Imlek di Tanah Syariat: Toleransi Bersemi di Banda Aceh
Home > Detail

Imlek di Tanah Syariat: Toleransi Bersemi di Banda Aceh

Erick Tanjung

Kamis, 30 Januari 2025 | 09:06 WIB

Suara.com - Warga Tionghoa di Banda Aceh merayakan malam Imlek dengan aman dan khidmat. Menunjukkan kerukunan di kota dengan skor toleransi yang rendah di Indonesia.

MENJELANG tengah malam, Yuswar tiba di Vihara Dharma Bakti, Jalan Panglima Polem, Gampong Laksana, Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Selasa, 28 Januari 2025. Rumah ibadat umat Buddha itu belum ramai. Di dalam terlihat beberapa orang, dan di depan vihara sejumlah polisi berjaga-jaga.

Yuswar memasuki Vihara dan segera melaksanakan ritual ibadah serta doa. Setelah selesai, ia berbincang dengan beberapa pria, menyiapkan keperluan sembahyang malam Imlek yang akan berlangsung sebentar lagi. Sejumlah orang yang membantu di Vihara Dharma Bakti adalah warga Aceh yang beragama Islam.

“Mereka ini memang sudah lama membantu di sini atas kesadaran sendiri, tanpa ada paksaan,” kata Yuswar, Ketua Yayasan Vihara Dharma Bakti Banda Aceh kepada Suara.com, Rabu (29/1/2025) dini hari.

Menurut Yuswar, warga Aceh membantu perayaan Imlek itu tidak meminta imbalan. Namun, terkadang mereka menerima pemberian dari umat yang sembahyang.

“Mungkin umat yang sembahyang memberi sedikit rezeki. Itu wajar ya. Jadi misalnya walaupun dia muslim, walaupun dia orang Aceh, tapi mereka juga ikut partisipasi untuk acara ini,” ujarnya.

Yuswar, Ketua Yayasan Vihara Dharma Bakti Banda Aceh saat perayaan Imlek 2025. (Suara.com/Habil)
Yuswar, Ketua Yayasan Vihara Dharma Bakti Banda Aceh saat perayaan Imlek 2025. (Suara.com/Habil)

Seorang pria yang sedang membuka dupa dari bungkusan plastik mengaku berasal dari Mata Ie, Aceh Besar. Ia membantu di vihara karena bos tempatnya bekerja adalah umat Buddha. Tapi ia meminta namanya tidak disebutkan.

Tepat pukul 00.00 WIB, seorang pria memukul gong yang diikuti dengan bunyi lonceng. Tahun Imlek baru saja berganti menjadi 2576 Kongzili. Namun, tidak ada tepuk tangan atau kembang api, hanya warga Tionghoa yang larut dalam doa.

Kini umat yang berdatangan mulai ramai. Vihara penuh sesak, dan asap dupa memenuhi ruangan. Beberapa pria warga Aceh yang membantu menyiapkan peralatan sembahyang semakin sibuk, termasuk dengan sigap memberikan dupa kepada umat yang baru datang.

Setelah melaksanakan sembahyang, Jhonsen Leonardi (19) mengatakan harapannya agar tahun baru membawa kesuksesan dan kesehatan yang lebih baik. Menurutnya, toleransi di Aceh yang menerapkan hukum Syariat Islam cukup tinggi.

“Kesulitan sih tidak ada, beberapa masyarakat yang memang toleransinya sangat tinggi di sini,” kata Jhonsen.

Jhonsen juga bercerita tentang antusiasme warga Aceh yang menonton atraksi barongsai yang ia mainkan untuk menyambut Imlek.

Dalam kehidupan sehari-hari, ia memiliki banyak teman muslim dan tidak pernah mengalami masalah. Salah satu momen toleransi yang paling ia ingat adalah ketika teman muslim mengingatkannya untuk beribadah.

“Teman saya ingatin pergi ibadah waktu jadwalnya pergi ibadah, iya itu kawan muslim. Enggak cuma muslim, yang nasrani juga ada. Dari pandangan saya sih cukup baik ya, toleransinya sangat kuat di sini,” kata Jhonsen.

Sementara itu, Feri Fernando (31) berharap dalam ibadat malam Imlek agar hubungan dengan warga lokal tetap harmonis.

“Kami warga Tionghoa kiranya bisa hidup berdampingan sama warga-warga lokal di sini dengan lebih baik,” ujarnya.

Menurutnya, hubungan yang terjalin selama ini tidak ada masalah.

“Kalau ada kendala kan pasti ada konflik. Tapi sejauh ini kita kan hidupnya baik-baik saja,” ujarnya.

Warga Tionghoa saat perayaan malam Imlek di Vihara Dharma Bakti, Jalan Panglima Polem, Gampong Laksana, Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Selasa (28/1/2025). [Suara.com/Habil]
Warga Tionghoa saat perayaan malam Imlek di Vihara Dharma Bakti, Jalan Panglima Polem, Gampong Laksana, Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Selasa (28/1/2025). [Suara.com/Habil]

Feri yang memiliki toko bahan kue di Peunayong turut mempekerjakan warga Aceh. Ia sangat menghargai waktu ibadah pekerjanya.

"Ketika mereka mau salat, silakan. Memang ada waktu tengah hari untuk istirahat," katanya.

Baginya, kebebasan beribadah tanpa gangguan atau larangan dari lingkungan sekitar seperti malam Imlek itu merupakan wujud nyata toleransi yang baik.

Cikal Bakal Tionghoa di Aceh

A. Rani Usman dalam buku Etnis Cina Perantauan di Aceh (2009) menyebutkan bahwa etnis Cina atau Tionghoa di Aceh, khususnya Kota Banda Aceh, kebanyakan dari suku Khek (Hakka) provinsi Kwantung.

Mereka datang ke Aceh secara besar-besaran pada 1875 karena didatangkan oleh Belanda untuk bekerja sebagai buruh. Kehadiran mereka membuat akulturasi budaya antara Aceh dan Tionghoa yang sebelumnya kedatangan orang India, Arab, dan Eropa.

Sebelumnya, hubungan Aceh dengan Tionghoa telah berlangsung sejak abad ke-12 dan 13.

“Bangsa Cina menjalin hubungan diplomatik dengan sukubangsa Aceh yang berbentuk hubungan birokrasi dan berorientasi politik dengan mempertimbangkan kepentingan kedua sukubangsa,” tulis A. Rani Usman.

Hubungan ini berlanjut dalam perdagangan pada abad ke-15 hingga 18 karena Aceh menyediakan rempah-rempah dan Tionghoa memiliki alat rumah tangga.

Pada abad ke-19, tulis A. Rani Usman, kekacauan politik di Tiongkok membuat banyak warga Tionghoa berpindah ke Asia Tenggara, termasuk ke Aceh. Kontrak kerja sama pun terjalin antara warga Tionghoa dan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Di Banda Aceh, sebagian besar warga Tionghoa tinggal di Kecamatan Kuta Alam. Menurut Yuswar, mayoritas warga Tionghoa di Banda Aceh menganut agama Buddha, tapi ada juga yang Kristen dan Islam. Meski berbeda agama, mereka menjaga kerukunan di antara sesama Tionghoa maupun dengan warga lainnya.

“Termasuk keponakan saya yang menikah dengan orang Aceh, dia muslim. Hubungan kami tetap baik,” kata Yuswar.

Warga Tionghoa saat perayaan malam Imlek di Vihara Dharma Bakti, Jalan Panglima Polem, Gampong Laksana, Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Selasa (28/1/2025). [Suara.com/Habil]
Warga Tionghoa saat perayaan malam Imlek di Vihara Dharma Bakti, Jalan Panglima Polem, Gampong Laksana, Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Selasa (28/1/2025). [Suara.com/Habil]

Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menyebutkan bahwa umat Buddha di Aceh sebanyak 7.529 orang yang tersebar di sejumlah kabupaten dan kota di Aceh. Mayoritas penduduk Aceh adalah muslim dengan jumlah mencapai 5.015.236 orang. Selain itu, 37.620 orang beragama Protestan, 9.181 beragama Katolik, dan 236 beragama Hindu.

Adapun jumlah Vihara di Aceh menurut BPS adalah 20 unit, tujuh di antaranya berada di Kota Banda Aceh.

Harmonis di Kota Intoleran

Yuswar menilai toleransi antarumat beragama di Aceh sangat baik. Hubungan masyarakat setempat dengan berbagai kelompok agama berjalan harmonis.

"Kita jangan terpancing oleh isu yang mengatakan Aceh ini toleransinya sangat rendah, kenyataannya tidak demikian," kata Yuswar.

Yuswar memberi contoh bagaimana umat beragama dapat menjalankan ibadah dengan tenang tanpa gangguan. Bahkan saat warga Tionghoa beribadah di malam Imlek, masyarakat sekitar tak pernah mengganggu. Mereka hanya melihat dengan rasa ingin tahu tanpa mengeluarkan kata-kata yang tidak menyenangkan.

“Mungkin di luar pagar ada umat-umat misalnya dari muslim dan sebagainya. Tapi mereka hanya melihat karena ingin tahu bagaimana istilahnya proses sembahyang dan sebagainya,” tuturnya.

Di pasar pun hubungan antarwarga berjalan harmonis. Dulu di Pasar Kartini Peunayong, kata Yuswar, meskipun tidak ada sekat di antara para pedagang, hubungan tetap baik. Ada pedagang Tionghoa, Jawa, Batak, Aceh, dan Padang yang berdagang bersebelahan tanpa pernah ada keributan.

“Malah saling menjaga,” kata Yuswar.

Warga Tionghoa saat perayaan malam Imlek di Vihara Dharma Bakti, Jalan Panglima Polem, Gampong Laksana, Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Selasa (28/1/2025). [Suara.com/Habil]
Warga Tionghoa saat perayaan malam Imlek di Vihara Dharma Bakti, Jalan Panglima Polem, Gampong Laksana, Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Selasa (28/1/2025). [Suara.com/Habil]

Contoh toleransi yang mencolok adalah ketika pedagang muslim meninggalkan lapaknya untuk salat Jumat atau Magrib. Para tetangga non-muslim dengan sukarela menjaga lapak tersebut tanpa ada kejadian yang tidak diinginkan.

“Jadi inilah salah satu buktinya bahwa orang Aceh itu sangat toleransi,” katanya.

Namun, laporan Setara Institute menempatkan tiga kota di Aceh dalam 10 kota dengan Indeks Kota Toleran 2023 terendah di Indonesia. Kota Sabang berada di posisi pertama, Kota Lhokseumawe posisi keenam, dan Kota Banda Aceh posisi kedelapan.

Menurut Setara, produk hukum berbasis agama, seperti yang ditemukan di Aceh, berpotensi menimbulkan diskriminasi.

Sementara itu, Yuswar menuturkan perayaan Imlek terus berlangsung beberapa hari ke depan. Termasuk pada 6 Februari mendatang, mereka akan menggelar acara perjamuan makan dan malam kesenian. Semua warga, termasuk umat Muslim, Kristen, Hindu, dan lainnya, diundang.

“Karena acaranya bukan ritual, bukan sembahyang, tapi kesenian dan perjamuan makan,” katanya.

Menurut Yuswar, Imlek sebenarnya bukan hari raya agama tapi tradisi menyambut musim semi.

“Jadi itu sebenarnya adat dan budaya. Jadi kalau namanya orang Tionghoa itu, walaupun dia Kristen, Islam tapi orang Tionghoa biasanya mereka ikut merayakan,” kata Yuswar.

Malam itu, asap dupa terus membubung di dalam Vihara Dharma Bakti. Hingga dini hari, pukul 01.15 WIB, beberapa umat masih terlihat bersembahyang, meski tidak ramai. Di gerbang masuk, sejumlah pria Aceh berdiri menyaksikan peribadatan tersebut.

_________________________________________

Kontributor Aceh: Habil Razali


Terkait

Hujan Deras Jelang Imlek hingga Jakarta Terendam, Pj Gubernur: Semoga Barokah, Bukan Musibah
Rabu, 29 Januari 2025 | 21:28 WIB

Hujan Deras Jelang Imlek hingga Jakarta Terendam, Pj Gubernur: Semoga Barokah, Bukan Musibah

Ini menjelang Imlek loh, mudah-mudahan hujannya barokah. Jangan sampai menjadi hujan musibah, tapi saya tetap minta semuanya waspada,

Terbaru
Skandal PSG Juara Liga Champions: Kelakuan Nasser Al-Khelaifi hingga Potong Jari
polemik

Skandal PSG Juara Liga Champions: Kelakuan Nasser Al-Khelaifi hingga Potong Jari

Minggu, 01 Juni 2025 | 11:12 WIB

Di balik keberhasilan PSG juara Liga Champions musim ini, klub berjuluk Les Parisiens punya skandal memalukan.

Beda Gugatan Yoni Dores dan Ahmad Dhani, Kasus Via Vallen Bisa Jadi Pelajaran? nonfiksi

Beda Gugatan Yoni Dores dan Ahmad Dhani, Kasus Via Vallen Bisa Jadi Pelajaran?

Sabtu, 31 Mei 2025 | 11:43 WIB

Yoni Dores dan Ahmad Dhani sama-sama memperjuangkan hak cipta, tetapi kasus Lesti Kejora lebih mirip Via Vallen di masa lalu.

Prabowo Buka Pintu untuk Israel Jika Akui Kemerdekaan Palestina: Diplomasi Realistis? polemik

Prabowo Buka Pintu untuk Israel Jika Akui Kemerdekaan Palestina: Diplomasi Realistis?

Jum'at, 30 Mei 2025 | 18:55 WIB

Israel tak hanya harus mengakui kemerdekaan Palestina secara penuh, tetapi juga harus bertanggung jawab atas genosida yang selama ini dilakukan terhadap rakyat Palestina.

Reformasi Anggaran: Tantangan di Balik Putusan Sekolah Gratis polemik

Reformasi Anggaran: Tantangan di Balik Putusan Sekolah Gratis

Jum'at, 30 Mei 2025 | 16:20 WIB

Presiden adalah satu-satunya otoritas yang dapat melakukan reformasi menyeluruh dalam tata kelola anggaran pendidikan, kata Ubaid.

Bongkar Korupsi Dana Zakat di Baznas Jabar, Whistleblower Malah Dikriminalisasi polemik

Bongkar Korupsi Dana Zakat di Baznas Jabar, Whistleblower Malah Dikriminalisasi

Rabu, 28 Mei 2025 | 20:51 WIB

"Kriminalisasi terhadap pelapor dugaan korupsi di Baznas menunjukkan kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Wana.

Kebijakan Jam Malam Pelajar di Jabar: Solusi atau Sekadar Simbolik? polemik

Kebijakan Jam Malam Pelajar di Jabar: Solusi atau Sekadar Simbolik?

Rabu, 28 Mei 2025 | 18:23 WIB

"Kebijakan jam malam bagi pelajar perlu manajemen pengawasan yang baik. Tanpa itu, kebijakan tersebut hanya akan terdengar baik di atas kertas," ujar Rakhmat.

Hunian Vertikal: Mimpi atau Bumerang Bagi Warga Jakarta? polemik

Hunian Vertikal: Mimpi atau Bumerang Bagi Warga Jakarta?

Rabu, 28 Mei 2025 | 15:35 WIB

"Rumah susun itu adalah cara yang paling prinsip untuk merubah Jakarta menjadi lebih tertata terkait dengan penduduk dan pemukiman," kata Yayat.