Suara.com - Entah berapa kali saya menguap dan nyaris tertidur selama nonton "Dark Nuns". Bahkan, saya mulai curiga kalau film ini punya kekuatan supernatural tersendiri, bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menghipnotis penonton ke dalam tidur lelap.
Sebagai spin-off dari "The Priests", "Dark Nuns" datang dengan ekspektasi tinggi. Namun, alih-alih menyajikan ketegangan yang menggigit, film ini lebih cocok menjadi terapi insomnia.
Berbekal alur yang lambat serta eksekusi sinematik yang entah ingin serius atau malah bercanda, "Dark Nuns" sepertinya hanya akan meninggalkan satu kesan: boring.
Plot yang Ambisius, tapi Seperti Nasi Tanpa Lauk
Film ini berkisah tentang Hee Joon (Moon Woo Jin), bocah yang dirasuki roh jahat. Suster Yunia (Song Hye Kyo) berusaha menyelamatkannya, dibantu oleh Suster Michaela (Jeon Yeo Been) yang tampaknya lebih penasaran daripada takut.
"Dark Nuns" menyelipkan unsur "patriarki" dengan membuat Suster Yunia diremehkan oleh pastor lain, serta kesulitan mendapat izin untuk melakukan ritual pengusiran setan.
Upaya Suster Yunia sempat dihalangi Pastor Paul (Lee Jin Wook) yang mencoba bersikap logis dengan pendekatan medis. Suster yang hobi merokok dan memaki orang ini bahkan harus meminta bantuan dari dukun.
Premisnya memang terdengar menjanjikan, tapi eksekusinya seperti sup tanpa garam, kurang bumbu dan gagal mengundang selera.
Film ini mencoba menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar film eksorsisme biasa, sayangnya dia malah seperti seseorang yang ingin tampak pintar dengan mengoceh panjang lebar, tapi akhirnya tak ada yang benar-benar paham maksudnya.
Horor atau Drama? Film Ini Tak Bisa Memilih
Sebagai film horor, "Dark Nuns" justru lebih banyak berbicara daripada bertindak. Roh jahat dalam film ini lebih gemar berdebat dan berorasi daripada menciptakan ancaman nyata.
Bayangkan setan yang lebih banyak ngoceh daripada menakut-nakuti, mungkin lebih cocok jadi moderator acara debat ketimbang entitas supranatural. Bikin merinding saja gagal total.
Alih-alih membangun atmosfer yang mencekam, film ini malah menghadirkan adegan pengusiran setan yang lebih menyerupai kelas debat teologi yang repetitif.
Klimaksnya? Roh jahat berteriak penuh dendam, Suster Yunia membalas dengan ayat-ayat, dan saya hanya bisa menguap sambil bertanya-tanya, kapan ini semua akan berakhir?
Digendong Song Hye Kyo dan Jeon Yeo Been
Jika ada sesuatu yang bisa diselamatkan dari film ini, mungkin hanya akting para pemerannya. Song Hye Kyo tampil solid sebagai Suster Yunia, mencoba memberikan kedalaman emosional di tengah naskah yang tak membantunya sama sekali.
Adegan Suster Yunia merokok viral dan dipuji habis-habisan. Tak sia-sia sang aktris belajar merokok selama berbulan-bulan.
Jeon Yeo Been juga cukup meyakinkan sebagai Suster Michaela, meski karakternya seperti hanya ada di sana untuk mengisi layar. Padahal build up karakternya cukup menarik.
Satu lagi yang pantas diapresiasi, akting Moon Woo Jin sebagai bocah kesurupan tampak begitu meyakinkan. Sayangnya, karakter lain kurang mendapat porsi untuk bersinar.
Pastor Paul lebih banyak melontarkan kalimat-kalimat serius yang nyaris tak berpengaruh pada plot, sementara Pastor Andrew (Heo Jun Ho) lebih seperti koleksi klise eksorsisme tanpa inovasi berarti.
Simbolisme Agama yang Berlebihan
"Dark Nuns" mencoba mengangkat simbolisme religius dengan gaya yang nyaris pretensius.
Misalnya, keputusan untuk menjadikan tubuh Yunia sebagai wadah iblis dan mengorbankan dirinya seolah ingin menciptakan momen dramatis yang menggetarkan.
Hasil akhirnya malah seperti adegan dari sinetron dengan anggaran besar, terlalu berlebihan hingga kehilangan esensi emosionalnya. Untungnya, sekali lagi, akting Song Hye Kyo menyelamatkan adegan ini.
Bukannya menghadirkan tragedi yang menyentuh, film ini malah lebih terlihat seperti esai panjang tentang spiritualitas yang dipaksa masuk ke dalam skenario film horor.
Apakah sutradara ingin membuat horor atau seminar teologi? Kita mungkin tak akan pernah tahu.
Lebih Cocok Jadi Podcast Debat Ketimbang Film
"Dark Nuns" adalah contoh sempurna dari film yang ingin terlihat cerdas tapi malah membosankan. Sayang sekali, padahal sinematografinya keren.
Dengan alur yang lemah, horor yang lebih banyak berbicara ketimbang menakut-nakuti, serta simbolisme yang terasa lebih seperti hiasan daripada elemen cerita yang bermakna, film ini lebih cocok dinikmati dalam bentuk podcast pengusiran setan daripada pengalaman sinematik yang mencekam.
Plot slow-paced dan no jumpscare tak masalah. Namun, sebagai film horor, "Dark Nuns" seharusnya bisa memberikan sensasi menakutkan, minimal bikin saya merasa tak nyaman, atau bertanya-tanya, apa yang terjadi berikutnya?
Bagi penggemar horor okultisme yang ingin tontonan berkualitas, lebih baik mencari alternatif lain. Namun, jika Anda butuh film pengantar tidur, "Dark Nuns" bisa jadi pilihan yang tepat. Dijamin langsung ngantuk!
Kontributor : Chusnul Chotimah
Film kedua dalam trilogi Mononoke, The Ashes of Rage, merilis trailer dan key visual jelang penayangannya di bioskop Jepang pada 14 Maret 2025.
Berikut adalah jumlah penonton dari tujuh film Indonesia yang diadaptasi dari film Korea Selatan.
Pada 2 Desember 2024, Qodrat 2 sudah lebih dulu memberikan kejutan kepada penggemar.
Review film Cobweb: Suara ketukan misterius yang datang dari balik dinding.
Apakah relevan sepak bola dikaitkan dengan sejarah dan politik?
Dalam surat itu, LAN melarang ASN di internalnya mengeluh di media sosial terkait kebijakan ini.
Tak jarang Prabowo kerap tampil bak pahlawan dalam menganulir keputusan para pembantunya dalam penerapan kebijakan yang dinilai memberatkan masyarakat.
Ketegasan Prabowo dalam menyampaikan reshuffle kabinet tidak cukup, sejumlah pihak mendesak pemangkasan kementerian/lembaga.
Temuan Migrant CARE, beberapa kasus pembunuhan terhadap PMI perempuan disertai dengan pemerkosaan yang brutal oleh Polisi Diraja Malaysia.
Maraknya kasus pembunuhan berbasis gender bukanlah suatu hal yang baru.
Hukuman mati tidak membuat Indonesia menjadi lebih aman dan mewujudkan penegakan hukum karena tidak melindungi siapa pun, kata Usman.