Suara.com - Masyarakat adat semakin terancam dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto tentang penertiban kawasan hutan. Pasalnya penertiban kawasan hutan ini menggunakan pendekatan militeristik. Ini terlihat dari pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan.
PRESIDEN Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan pada 21 Januari 2025. Perpres ini bertujuan menyelesaikan persoalan tata kelola hutan yang selama ini dianggap tidak optimal, termasuk aktivitas ilegal yang merugikan negara.
Penerbitan perpres ini sekaligus mengamanatkan pembentukan satuan tugas atau Satgas Penerbitan Kawasan Hutan yang strukturnya bernuansa militeristik. Hal ini mengindikasikan pemerintahan Prabowo yang militeristik.
Aturan ini juga semakin melanggengkan konflik antara masyarakat, khususnya masyarakat adat dengan aparat keamanan. Bahkan perpres ini berpotensi menggusur mereka dari kawasan hutan yang sudah ditempati jauh sebelum Indonesia merdeka.
Kuatnya muatan militer dapat dilihat dari struktur satgas yang diamanatkan dalam pepres ini. Ketua satgasnya adalah Menteri Pertahanan, wakil ketua I Jaksa Agung, wakil ketua II Panglima TNI, dan wakil ketua III dijabat Kapolri.
Sementara Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup/Kepala Lingkungan Hidup hanya sebagai anggota bersama sejumlah menteri lainnya. Seperti Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Keuangan, dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya mempertanyakan urgensi keterlibatan militer dalam upaya penertiban kawasan hutan. Dia mempertanyakan apakah pelibatan TNI sudah mendapatkan persetujuan dari DPR. Sebagaimana diatur Pasal 17 ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, yakni pengerahan TNI oleh Presiden harus mendapatkan persetujuan DPR RI.
Dengan adanya unsur TNI dalam satgas ini, Dimas menilai menguatkan corak militeristik dalam pemerintahan Prabowo. Sebagaimana diketahui, terdapat beberapa program atau kebijakan pemerintahan Prabowo yang melibatkan TNI, misalnya program makan bergizi gratis, proyek strategi nasional seperti di Rempang, Batam. Kemudian pembentukan kesatuan tentara baru yakni batalyon infanteri atau Yonif Penyangga Daerah Rawan di lima daerah Papua untuk mendukung program ketahanan pangan pemerintah.
Menurut Dimas, pelibatan TNI dan Polri sengaja untuk mengamankan rencana proyek pembukaan 20 juta hektare hutan untuk kebutuhan pangan dan energi sebagaimana disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni baru-baru ini.
"Untuk melancarkan program-program pemerintah," kata Dimas kepada Suara.com, Kamis (30/1/2025).
KontraS menyebut penggunaan TNI dan Polri dalam upaya penertiban kawasan hutan sangat rawan. Dia khawatir tujuannya jauh dari upaya penindakan terhadap aktor-aktor besar atau korporasi yang mengelola hutan secara ilegal.
Sebab, sangat mungkin perpres ini menyasar masyarakat adat yang sebenarnya sudah mendiami kawasan hutan sejak lama. Alhasil, masyarakat akan berkonflik dengan negara yang dihadapkan lewat aparat TNI dan Polri.
Senada dengan Dimas, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional Uli Arta Siagian menilai aturan dalam Perpres ini menyamakan antara aktivitas legal dalam kawasan hutan berbasis korporasi dengan masyarakat yang selama ini menjadi korban konflik tenurial dan konflik agraria dengan perusahaan-perusahan pemegang izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.
Uli mengatakan, Perpres Prabowo ini jangan sampai menyentuh masyarakat sekitar hutan yang proses pengukuhan kawasannya belum selesai dan menjadi subyek untuk penataan kawasan. Selain itu juga tidak boleh menyasar masyarakat yang sampai saat ini berkonflik dengan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.
“Jika memang Presiden berani harusnya Perpres ini diarahkan untuk menindak korporasi skala besar yang selama ini telah menikmati keuntungan besar, menimbulkan kerugian lingkungan dan perekonomian negara dari aktivitas ilegal di kawasan hutan," ujar Uli.
Sementara itu, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman mengkhawatirkan aturan ini dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi resettlement atau pemindahan paksa masyarakat adat dari kawasan hutan. AMAN menegaskan sejarah kelam pemindahan masyarakat adat secara paksa jangan sampai kembali terulang seperti zaman Orde Baru.
"Jangan-jangan itu justru yang mau dikerjakan. Apalagi kemudian ada rencana pelepasan 20 juta hektare untuk kepentingan pangan dan energi," kata Arman kepada Suara.com.
Kekhawatirannya muncul bukan tanpa alasan. Arman mempertanyakan mengapa Ketua Satgas Penerbitan Kawasan Hutan dari Kementerian Pertahanan, dan wakil ketuanya Jaksa Agung, Panglima TNI, dan Kapolri.
"Mengapa kemudian bukan Menteri Kehutanan yang jadi penanggung jawab dari penerbitan kawasan hutan ini?" imbuhnya.
Menurutnya jika Pepres ini menyasar korporasi besar yang melakukan pengelolaan kawasan hutan secara ilegal, seharusnya yang pertama kali dilakukan pemerintah adalah mengungkap secara terbuka kepada publik perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan perundang-undangan.
"Karena dia ilegal, maka pasti ada indikasi korupsinya kan? Karena pasti pendapatan negara itu tidak masuk ke negara," tuturnya.
"Jadi rakyat kita jangan mau dibohongi oleh sindikat-sindikat yang berjanji ini, berjanji itu..."
Untuk lepas dari jebakan pendapatan kelas menengah atau middle income trap, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan, mencapai kisaran 6-7 persen.
"Pertaruhan legitimasi Pak Prabowo memang terletak pada dukungan publik yang sangat bergairah.."
"Kalau itu dipangkas, artinya pertumbuhan ekonomi di daerah juga akan mandek atau terhalang," tegasnya.
Menggeser awan di atas Jakarta padahal kini sedang banyak awan rendah yang bergerak cepat, bukan tindakan tepat, kata Erma.
Sejumlah orang yang membantu di Vihara Dharma Bakti dalam perayaan malam Imlek adalah warga Aceh yang beragama Islam.
Jika sepeda motor diizinkan melintas di jalan tol, ini berpotensi meningkatkan risiko kecelakaan karena ketidakstabilan kendaraan pada kecepatan tinggi," ujar Djoko.
"Jangan sampai penanganan kasus ini tidak tuntas sehingga menimbulkan pertanyaan publik. Mengingat kasus ini berpotensi melibatkan political exposed person," kata Lakso.
Budaya setoran (polisi) itu masih melekat dan tak pernah terkikis karena yang di atas pun melakukan pembiaran bahkan menikmati setoran, ungkap Bambang.
Munculnya pertanyaan masyarakat soal kok bisa laki-laki menjadi korban KDRT karena budaya patriarki yang masih kental.
Penangkapan Tannos harus dijadikan momentum bagi KPK untuk membuka kembali perkara mega korupsi e-KTP yang belum tuntas.