Suara.com - Ada fenomena politik dan sejarah masa lampau yang kelam pasca PSSI mengangkat Patrick Kluivert sebagai pengganti Shin Tae-yong di Timnas Indonesia.
Kondisi ini muncul setelah Denny Landzaat dipilih sebagai asisten Kluivert. Afiliasi politik Landzaat dengan kelompok Republik Maluku Selatan atau RMS dipergujingkan.
Tak berhenti disitu, kekinian muncul rumor yang menyebutkan Simon Tahamata bakal menjadi Dirtek Timnas Indonesia.
Setali tiga uang dengan Landzaat, Simon pun memiliki hubungan kental dengan gerakan yang dipelopori oleh Christian Soumokil itu. Ada aroma RMS di Timnas Indonesia saat ini.
Lantas apakah relevan sepak bola dikaitkan dengan sejarah dan politik? Sebelum mengulas hal itu, mari kita terlebih dahulu mengetahui apa itu RMS dan kaitannya dengan Landzaat dan Simon Tahamata.
RMS dan Orang Maluku Migrasi ke Belanda
Lima tahun pasca Soerkano-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia muncul riak-riak di daerah, salah satunya di Maluku. Digagas oleh eks Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT), Soumokil, Maluku menyatakan kemerdekaan lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Soumokil pada 25 April 1950 memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan atau RMS. Kala itu, ditunjuk JH Manuhutu sebagai Presiden, Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri.
Selain itu ditunjuk juga para menteri yang terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A. Manusama, dan Z. Pesuwarissa.
Pada 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haag, Belanda.
Pada 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai Presiden RMS. Pada 9 Mei 1950, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dengann Sersan Mayor KNIL, D.J Samson sebagai panglima tertinggi, sersan mayor Pattiwale sebagai kepala staf dan anggota staf lainnya terdiri dari Sersan Mayor Kastanja, Sersan Mayor Aipassa, dan Sersan Mayor Pieter.
Berdirinya RMS ialah bentuk kekecewaan orang Maluku yang saat itu merasa ada ketidakadilan yang mereka rasakan pasca Proklamasi. Pembangunan terpusat di Jawa tidak di Indonesia Timur.
Puncaknya pada 1951, sebanyak 12.578 orang Maluku yang merupakan bekas Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL bermigrasi ke Belanda. Dari 12ribu orang itu, ada ayah dan ibu Simon Tahamata, Lambert Tahamata dan Octovina Leatemia.
Di Belanda, orang-orang Maluku ini ditempatkan di kamp-kamp atau barak yang dibangun oleh pemerintah Belanda. Seperti ayah dan ibu Simon Tahamata yang ditempatkan di Kamp Vught. Di kamp itu juga Simon Tahamata lahir pada 26 Mei 1956.
"Saya lahir di barak Vught. Ketika saya 5 tahun, keluargaku pindah ke kawasan Tiel, Diderik Vijghstraat, yang waktu itu merupakan pinggir desa," kenang Simon seperti dikutip dari AD.NL
Bermigrasi ke negeri orang, generasi pertama Maluku di Belanda ini berharap keinginan dan cita-cita untuk bisa hidup lebih baik bisa mereka dapatkan. Apalagi ribuan orang Maluku ini masih memegang janji manis pemerintah kolonial Belanda bahwa mereka akan menjadi negara merdeka.
"Demi cita-cita kami, yakni negara Maluku yang merdeka, seperti yang dijanjikan pemerintah Belanda kepada kami," kata Simon kepada panorama.nl
Namun kondisi berbeda justru dirasakan oleh orang-orang Maluku. Mereka justru mendapat perlakukan intimidasi, tidak adil dan terjajah oleh orang Belanda.
Insiden berdarah beberapa kali harus dialami oleh komunitas Maluku seperti pada 14 Oktober 1976. Saat itu 500 petugas polisi Belanda menyerbu daerah pemukiman Vaasen yang mayoritas dihuni orang-orang Maluku.
Penyerbuan ini mengutip dari laporan NU.nl, penyerbuan ini ata perintah jajaran pemerintah kotamadya Epe yang menuding 300 orang Maluku menyimpan senjata api berat.
Penyerbuan ini berakibat fatal. Sejumlah orang Maluku tertembak di leher. Laporan dari Reformatorisch Dagblad menyebutkan dari hasil investigasi tidak ditemukan senjata api
Aksi brutal polisi Belanda itu tak lepas dari peristiwa sebelumnya yakni pembajakan kereta api di dekat Wijster, Drenthe pada 1975 oleh pemuda Maluku. Puncaknya dari serangkaian teror berdarah yang dialami oleh orang Maluku di Belanda ialah peristiwa De Punt.
Peristiwa De Punt menjadi cikal bakal dan tonggak bagi generasi kedua, ketiga orang Maluku di Belanda untuk bersimpatik kepada gerakan RMS.
Peristiwa De Punt merupakan aksi pembajakan kereta api di Glimmen, Belanda. Aksi ini dilakukan oleh 9 pemuda Maluku dan berlangsung dari 23 Mei sampai 11 Juni 1977.
Aksi pembajakan kereta De Punt berujung tragis. Enam pelaku dan dua warga sipil tewas. Peristiwa ini juga yang mematik Simon Tahamata dan generasi Maluku lainnya berada di barisan RMS.
Ada satu fakta menarik soal peristiwa De Punt ini yang kemudian diangkat ke layar lebar. Serial De Punt yang rilis di tv Belanda pada 2009 juga dibintangi oleh Gerson Oratmangoen, sepupu dari pemain Timnas Indonesia, Ragnar Oratmangoen.
Simon Tahamata saat peristiwa De Punt terjadi baru setahun bergabung di Ajax. "Saya harus tunjukkan latar belakang Maluku saya pada 1977. Sebelumnya banyak orang mengira saya orang Suriname," ungkapnya.
"Saya katakan bahwa saya bersimpati terhadap perjuangan orang Maluku. Saya merasa saya harus bersuara," sambungnya.
Simon Tahamata, Denny Landzaat dan RMS
Pelatih Timnas Indonesia, Patrick Kluivert meunjuk Denny Domingues Landzaat sebagai asistennya. Selain Denny, Kluivert juga akan dibantu oleh dua menner lainnya yakni Alex Pastoor dan Gerald Vanenburg. Kekinian, pelatih kiper Dewa Unitd yang juga dari Belanda, Sjoerd Woudenberg jadi pelatih kiper Timas Indonesia.
Dari semua asisten Kluivert, latar belakang Landzaat yang kemudian jadi sorotan. Landzaat kelahiran Amsterdam 6 Mei 1976 ini cukup vokal menyuarakan soal gerakan RMS.
Apalagi jejak digital Landzaaat kemudian sempat viral di Indonesia. Landzaat pada 21 November 2010 tegas menyampaikan kritik kepada pemerintah Indonesia terkait perjuangan dan penderitaan orang-orang Maluku.
Saat itu, Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berencana melakukan kunjungan kenegaraan ke Belanda. SBY juga dikabarkan memiliki agenda untuk bertemu dengan sejumlah pesepak bola berdarah Maluku.
Nama Denny Landzaat dan Giovanni van Bronckhorst yang diundang. Alih-alih menerima undangan itu, Landzaat malah menyampaikan kritik pedas.
"Saya menerima undengan melalui kedutaan untuk bertemu Yudhoyono sama seperti Giovanni van Bronckhorst," kata Denny kepada Voetbal International.
"Tetapi orang-orang itu menindas bangsaku. Jika Anda secara terbuka mendukung perjuangan Maluku, Anda berada dalam bahaya. Tidak ada kebebasan berpendapat (di Indonesia), orang-orang dipenjara dan disiksa," tambahnya.
Di media lain yakni Tubantia.nl, Denny juga sempat menceritakan latar belakang keluarganya yang datang dari Maluku dan berjuang melawan Republik Indonesia.
"Ibu saya datang ke Belanda dari Maluku pada usia 2 tahun bersama ribuan orang. Mereka ialah tentara dan keluarga yang pernah berperang bersama tentara Belanda melawan Republik Indonesia," kata eks pemain Ajax dan FC Twente itu.
Landzaat pun mengaku dengan bangga bahwa ia juga memiliki simbol RMS, warna merah, putih, biru dan hijau di sepatu sepak bolanya.
"Saya tegaskan, saya juga menjahit bendera Maluku di sepatu sepak bola saya," kata Denny Landzaat.
Pernyataan lawas dari Landzaat ini pun sempat membuat heboh publik saat ia diangkat jadi asisten pelatih Timnas Indonesia.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani sempat meminta PSSI menjelaskan kepada publik terkait hal tersebut.
"Harus menjadi catatan dan tentunya harus terklarifikasi juga supaya tidak menjadi bola liar," kata Lalu kepada Suara.com, Rabu (8/1/2025).
"Ini lah yang saya maksud, jamgan sampai pelatih dan asisten pelatih baru ini memiliki rekam jejak masa lalu yang akan mengakibatkan beban sehinggat merusak konsentrasi melatih timnas kita," ujarnya.
Isu ini kemudian meredup. Pihak PSSI pun tak buka suara terkait pernyataan Landzaat di masa lalu ini. Nah isu afiliasi dengan RMS ini kekinian kembali menghangat pasca muncul rumor legenda Ajax, Simon Tahamata bakal jadi Dirtek Timnas Indonesia.
Rumor soal Simon Tahamata jadi Dirtek Timnas Indonesia berawal saat eks pemain Standard Liège itu kedapatan mengikuti akun ketum PSSI Erick Thohir dan akun Timnas Indonesia.
Selain itu, Simon juga mengikuti akun Instagram pelatih Timnas Indonesia U-20, Indra Sjafri, serta akun Fardy Bachdim.
Seperti diketahui, Fardy ialah kakak kandung dari Irfan Bachdim. Fardy juga dikenal sebagai sosok penting dibalik proses naturalisasi pemain Timnas Indonesia.
Sama seperti Denny Landzaat, Simon Tahamata pun tak bisa dilepaskan dari gerakan RMS di Belanda. Pengamat sepak bola, Justinus Lhaksana atau yang kerap disapa Coach Justin sempat mengatakan dengan jelas, Simon sangat RMS.
"Gua beberapa kali bertemu Tamata. Tahu di mana? di pesta RMS. Dia (Simon Tahamata) itu RMS banget," kata Coach Justin di kanal Youtube Sport77
Pernyataan dari coach Justin ini bukan hoax. Simon sejak pensiun kerap menyuarakan soal kemerdekaan Maluku. Hal ini sempat ia sampaikan dengan terang benderang pada wawancara tahun 2018.
Simon menegaskan orang-orang Maluku di Belanda tetap pada cita-cita yakni menjadi negara merdeka. Simon bilang negara Maluku merdeka ialah janji dari pemerintah Belanda.
"Demi cita-cita kami, yakni negara Maluku yang merdeka, seperti yang dijanjikan pemerintah Belanda kepada kami," kata Simon kepada panorama.nl
Di kesempatan yang lain, Simon menegaskan bahwa perjuangan RMS untuk membentuk negara merdeka hanya Tuhan yang tahu kapan bisa terwujud.
"Hanya Dia (Tuhan) yang tahu kapan impian RMS akan menjadi kenyataan. Saya harus tetap percaya bahwa semua akan baik-baik saja. Meskipun aku mungkin tidak mengalaminya seumur hidupku. Untuk generasi ketiga dan keempat Maluku harus bisa memastikan bahwa mereka siap untuk menjadi negara. Jadi penting bagi mereka untuk dibesarkan dengan kualitas dan kemampuan bagus," jelas Simon kepada AD.nl pada 2017.
Bahkan Simon sempat mengatakan bahwa ia bisa saja menjadi salah satu anggota pembajak kereta di peristiwa De Punt. "Saya mungkin bisa jadi salah satu pembajaknya," ungkap Simon seperti dilansir dari vanderleymedia.nl
"Saya berusia 19 tahun saat pembajakan pertama di Wijster, umur 21 saat pembajakan di Bovensmilde dan De Punt. Para pemuda itu ialah para aktivis, terpaut beberapa tahun mereka lebih tua dari saya," ucap Simon.
Keterlekatan Simon Tahamata dengan RMS juga ia ungkap dari koper besi milik sang ayah. Simon mengatakan bahwa ayahnya memiliki koper besi dengan simbol RMS.
Bagi Simon itu adalah bukti sejarah yang tidak boleh dilupakan. "Ayah saya punya koper baja hijau. Berisi seragam dan detailnya. Itu simbol sejarah kita," tegas Simon.
Politik dan Sepak Bola
Slogan jangan campuradukan politik dengan sepak bola jadi gaung yang kerap dilontarkan oleh pejabat publik. Eks ketum PSSI, Nurdin Halid pada 2005 sempat melontarkan slogan ini.
Nurdin Halid menyampaikan hal itu dalam konteks saat itu, muncul imbauan untuk mendukung salah satu calon presiden yang dapat mewujudkan mimpi Indonesia jadi tuan rumah Piala Dunia 2022.
"Saya tidak tahu menahu soal itu. PSSI tidak boleh dimasuki wilayah politik," kata Nurdin pada April 2003 saat itu seperti dikutip.
18 tahun kemudian, Erick Thohir kembali menyampaikan hal serupa. Pada Januari 2023, Erick masih jadi kandidat calon ketum PSSI.
"Saya selalu bilang, jangan campur adukkan antara politik dan sepakbola. Kita harus benar-benar pisahkan," ucap Erick pada 20 Januari 2023.
Lantas bisakah politik dipisahkan dari sepak bola?
Sepertinya agak-agak sulit memisahkan politik dari sepak bola. Justru sepak bola menjadi wadah bagi politik itu sendiri.
Pernyataan-pernyataan dari Simon Tahamata dan Denny Landzaat tentang RMS tidak bisa dipisahkan dari latar belakang mereka sebagai figur lapangan hijau.
Pernyataa soal RMS dari mereka hanya angin lalu jika Simon dan Denny hanya berstatus warga Maluku di Vaassen yang jadi korban kebrutalan polisi Belanda.
Di sejumlah pemberitaan media Belanda saat membahas soal RMS dengan narasumber Simon Tahamata selalu dimulai dengan rekam jejak gemilangnya bersama Ajax.
Suka tidak suka, Simon dan Denny sedari awal sudah menggunakan sepak bola sebagai alat untuk menyuarakan aspirasi politik mereka.
Sebenarnya pertautan sejarah masa lampau dan politik dengan sepak bola juga jadi masalah tersendiri di Spanyol. Seperti diketahui, etnis Basque dan Catalan sama-sama memiliki keinginan untuk jadi negera merdeka.
Sama dengan RMS, kedua wilayah itu juga memiliki tim nasional sendiri. Latar belakang pemain Basque dan Catalan yang membela Spanyol juga dipergunjingkan baik oleh publik ataupun politis.
Josep Ramoneda, seorang jurnalis, filsuf dan jurnalis Catalan mengungkapkan bahwa hal lumrah terjadi saat sepak bola dan politik bertautan.
Ramoneda mengatakan bahwa saat kemenangan tim olahraga atau sepak bola diraih, politisi biasanya akan muncul ke ruang-ruang publik demi tujuan politik.
Singkatnya, meski Denny Landzaat dan Simon Tahamata memiliki latar belakang RMS, gerakan yang dianggap makar oleh pemerintah Indonesia, hal itu harusnya tak menjadi masalah. Pasalnya saat ini Denny Landzaat bekerja sebagai profesional di Timnas Indonesia.
Prestasi yang kelak akan dicapai oleh Patrick Kluivert Cs di Timnas Indonesia praktis juga akan mengangkat kebanggaan publik pada Merah Putih. Ujungnya profesionalisme akan hadirkan jiwa nasionalisme.
Bangkok United justru dikejutkan oleh permainan agresif tim tamu.
Sandy Walsh sempat bertanya kepada manajer tim mengapa polisi...
Cyrus Margono, akhirnya melakoni debut resminya di Liga Kosovo bersama KF Dukagjini.
Marselino mendapat kesempatan kedua.
Dalam surat itu, LAN melarang ASN di internalnya mengeluh di media sosial terkait kebijakan ini.
Tak jarang Prabowo kerap tampil bak pahlawan dalam menganulir keputusan para pembantunya dalam penerapan kebijakan yang dinilai memberatkan masyarakat.
Ketegasan Prabowo dalam menyampaikan reshuffle kabinet tidak cukup, sejumlah pihak mendesak pemangkasan kementerian/lembaga.
Temuan Migrant CARE, beberapa kasus pembunuhan terhadap PMI perempuan disertai dengan pemerkosaan yang brutal oleh Polisi Diraja Malaysia.
Maraknya kasus pembunuhan berbasis gender bukanlah suatu hal yang baru.
Hukuman mati tidak membuat Indonesia menjadi lebih aman dan mewujudkan penegakan hukum karena tidak melindungi siapa pun, kata Usman.
Tahun 2025, BRIN seharusnya menerima anggaran Rp5,842 triliun.