Suara.com - Suara.com - Sanksi yang dijatuhkan Mahkamah Agung kepada Razman Arif Nasution dan M Firdaus Oiwobo berupa pembekuan hak beracara sebagai advokat di pengadilan dinilai masih kurang. Keduanya dinilai pantas untuk mendapatkan hukuman pidana, karena dianggap telah menodai marwah peradilan.
Di tengah kontroversi keduanya, mengindikasikan lemahnya pengawasan terhadap profesionalisme advokat di Indonesia. Lantas apakah penerapan single bar menjadi jawaban? Atau pembentukan dewan pengawas bagi advokat?
Pakar hukum pidana Universitas Brawijaya, Aan Eko menyebut selain dibekukan haknya untuk beracara, keduanya juga layak untuk dipidanakan. Sebab, perilaku mereka tidak dapat ditoleransi. Perbuatan keduanya telah masuk kategori contempt of court atau perilaku yang merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan yang dapat mengurangi kemandirian kekuasaan kehakiman.
"Kalau hanya memberikan pelarangan, ya, itu sebenarnya efek jera dari perilaku keduanya masih belum bisa betul-betul dijadikan pelajaran bagi para advokat yang lain untuk tidak mengulangi hal yang sama," kata Aan kepada Suara.com, Jumat (14/2/2025).
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar turut mengungkapkan yang sama. Selain merendahkan pengadilan, Razman dan Firdaus juga dinilai merendahkan dirinya sebagai advokat yang harusnya menjaga etikanya.
Perilaku Firdaus yang menaiki meja di tengah sidang, tidak dapat dimaafkan. Kata Fichar, dalam konteks sederhana seperti di warung kopi, jika seseorang tiba-tiba menaiki meja dipastikannya akan memicu kemarahan pengunjung lain. Terlebih yang terjadi di ruang pengadilan dan saat persidangan masih berlangsung.
"Artinya itu sudah sangat ekstrem tindakannya. Sangat bodoh, sangat tidak punya perilaku," tegas Fichar kepada Suara.com.
Apakah Single Bar jadi Jawaban?
Perilaku Razman dan Firdaus yang dinilai tidak mencerminkan profesionalisme sebagai pengacara menimbulkan pertanyaan, bagaimana pengawasan organisasi advokat yang menaungi keduanya? Aan menyebut perhimpunan advokat sudah seharusnya memiliki peraturan yang mengikat, guna memastikan pengacara mempunyai sikap yang menjunjung tinggi marwah peradilan.
Perhimpunan advokat memiliki tanggungjawab menjaga perilaku advokat yang dinaunginya. Perhimpunan tidak bisa begitu saja bergantung pada pengawasan eksternal seperti masyarakat dan aparat penegak hukum.
"Sehingga sebenarnya adanya perhimpunan advokat, itu adalah bentuk otonomi dari para advokat untuk mengatur dirinya sendiri, self-organization regulation, itu seharusnya ada di profesi advokat ini. Nah, itulah gunanya," jelas Aan.
Pertanyaan selanjutnya di tengah kontroversi Razman dan Firdaus, apakah penerapan single bar menjadi jawaban untuk melahirkan advokat yang benar-benar berkualitas? Aan menjawab tidak.
Single bar merujuk pada hanya satu wadah advokat yang diberikan wewenang oleh undang-undang. Artinya, dalam satu negara hanya terdapat satu organisasi advokat.
Tujuannya guna menjamin kualitas dan profesionalisme advokat. Dengan bernaung hanya pada satu wadah, seluruh advokat terikat pada kode etik dan standar profesi yang sama. Hal itu juga bertujuan memudahkan pengawasan bagi para advokat karena berada di satu badan yang memiliki otoritas yang jelas.
Aan menjelaskan, single bar ataupun multi bar, tidak menjadi jaminan. Terpentingnya, katanya bagaimana suatu profesi bisa menjaga etikanya di persidangan.
"Kalau single bar juga tidak bisa menjaga harkat dan martabat dari para anggotanya, akibat pelanggaran etik, ya sama saja. Akibatnya juga akan terjadi pelanggaran etik. Demikian pula dengan multi bar," jelasnya.
Selain itu, upaya penegakan hukum. Penegakan hukum peranan penting. Penegakannya bisa berasal dari eksternal organisasi advokat, seperti hakim, dan penegakan hukum di internal dari organisasi yang menaungi.
Sementara Fichar menyebut penerapan single bar di Indonesia adalah sebuah mimpi. Sebab, katanya, perhimpunan advokat memiliki ego masing-masing.
Berdasarkan catatan Mahkamah Konstitusi hingga Juli 2021, Undang-Undang Nomor 18 tahun tahun 2003 tentang Advokat setidaknya sudah 22 kali diuji atau judicial review. Beberapa di antaranya terkait penerapan single bar.
Oleh karenanya, alih menginginkan penerapan single bar, yang lebih memungkinkan dilakukan adalah membentuk dewan pengawas advokat. Sebab selama ini, tidak terdapat suatu badan atau lembaga yang spesifik mengawasi profesionalisme advokat.
Pembentukan dewan pengawas itu, katanya, dapat diinisiasi oleh Mahkamah Agung. Susunan para dewan pengawas tidak hanya dari advokat, melainkan dari beragam kalangan seperti hakim, masyarakat sipil, dan perwakilan dari pemerintah.
"Tapi itu juga kan, harus ada dasar hukumnya. Artinya undang-undang advokat itu harus direvisi, dengan memasukkan poin itu (pembentukan dewan pengawas advokat)," kata Fichar.
Tamat Sudah Karier Razman-Firdaus
Dicabutnya hak beracara Razman dan Firdaus disampaikan Juru Bicara Mahkamah Agung, Yanto pada konferensi pers yang digelar di Gedung MA, Jakarta, Kamis (13/2/2025).
"Dengan dibekukannya berita acara sumpah advokat atas nama Razman Arif Nasution dan saudara M Firdaus Oiwobo maka yang bersangkutan tidak dapat menjalankan praktik di pengadilan," kata Yanto.
Putusan itu diambil Mahkamah Agung, demi menjaga wibawa pengadilan dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 18 tahun tahun 2003 tentang Advokat.
Tamatnya karier Razman dan Firdaus sebagai pengacara berawal dari persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Razman duduk sebagai terdakwa. Sementara Firdaus sebagai advokat Razman.
Saat persidangan, Razman sempat berdebat dengan jaksa penuntut umum terkait teknis pelaksanaan sidang. Di luar dugaan Firdaus, tiba-tiba naik ke meja.
Berapa biaya urus sumpah advokat yang kini dicabut dari Razman Arif Nasution dan Firdaus Oiwobo?
Firdaus Oiwobo dan Razman Nasution dikenal suka ngamuk-ngamuk oleh advokat senior Hendarsam Marantoko.
Razman Arif Nasution ngotot tetap jalankan profesinya sebagai pengacara meskipun berita acara sumpah advokatnya sudah dibekukan.
Melihat seterunya berpotensi kehilangan pekerjaan, Nikita Mirzani girang bukan kepalang.
Berarti memang tingkat legitimasi atau dukungan dari masyarakat itu masih kepada tokoh eks-GAM, kata Kemal.
Jika tujuan kebijakan tersebut agar solar subsidi tepat sasaran, maka yang perlu dilakukan adalah merevisi Peraturan Presiden atau Perpres Nomor 191 Tahun 2014.
Para pengusaha mulai resah. Mereka khawatir kebijakan ini memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kemenhan meski membutuhkan seorang influencer (Deddy Corbuzier) semestinya tak perlu diangkat menjadi staf khusus menteri.
Harapan saya, DPR RI, Presiden tolong ambil kebijakan yang bisa menguntungkan orang banyak, ujar kontributor TVRI.
Peningkatan skor tersebut menempatkan posisi Indonesia pada rangking ke-99 dari 180 negara yang diukur.
Sulitnya mencari pekerjaan, rendahnya upah, dan ketimpangan sosial menjadi pemicu utama.