Suara.com - Pernah membayangkan keset dipakai di kepala?
Ya, karung goni yang biasa dijadikan keset atau pengesat kaki sebelum masuk rumah ternyata bisa dijadikan topi, tas, dan barang bernilai tinggi lainnya.
Hal itulah yang dilirik Andreas Bimo Wijoseno, mantan karyawan swasta yang sukses banting setir menjadi pengrajin karung goni.
Di tangannya, karung goni bekas diubah menjadi karya seni dan barang multifungsi.
“Gaya hidup memanfaatkan barang yang sudah tidak terpakai, jangan langsung buang,” kata Bimo kepada Suara.com.
“Seperti memakai barang antik, unik, mungkin terlihat sederhana, tapi bisa keren juga. Kelihatan kere tapi bangga,” lanjutnya mantap.
Uniknya pelanggan Gunagoni ada yang dari kalangan elite, termasuk para pejabat.
Di daerah Jawa, khususnya Yogyakarta, terdapat istilah Sumaker Sultan/Sugih Macak Kere. ‘Sultan’ atau ‘Sugih’ artinya orang kaya. Sementara Macak Kere bermakna bergaya miskin.
Menurut Bimo, pelanggan Gunagoni yang dari Kaum Sumaker ini ingin terlihat unik dan beda.
“Kalau tas-tas Paris-Parisan sudah biasa, mereka ingin tampil beda,” kata Bimo.
Lebih lanjut, pria yang pernah menjadi jurnalis di Ibukota ini menceritakan momen ketika tas Gunagoni diborong ibu-ibu pejabat.
“Jadi ada pelanggan yang punya tas-tas khas mode fashion Paris, pas kumpul sosialita dia pakai tas Gunagoni, akhirnya teman-teman sosialitanya borong Gunagoni,” kata Bimo.
“Dari situ teman-teman ibu pejabat tertarik dan akhirnya memborong tas Gunagoni,” sambungnya.
Kaum Sumaker tersebut mengaku sudah bosan dengan barang-barang mewah dan bermerek dari luar negeri.
“Dia bilang, ‘Sudah biasa mas tas-tas yang mahal’,” katanya.
“Aku sudah bosan pakai yang bermerek,” lanjut Bimo menirukan perkataan pelanggannya.
Bagi Bimo, Gunagoni dibeli pejabat ini cuma bonus.
“Yang penting tetap berkarya dan menjaga eksistensi,” katanya.
Pria yang hobi bermain musik ini enggan menuruti permintaan pelanggannya yang ingin tas Gunagoni dibuat mirip dengan tas mode dari mancanegara yang sudah populer.
“Aku nggak mau, karena nanti bisa kehilangan cirinya, nanti Gunagoni jadi ke-Dior-Dioran, aku nggak mau,” ujarnya.
Produk Gunagoni saat ini sudah bisa dijumpai di 10 tempat atau artshop di Indonesia.
“Aku membuat produk Gunagoni sesuai keinginanku saja, jadi nggak menerima pesanan, paling kalau di artshop sudah habis tinggal bilang saja,” kata Bimo.
Bimo tak menampik bahwa produk Gunagoni banyak diminati turis domestik dan mancanegara, tapi ia tak mau serakah.
“Meski banyak yang mau produk Gunagoni tapi aku nggak mau serakah, karena kalau menuruti permintaan pasar tidak ada habisnya, dan bisa capek sendiri,” ujar Bimo.
“Bukan nggak ingin uang, tapi pilihan saja,” pungkasnya.
Psikoedukasi seksual dan membuat mainan dari alam bersama teman tumbuh
Nia Ramadhani mengatakan orang-orang tidak harus memakai barang mahal. Meski begitu, ia memiliki sederet tas mewah dengan harga fantastis.
Selvi Ananda memadukan handbag hitamnya dengan kemeja lengan pendek dan rok panjang berwarna senada.
Ciam Si dijalankan sebagai cara untuk berkomunikasi dengan alam semesta, bukan hanya ramalan, tetapi juga panduan hidup yang bijaksana.
Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah berhasil meraih 420 ribu penonton meski berhadapan dengan film The Conjuring.
Catatan tiga hari Pestapora 2025, pesta musik lintas generasi.
Plot yang lemah, jumpscare yang klise, serta kurangnya ide segar membuat film terasa datar.
Film ini justru hadir dengan nuansa kelam, penuh darah, dan sarat pertarungan.
Affa Kurniawan, driver ojol yang baru berusia 21 tahun tewas dilindas rantis Brimob Polda Jaya yang menghalau demonstran, Kamis (28/8) malam. Semua bermula dari arogansi DPR.
Film Tinggal Meninggal lebih banyak mengajak penonton merenungi hidup ketimbang tertawa?
Di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, jurnalis masih menghadapi intimidasi, teror, hingga kekerasan.