CSR BUMN atau perusahaan untuk kampus di sekitarnya. Pokoknya tidak membebani mahasiswa,” kata Eko.

Jika kenaikan UKT akan terjadi, Eko cemas karena menilai berdampak terhadap makin menurun kualitas sumber daya manusianya. Selain itu, semakin sulit bagi kampus untuk memiliki tanggung jawab sosial dan kemanusiaan. Bahkan, kampus akan semakin seperti 'menara gading' yang tidak setiap anak muda bisa menikmatinya.

“Kampus kita juga akan semakin jauh tertinggal dengan kampus luar negeri atau bahkan negara tetangga mengingat negara tidak memberi anggaran yang cukup. Yang mengancam kampus kemudian jadi melemah kekuatan oposisinya karena dengan anggaran yang dibatasi kampus ditundukkan oleh negara,” jelas Eko.

Anggaran Pendidikan Tak Bisa Ditawar-tawar

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Satria Unggul Wicaksana Prakasa secara tegas menolak rencana kenaikan UKT karena pemangkasan anggaran. Menurutnya, ia berpegang pada nilai konstitusional bahwa pendidikan adalah hak dasar yang dijamin Undang-Undang Dasar dengan alokasi anggaran minimal 20 persen dalam APBN.

“Ini yang sebenarnya siapa pun rezim pemerintahnya, dia sebenarnya harus patuh. Hak atas pendidikan itu adalah bagian dari peta jalan negara kita untuk maju ke depan,” kata Satria kepada Suara.com, Jumat (14/2).

“Sektor pendidikan ini sektor yang tidak bisa ditawar-tawar.”

Namun, yang terjadi, pemangkasan anggaran untuk Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) membuktikan bahwa pemerintah menjadikan hak pendidikan sebagai kebutuhan tersier.

“Kebutuhan prioritas itu MBG (Makan Bergizi Gratis), lalu kalau tidak salah, pengelolaan sumber daya alam dan lain sebagainya. Kebutuhan pendukung itu pendidikan dan kesehatan,” kata Satria.

“Ini sebenarnya sangat memprihatinkan, karena pendidikan tidak lagi diletakkan sebagai prioritas.”

Aksi ratusan mahasiswa di Kantor DPRD Provinsi Bali, Senin (17/2/2025) (suara.com/Putu Yonata Udawananda)
Aksi ratusan mahasiswa di Kantor DPRD Provinsi Bali, Senin (17/2/2025) (Suara.com/Putu Yonata Udawananda)

Menurut Satria, pemerintah justru lebih memprioritaskan sektor lain, sementara anggaran Kemendikti Saintek dialihkan untuk membangun SMA unggulan daripada memberikan stimulus bantuan pendidikan seperti KIP. Selain itu, kesejahteraan dosen tidak menjadi prioritas dalam kebijakan anggaran saat ini.

“Kesejahteraan dosen justru tidak menjadi prioritas,” ujar Satria.

‘Omon-Omon’ Generasi Emas Tanpa Pendidikan Tinggi

Terkait pemotongan anggaran, Satria menilai itu suatu yang berat karena menyasar hak-hak dasar, seperti pendidikan. Ia membandingkan kebijakan negara lain melakukan efisiensi dengan memangkas struktur pemerintahan. Sedangkan di Indonesia justru mengorbankan yang penting.

“Tapi di sisi lain justru alasan efisiensi itu enggak berlaku bagi sektor-sektor seperti ketahanan, mengangkat stafsus, dan lain sebagainya. Itu anomali bagi kami,” kata Satria.

Satria juga menyebut UKT merupakan hak konstitusional yang seharusnya ditanggung oleh negara. Ia menilai liberalisasi pendidikan tinggi menjadi masalah yang menghambat akses pendidikan.

“Syukur-syukur sebenarnya UKT ini sampai ditingkatkan menjadi biaya gratis. Kenapa saya menyampaikan begini, karena kita juga tergabung bersama kawan-kawan Koalisi Aliansi Pendidikan Gratis,” jelasnya.

Menurutnya, kebijakan pemerintah saat ini kurang keberpihakan terhadap masa depan pendidikan tinggi. Ia menilai pemerintah tidak serius dalam merancang kebijakan pendidikan tinggi.

“Beda menteri beda kebijakan, jadi satu bukti bahwa arah kebijakan pendidikan tinggi kita tidak pernah digarap serius,” katanya.

Lantas apa dampaknya tanpa peta jalan yang jelas bagi pendidikan tinggi di Indonesia?

“Ya, tidak akan ada generasi emas kalau hak atau akses pendidikan itu tidak diberikan. Itu ilusi. Bahasa Presiden itu omon-omon,” tutur Satria.

Skeptisisme generasi muda terhadap masa depan pendidikan di Indonesia terlihat dengan munculnya tagar “keluar aja dulu”.

“Karena mereka nggak jelas kalau mau di Indonesia seperti apa, biaya pendidikan semakin tinggi, dan belum tentu menjamin kesejahteraan mereka setelah lulus.”

Dalih Kampus Kelola Tambang?

Lantas, kalau pemangkasan anggaran bakal menjadi dalih kampus mengelola tambang supaya UKT tidak naik?

Satria menegaskan kampus didesain untuk menjalankan tridharma perguruan tinggi, bukan untuk bisnis tambang. “Sehingga secara business process memang nggak cocok untuk mengelola tambang,” ujarnya.

Kampus seharusnya mengembangkan komersialisasi hasil riset atau bisnis berisiko rendah seperti pengelolaan hotel, wisata, atau percetakan buku. Menurutnya, pengelolaan tambang memiliki risiko tinggi secara ekologi, sosial, dan finansial sehingga bukan solusi bagi pendidikan tinggi.

“Menurut kami di KIKA, itu jelas. (Kampus kelola tambang) bukan solusi perbaikan pendidikan tinggi kita,” kata Satria.

Satria juga mengkritik pihak kampus yang menerima pengelolaan tambang dengan berbagai alasan, termasuk pemotongan anggaran dan rencana kenaikan UKT. “Walaupun nggak ada kenaikan UKT pun mereka sebenarnya menerima,” katanya.

Ia menyebut beberapa rektor menolak ide mengelola tambang karena lebih banyak rugi daripada untung.

Hal senada juga disampaikan Eko Prasetyo. Ia khawatir dalih pemangkasan anggaran dan rencana kenaikan UKT membuat kampus berhubungan dengan oligarki tambang.

“Tapi kita tahu ini malah bisa membebani kampus dalam menyiapkan kuliah hari ini. Tambang bisa menjadi bahaya bagi kampus,” kata Eko.

_________________________________

Kontributor Aceh: Habil Razali


Terkait

#IndonesiaGelap: Ketika Pendidikan Tak Lagi Jadi Prioritas
Rabu, 19 Februari 2025 | 11:07 WIB

#IndonesiaGelap: Ketika Pendidikan Tak Lagi Jadi Prioritas

Tagar #IndonesiaGelap bukan sekadar keluhan, tapi alarm bagi dunia pendidikan. Biaya kuliah melambung, akses makin sempit, kesenjangan sosial melebar

Mendiktisaintek Tegaskan Efisiensi Anggaran Tak Ganggu KIP Kuliah, UKT Dipastikan Tidak Naik
Rabu, 19 Februari 2025 | 10:11 WIB

Mendiktisaintek Tegaskan Efisiensi Anggaran Tak Ganggu KIP Kuliah, UKT Dipastikan Tidak Naik

"Pendidikan adalah hak semua warga negara, tidak ada pemotongan alokasi anggaran pendidikan tinggi untuk beasiswa dan Kartu Indonesia Pintar Kuliah,"

Apakah Cuti Kuliah Tetap Bayar UKT? Begini Peraturan dan Ketentuannya
Sabtu, 01 Februari 2025 | 17:32 WIB

Apakah Cuti Kuliah Tetap Bayar UKT? Begini Peraturan dan Ketentuannya

Mengambil cuti kuliah menjadi pilihan yang dilakukan oleh sebagian mahasiswa dengan berbagai alasan yang berbeda. Pertanyaannya, apakah cuti kuliah tetap bayar UKT?

Terbaru
Menanti Babak Baru! Bongkar Sindikat Pemalsuan 260 Sertifikat di Pagar Laut Tangerang
polemik

Menanti Babak Baru! Bongkar Sindikat Pemalsuan 260 Sertifikat di Pagar Laut Tangerang

Kamis, 20 Februari 2025 | 08:15 WIB

Terbitnya sertifikat itu artinya ada manipulasi besar-besaran dan sudah sewajarnya oknum-oknum BPN ditersangkakan, kata Fickar.

Merekrut Santri Jadi Polisi, Mampukah Poles Citra Institusi Polri? polemik

Merekrut Santri Jadi Polisi, Mampukah Poles Citra Institusi Polri?

Rabu, 19 Februari 2025 | 19:00 WIB

Menurutnya, santri memiliki pendidikan keimanan yang kuat. Dengan itu, mereka dianggap lebih tahan terhadap godaan.

Ironi Retreat Kepala Daerah: Minim Manfaat di Tengah Efisiensi Anggaran polemik

Ironi Retreat Kepala Daerah: Minim Manfaat di Tengah Efisiensi Anggaran

Rabu, 19 Februari 2025 | 15:15 WIB

Retreat ini memberikan beban tersendiri bagi kepala daerah, mereka harus mengeluarkan ongkos untuk perjalanan, dan itu tentu berlawan dengan Inpres 1/2025, kata Herman.

Di Balik Penolakan Makan Gratis di Papua: Ketimpangan Pendidikan dan Trauma Konflik polemik

Di Balik Penolakan Makan Gratis di Papua: Ketimpangan Pendidikan dan Trauma Konflik

Rabu, 19 Februari 2025 | 13:37 WIB

Kami menilai bahwa program MBG bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah pendidikan di Tanah Papua, kata Ubaid.

Di Balik Tuntutan THR: Mengapa Hubungan Kemitraan Pengemudi Ojol Bermasalah? polemik

Di Balik Tuntutan THR: Mengapa Hubungan Kemitraan Pengemudi Ojol Bermasalah?

Rabu, 19 Februari 2025 | 08:16 WIB

Menteri Ketenagakerjaan mengklaim "sudah ada titik terang." Namun, bagi para pengemudi, kepastian itu masih samar.

Menakar Peluang Gibran di 2029 dan Mimpi Koalisi Permanen Prabowo polemik

Menakar Peluang Gibran di 2029 dan Mimpi Koalisi Permanen Prabowo

Selasa, 18 Februari 2025 | 19:05 WIB

Politik di Indonesia umumnya hanya berkutat soal kepentingan yang didapat dari kekuasaan, sehingga keberadaan koalisi permanen Prabowo itu kecil kemungkinan terjadi.

Hotel Merugi Rp24,5 Triliun, Efisiensi Anggaran Prabowo Ancam PHK Massal? polemik

Hotel Merugi Rp24,5 Triliun, Efisiensi Anggaran Prabowo Ancam PHK Massal?

Selasa, 18 Februari 2025 | 16:03 WIB

industri perhotelan berpotensi mengalami kerugian Rp24,5 triliun, imbas dari pemangkasan anggaran pemerintah.