Suara.com - Kasus pemerasan yang dilakukan anggota kepolisian terus berulang kali terjadi. Terbaru menyeret nama mantan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Bintoro. Perwira menengah Polri itu diduga melakukan pemerasan senilai Rp5 miliar kepada dua tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak berinisial AP (16) yang ditemukan tewas di hotel kawasan Jakarta Selatan pada April 2024 lalu.
Kasus dugaan pemerasan ini mencuat setelah Arif Nugroho alias Bastian dan Muhammad Bayu Hartanto selaku tersangka kasus kekerasan seksual terhadap AP melayangkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 7 Januari 2025. Berdasar Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, gugatan tersebut teregistrasi dengan Nomor Perkara: 30/Pdt.G/2025/PN JKT.SEL.
Selain Bintoro, terdapat dua anggota Polri lainnya yang tercatat sebagai tergugat. Mereka adalah AKP Mariana dan AKP Ahmad Zakaria. Bastian dan Bayu juga turut mengugat tiga orang lainnya; Evelin Dohar Hutagalung, Herry dan Dika Pratama yang diduga ikut terlibat di balik kasus pemerasan ini.
Dalam petitum atau tuntutannya, Bastian dan Bayu meminta para tergugat mengembalikan uang senilai Rp1,6 miliar. Mereka juga menuntut para tergugat mengembalikan mobil Lamborghini Aventador, Harley Davidson Sportster Iron, dan Motor BMW jenis HP4.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi mengklaim kasus ini telah ditindaklanjuti oleh Bidang Profesi dan Pengamanan atau Propam Polda Metro Jaya. Dia menyebut empat anggota dan mantan anggota Polres Metro Jakarta Selatan yang diduga terlibat pemerasan telah ditahan di tempat tahanan khusus. Keempat anggota polisi itu di antaranya Bintoro, Zakaria, ND, dan AKBP Gogo Galesung yang juga merupakan mantan Kasatreskrim Polres Metro Jakarta Selatan.
“Polda Metro Jaya berkomitmen menindak tegas segala bentuk pelanggaran anggota secara prosedural, proporsional dan profesional,” kata Ade Ary kepada wartawan, Selasa (28/1/2025).
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso menilai para anggota polisi yang diduga terlibat dalam kasus pemerasan tidak cukup sebatas diproses etik, tetapi juga harus diproses secara hukum pidana.
Selain menjerat para pelaku dengan tindak pidana pemerasan, Sugeng mendorong penyidik turut menerapkan pasal terkait tindak pidana pencucian uang atau TPPU. Sebab uang hasil pemerasan tersebut patut diduga turut mengalir ke beberapa pihak.
“Kalau pihak kepolisian mau menegakkan aturan sesuai perundangan maka tidak sulit untuk membongkar perbuatan AKBP Bintoro. Sebab, sudah menjadi pekerjaan sehari-hari bagi penyidik untuk melaksanakan pasal TPPU bagi masyarakat. Tinggal sekarang apakah kepolisian mau menerapkan terhadap anggotanya?” kata Sugeng kepada Suara.com.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Mohammad Choirul Anam sependapat dengan IPW. Apabila anggota Polres Metro Jakarta Selatan itu terbukti melakukan pemerasan, maka tidak ada alasan bagi Polri untuk tidak memproses secara pidana anggotanya tersebut.
Anam menyebut Kompolnas kekinian juga tengah melakukan pemantauan terhadap kasus yang sedang ditangani Polda Metro Jaya. Sekaligus juga mengamati perkembangan perkara perdata yang digugat oleh Bastian dan Bayu di Pengadilan Negeri Jakarta.
“Jika memang ada perbuatan tercela tersebut dan memang terbukti dan ada tindakan indikasi pidana ya harus dipidana. Kita tidak bisa menoleransi kejahatan dalam bentuk apa pun,” ujar Anam.
Budaya Setoran
Pemerasan yang diduga dilakukan Bintoro dan anggota Polres Metro Jakarta Selatan semakin memperpanjang angka kasus pemerasan yang dilakukan anggota Polri. Sebelum kasus itu, pada akhir Desember 2024 puluhan anggota dari Satuan Reserse Narkoba Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat dan Polsek Kemayoran juga dilaporkan terlibat kasus pemerasan terhadap warga Malaysia di acara Djakarta Warehouse Project (DWP).
Dari puluhan yang diperiksa, sejauh ini sudah ada tiga polisi yang dijatuhi sanksi pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH). Salah satunya adalah mantan Direktur Reserse Narkoba Polda Metro Jaya Kombes Donald P Simanjuntak.
Perilaku negatif polisi tersebut terbukti turut memengaruhi angka kepercayaan masyarakat terhadap Polri. Berdasar hasil survei nasional yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada 16-21 Januari 2025, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri hanya mencapai 69 persen atau berada di urutan ketiga terbawah setelah DPR dan partai politik.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto menilai praktik pemerasan yang terus terjadi ini tidak terlepas dari adanya budaya ‘setoran’ yang telah mengakar di Polri. Selain juga akibat lemahnya pengawasan internal.
“Budaya setoran itu masih melekat dan tak pernah terkikis karena yang di atas pun melakukan pembiaran bahkan menikmati setoran,” ungkap Bambang kepada Suara.com.
Praktik pemerasan, kata Bambang, tidak hanya terjadi di satuan narkoba, kriminal atau lalu lintas. Tapi juga ditengarai terjadi di lingkungan Sumber Daya Manusia atau Biro SDM Polri yang mengatur terkait promosi jabatan dan mutasi personel.
“Ada sindiran soal itu di internal, kalau Satlantas, Satreskrim dan lain-lain itu adalah ujung tombak (pencari uang), Biro SDM dan Propam itu pengepulnya,” tutur Bambang.
Di samping itu, Bambang menilai praktik pemerasan ini terus berulang kali terjadi juga dikarenakan tidak adanya ketegasan Polri dalam mengusut pidana anggotanya yang terlibat. Sebagai contohnya adalah kasus pemerasan anggota yang dilakukan terhadap warga Malaysia di acara DWP. Di mana sampai saat ini kasus tersebut baru sebatas ditindaklanjuti di tingkat pelanggaran etik dan disiplin.
“Sanksi etik dan disiplin hanya sekedar gimmick saja. Tidak akan membuat efek jera,” ujarnya.
Bantah Peras untuk Beli Jabatan
Bintoro telah membantah melakukan pemerasan terhadap Bastian dan Bayu. Lewat keterangan video yang diterima Suara.com, dia mengklaim sebagai pihak yang difitnah.
Dia mengklaim, para tersangka memfitnahnya melakukan pemerasan karena tidak terima atas proses hukum yang terjadi. Di mana kasus kedua tersangka tersebut telah ditindaklanjuti dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan setelah berkasnya dinyatakan lengkap atau P21.
Bintoro juga membantah isu yang menyebut dirinya melakukan pemerasan untuk modal 'beli' jabatan dan naik pangkat dari AKBP menjadi Brigadir Jenderal. Lulusan Akademi Kepolisian tahun 2004 itu mengklaim justru merasa sebagai polisi yang paling lambat mendapat promosi jabatan dibandingkan dengan teman seangkatannya.
“Tersangka AN (Arif Nugroho) tidak terima dan memviralkan berita berita bohong tentang saya melakukan pemerasan terhadap yang bersangkutan. Faktanya semua ini fitnah," ujar Bintoro.
Kapolres Metro Jakarta Selatan, Kombes Ade Rahmat Idnal membenarkan perkara Bastian dan Bayu memang telah dinyatakan lengkap dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sejak 16 Desember 2024. Namun, pelimpahan berkas perkara berikut tersangka dan barang bukti itu dilakukan setelah kasus ini ditangani oleh AKBP Gogo Galesung yang ketika itu menjabat sebagai Kasatreskrim menggantikan Bintoro.
Ade Rahmat mengklaim tidak mengetahui adanya dugaan pemerasan di balik penanganan kasus ini. Namun dia mengakui ketika perkara itu ditangani Bintoro memang terkesan penangannya sangat lambat. Bahkan dia mengklaim telah berulang kali meminta Bintoro untuk segera menuntaskan kasus tersebut.
“Setelah masuk kasat baru Gogo itu saya perintahkan agar segera dipercepat sampai P21 dan tahap dua. Itu langsung lancar,” katanya.
Mantan jenderal polisi bintang tiga menyindir pernyataan dari Polda Metro Jaya.
Sejauh ini, AKBP Bintoro dan tiga personel lainnya telah ditempatkan di tempat khusus Bidpropam Polda Metro Jaya
Shin Tae-yong dipecat PSSI dengan alasan dinamika kepemimpinan serta komunikasi.
Penasaran dengan biodata Ipda Purnomo? Simak informasinya di bawah ini!
Jika sepeda motor diizinkan melintas di jalan tol, ini berpotensi meningkatkan risiko kecelakaan karena ketidakstabilan kendaraan pada kecepatan tinggi," ujar Djoko.
"Jangan sampai penanganan kasus ini tidak tuntas sehingga menimbulkan pertanyaan publik. Mengingat kasus ini berpotensi melibatkan political exposed person," kata Lakso.
Munculnya pertanyaan masyarakat soal kok bisa laki-laki menjadi korban KDRT karena budaya patriarki yang masih kental.
Penangkapan Tannos harus dijadikan momentum bagi KPK untuk membuka kembali perkara mega korupsi e-KTP yang belum tuntas.
UN tidak boleh dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Ujian itu digunakan untuk mengukur kualitas proses pendidikan di suatu daerah.
Kebijakan penurunan harga tiket pesawat jika diteruskan ternyata memberikan efek buruk terhadap industri transportasi khususnya penerbangan.
Tidak semua game untuk anak-anak, kenali melalui rating usia yang disematkan.