Suara.com - Jaksa Agung RI Sanitiar Burhanuddin mengeluh sulitnya mengeksekusi terpidana mati. Keluhan ini disampaikannya saat peluncuran buku ‘Tinjauan KUHP 2023’ di Kejaksaan Tinggi Jakarta, Rabu, 5 Januari 2025. Dia menyebut, saat ini lebih dari 300 terpidana mati di Indonesia belum bisa dieksekusi.
“Capek-capek kami udah nuntut hukuman mati nggak bisa dilaksanakan,” kata Sanitiar.
Selain warga negara Indonesia, ratusan terpidana mati itu juga termasuk warga negara asing (WNA). Sebagian besar merupakan pelaku tindak pidana narkotika. Mereka di antaranya berasal dari negara benua Amerika, Eropa, dan Afrika.
Eksekusi pidana mati terhadap WNA acap kali terkendala persoalan diplomatik antar negara. Terlebih, kata Burhanuddin, jika WNA itu berasal dari negara yang tidak memberlakukan hukum mati.
Berdasarkan World Coalition Against Death Penalty setidaknya 112 negara telah menghapuskan hukuman mati untuk semua kejahatan. Sementara jumlah yang masih menerapkan hukuman mati untuk pidana luar biasa mencapai 55 negara.
Burhanunuddin sempat mengusulkan mengeksekusi pidana mati WNA China. Sebab di negeri tirai bambu itu hukuman mati juga masih diberlakukan. Namun kenyataannya eksekusi pidana mati terhadap WNA China itu juga tak mudah dilaksanakan.
“Apa jawabnya bu menteri luar negeri (Retno Marsudi) pada waktu itu? 'Pak kalau orang China dieksekusi di sini, orang kita di sana akan dieksekusinya’,” ungkapnya.
Politik Hukum Pidana Mati Berubah
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) menilai eksekusi terhadap terpidana mati memang sudah semestinya ditunda atau tidak dilakukan. Sebab politik hukum pidana mati telah berubah setelah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP baru ditetapkan.
“Pernyataan Jaksa Agung ini sebenarnya justru bertentangan dengan semangat terhadap politik perbaruan hukum pidana,” ungkap pengurus PBHI Ghina Sabrina kepada Suara.com, Kamis (6/2/2025).
Dalam Pasal 100 KUHP baru, terpidana mati diberi kesempatan untuk menjalani masa percobaan penjara selama 10 tahun. Di Ayat 4 pasal itu kemudian disebutkan; jika selama masa percobaan terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup.
Menurut Ghina, meskipun KUHP baru berlaku pada 2 Januari 2026, mereka yang berstatus terpidana mati sebelum adanya aturan ini juga harus mendapat keuntungan. Ketentuan itu termaktub dalam Pasal 3 KUHP. Pasal tersebut menyatakan; perubahan peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan terjadi, diberlakukan peraturan perundang-undangan yang baru.
Karena itu Jaksa Agung RI, kata Ghina, memang semestinya tidak melakukan eksekusi pidana mati. Sampai KUHP baru itu berlaku.
“Jadi pidana matinya akan diubah ketika dia menjalani assessment atau penilaian terhadap perubahan perilaku,” jelas Ghina.
Senada Ghina, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menyebut seluruh terpidana mati akan menjadi subjek asesmen atau penilaian untuk pengubahan hukuman. Maka mekanisme penilaian terhadap terpidana mati sebelum dan setelah adanya KUHP baru perlu dibedakan.
“Perbedaan mekanisme penilaian ini sangat relevan karena adanya perbedaan tingkat kerentanan dan kondisi psikologis yang dialami oleh masing-masing kategori terpidana mati,” tuturnya.
Tidak Beri Efek Jera
Pada 10 Oktober 2024 lalu, bertetapan dengan Hari Menentang Hukuman Mati Sedunia, Amnesty International Indonesia (AII) juga telah meminta pemerintah untuk melakukan moratorium penuntutan pidana mati dan eksekusi pidana mati. Permintaan tersebut juga disampaikan menyusul adanya KUHP baru yang membuka perubahan hukuman terhadap terpidana mati.
Direktur Eksekutif AII Usman Hamid mengatakan, berdasar banyak kajian penerapan hukum mati sebenarnya tidak efektif memberi efek jera dan mencegah kejahatan. Sebaliknya, justru melanggengkan siklus kekerasan dan menutup kemungkinan rehabilitasi dan perbaikan.
“Hukuman mati tidak membuat Indonesia menjadi lebih aman dan mewujudkan penegakan hukum karena tidak melindungi siapa pun,” ujarnya.
Berdasar data yang dihimpun AII hingga 4 Oktober 2024, setidaknya terdapat 557 terpidana mati di Indonesia yang masuk dalam deretan tunggu eksekusi. 11 terpidana mati di antaranya perempuan.
Sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, Usman menilai Indonesia semestinya menjadi contoh dalam mempromosikan sistem peradilan yang lebih menghargai kehidupan dan martabat kemanusiaan. Dorongan untuk menghapuskan hukuman mati juga sejalan dengan tren global dan regional kekinian.
Usman mencontohkan Malaysia yang baru-baru ini telah bergerak untuk menghapus pemidanaan mati wajib atau mandatory death sentence. Negeri jiran itu juga membuat kebijakan terkait pemindahan ulang atau resentencing yang bertujuan untuk mengurangi secara drastis jumlah narapidana yang berada pada deret tunggu hukuman mati.
“Hal ini menandakan adanya sebuah pergeseran di kawasan regional yang tidak boleh diabaikan oleh Indonesia,” pungkasnya.
Yang paling sulit adalah upaya eksekusi terhadap terpidana mati WNA
Maia Estianty mengecam keras tindakan poligami dari seorang suami.
Ari Lasso tanggapi doa Ahmad Dhani segera mendapat hidayah.
"Dalam catatan sejarah itu tercantum Blang Padang (milik Masjid Raya), kata Cek Midi.
M3GAN 2.0 nggak lagi serem seperti film pertamanya.
"Tapi saya yakin tidak ada lah penegakan hukum yang akan menjerat penjual pecel lele. Itu tidak apple to apple," ujar Zaenur.
Setiap tindak penyiksaan harus diberikan hukuman yang setimpal dan memberi jaminan ganti rugi terhadap korban serta kompensasi yang adil, jelas Anis.
Kerja sama tersebut menghilangkan daya kritis ormas keagamaan terhadap kebijakan atau keputusan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Angka ini sangat ambisius apabila dilihat dari track record koperasi kita, kata Jaya.
Pengakuan Marcella Soal Biaya Narasi Penolakan RUU TNI dan "Indonesia Gelap" Dinilai Berbahaya: Membuat Kelompok Masyarakat Sipil Semakin Rentan