Suara.com - Fenomena kepemilikan lahan di atas permukaan laut di Indonesia terus menjamur. Setelah pagar laut yang terbentang sepanjang 30 kilometer di pesisir utara Tangerang, Banten yang ditancapkan sebagai penanda kepemilikan, kasus serupa juga terjadi di sejumlah wilayah lain.
Di Sidoarjo, Jawa Timur didapati seluas 656 hektare kawasan laut memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan atau SHGB yang dikuasai sejumlah perusahaan. Sertifikatnya diterbitkan pada 1996 dan masa penggunaanya akan berakhir pada 2026.
Masih di Jawa Timur, 20 hektare kawasan laut Sumenep memiliki Sertifikat Hak Milik atau SHM. Sertifikatnya diterbitkan pada 2023 yang peruntukannya sebagai bangunan tambak garam.
Di Makassar, 23 hektare permukaan laut di wilayah Kecamatan Tamalat memiliki SHGB yang diterbitkan pada 2015. Penguasaannya oleh sebuah perusahaan, tapi BPN Makassar enggan membeberkan namanya.
Terbaru di Subang, Jawa Barat, 460 hektare permukaan laut di kawasan Cirewang, Desa Pangarengan memiliki SHM. Sertifikatnya diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Subang dalam program Tanah Objek Reforma Agraria atau TORA pada 2021 lalu. TORA adalah salah satu kebijakan pemerintah era Presiden Joko Widodo berupa pembagian sertifikat tanah kepada masyarakat.
Namun, belakangan terungkap penerbitan sertifikatnya mencatut nama sejumlah warga. Dari informasi yang beredar, warga yang dicatut namanya mendapatkan imbalan uang Rp100 ribu per orang. Penguasaan kawasan laut itu disebut untuk reklamasi. Hingga saat ini tidak diketahui pihak yang mencatut nama-nama warga, tapi diduga dari korporasi. Selain itu, penerbitan SHM diduga melibatkan mafia tanah.
Sekjen Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (Agra) Saiful Wathoni mengkritik penerbitan sertifikat di tengah masih banyaknya masyarakat yang kesulitan untuk pengakuan legalitas negara di atas lahan yang ditempatinya sejak lama.
Saiful mencontohkan kasus yang dialami oleh warga di Desa Dadap, Kabupaten Tangerang yang telah berkali-kali mengajukan sertifikat hak milik, tapi tak kunjung diterbitkan oleh pemerintah.
"Padahal telah mendapatkan rekomendasi dari Ombudsman pada 2016, tetap saja ditolak dengan berbagai alasan oleh badan pertanahan setempat," kata Saiful kepada Suara.com, Kamis (30/1/2025).
Rentang waktu penerbitan sertifikat antara 2021 hingga 2023 tak luput dari sorotan Agra. Sebab diketahui pada rentang waktu tersebut program TORA era Presiden Jokowi berjalan dengan membagi-bagikan sertifikat tanah kepada masyarakat. Di Tangerang sendiri, 263 bidang berstatus SHGB dan 17 berstatus SHM diterbitkan pada Agustus 2023. Saiful mencurigai bahwa program tersebut telah disalahgunakan.
"Harusnya membagi-bagikan tanah daratan, tapi prakteknya membagi-bagikan sertifikat lautan karena yang penting ada angka yang bisa diklaim untuk menunjukan seolah-olah berhasil," ujarnya.
Di satu sisi, Agra mencuriga penerbitan sertifikat di atas laut di sejumlah wilayah untuk proyek reklamasi.
Dari berbagai kasus tersebut, Agra menilai telah terjadi skandal yang terstruktur. Tidak hanya melibatkan pejabat badan pertanahan di tingkat kabupaten dan provinsi, tapi juga pemangku kebijakan tertinggi di tingkat kementerian hingga presiden saat itu yang harus bertanggung jawab.
Dampak Ekonomi dan Lingkungan
Pakar kelautan sekaligus Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga (Unair), Muhammad Amin Alamsjah menegaskan penguasaan laut lewat penerbitan SHGB dan SHM bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bumi dan air yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara demi kemakmuran rakyat.
"Artinya wilayah laut tidak dapat dimiliki secara pribadi atau perusahaan,” kata Amin dalam keterangannya dikutip Suara.com dari lawan resmi UNAIR.
Selain bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, upaya penguasaan laut seperti pemasangan pagar berpotensi merusak lingkungan. Di antaranya mempercepat sedimentasi, mengurangi carrying capacity wilayah perairan dan dampak jangka panjangnya merusak nursery ground.
Nursery ground merujuk pada daerah asuhan bagi organisme yang masih muda atau kecil sebelum menjadi dewasa. Dalam hal ini benih ikan dan mengancam habitat biota laut seperti terumbu karang serta padang lamun.
Kerusakan ekosistem tersebut akan berdampak kepada pendapatan para nelayan karena ikan yang semakin sulit didapatkan. Belum lagi pemasangan pagar menyulitkan para nelayan untuk melaut. Akibatnya mereka harus mencari wilayah baru yang jauh dan membutuhkan biaya operasional yang lebih untuk mendapatkan ikan.
Berdasarkan perhitungan Ombudsman Republik Indonesia di kawasan perairan Tangerang yang dipasangi pagar, kerugian para nelayan berkisar antara Rp7,7 miliar sampai Rp9 miliar.
Karena itu, Amin menegaskan laut tidak hanya sekedar ruang fisik, tetapi sumber penghidupan bagi banyak orang. Maka dari itu, ia mendesak pelanggaran dalam tata kelola laut harus dihentikan.
"Jika pembangunan pagar laut HGB melanggar hukum dan merugikan rakyat, maka negara wajib mengambil tindakan tegas untuk membatalkannya,” tandasnya.
Hafid Abbas mengatakan penggusuran itu hanya diperbolehkan dengan sejumlah syarat yang sangat ketat.
Pemeriksaan dilakukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP.
Dia menyampaikan bahwa pihaknya sama sekali belum melakukan pengecekan sertifikat terhadap isu pagar laut yang ada di ketiga daerah tersebut.
Yoni Dores dan Ahmad Dhani sama-sama memperjuangkan hak cipta, tetapi kasus Lesti Kejora lebih mirip Via Vallen di masa lalu.
Israel tak hanya harus mengakui kemerdekaan Palestina secara penuh, tetapi juga harus bertanggung jawab atas genosida yang selama ini dilakukan terhadap rakyat Palestina.
Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran pendidikan, kata Ubaid.
"Kriminalisasi terhadap pelapor dugaan korupsi di Baznas menunjukkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wana.
"Kebijakan jam malam bagi pelajar perlu manajemen pengawasan yang baik. Tanpa itu, kebijakan tersebut hanya akan terdengar baik di atas kertas," ujar Rakhmat.
"Rumah susun itu adalah cara yang paling prinsip untuk merubah Jakarta menjadi lebih tertata terkait dengan penduduk dan pemukiman," kata Yayat.
No free lunch. Pasti akan ada yang dikorbankan untuk mendapatkan bantuan tersebut, mulai dari politik hingga sumber daya alam, ungkap Huda.