Suara.com - Industri perfilman Indonesia kembali dihebohkan dengan sebuah fenomena yang, entah mengapa, terus berulang: remake.
Seolah-olah para sineas kita sedang bermain aman dalam zona nyaman, enggan mengambil risiko dengan menggarap ide-ide orisinal. Mungkin mereka takut gagal, atau mungkin mereka hanya... malas?
Entahlah. Yang jelas, Falcon Pictures dengan bangga mempersembahkan "A Business Proposal", sebuah film yang diadaptasi dari Drama Korea populer dengan judul yang sama.
Sebuah keputusan yang bukannya disambut dengan antusiasme, tetapi malah menuai badai kritik dari para pencinta film Tanah Air.
"Remake lagi? Miskin ide kah?" demikian salah satu komentar pedas yang berseliweran di media sosial.
Netizen Indonesia memang terkenal dengan ketajaman lidahnya. Mereka tak segan-segan melontarkan kritik tajam yang terkadang (atau seringkali?) dibumbui dengan sedikit sarkasme.
Remake: Jalan Pintas atau Jalan Buntu?
"Indonesia kapan ya stop bikin remake?" teriak netizen, seolah-olah remake adalah sebuah kutukan yang menghantui perfilman Indonesia.
Mereka lupa (atau pura-pura lupa?) bahwa negara-negara lain, termasuk Korea Selatan yang menjadi kiblat perfilman Asia, juga sering me-remake film atau drama dari negara lain.
Hanya saja, ya sudahlah. Mungkin memang sudah menjadi takdir perfilman Indonesia untuk terjebak dalam lingkaran setan remake. Sebuah lingkaran yang dipenuhi dengan harapan palsu, kekecewaan, dan tentu saja, komentar-komentar pedas dari netizen.
Memang, beberapa film Indonesia hasil remake berhasil menjadi ladang cuan. Contohnya "Miracle in Cell No. 7" yang tiba-tiba dibuat sekuelnya, padahal versi Korea-nya berhenti di film pertama.
Kisah Klasik yang Didaur Ulang
Drakor "Business Proposal" sendiri sebenarnya bukan karya asli, melainkan diadaptasi dari webtoon.
Kisahnya? Ah, klasik! Gadis miskin menyamar jadi orang kaya, bertemu CEO tampan, jatuh cinta, dan hidup bahagia selamanya. Sebuah plot yang sudah usang, tetapi entah bagaimana berhasil memikat hati jutaan penonton.
Mungkin, karena di dunia yang penuh dengan ketidakpastian ini, kita semua merindukan kisah cinta sederhana yang manis dan menghibur. Atau mungkin kita hanya terlalu malas untuk berpikir dan lebih memilih untuk menikmati cerita yang sudah familiar.
Alur cerita drakornya memang ringan, kocak, dan menghibur. Dipadukan dengan chemistry yang kuat antara para pemain serta kualitas produksi yang baik, boom.. hasilnya sukses domestik dan internasional.
Tantangannya, bagaimana merangkum 16 episode drama Korea yang penuh dengan intrik dan romansa ke dalam film berdurasi kurang dari 2 jam? Apakah kita akan disuguhi versi kilat yang terkesan terburu-buru dan dangkal?
Pertanyaan ini tentu saja menghantui para penggemar drama aslinya. Mereka khawatir film ini tidak akan mampu menangkap esensi dan kompleksitas cerita aslinya.
Apakah kekhawatiran mereka beralasan? Hanya waktu yang akan menjawab.
Kontroversi Pemilihan Pemain dan Riset Ala Kadarnya
Pemilihan pemain pun tak luput dari 'serangan' netizen. Jika memutuskan untuk mendaur ulang drakor, reaksi publik seperti ini tentu saja tak bisa dihindari.
Abidzar Al-Ghifari, yang didapuk memerankan CEO muda yang kharismatik, dianggap lebih cocok menjadi preman pasar daripada pemimpin perusahaan.
Tak menyalahkan netizen. Abidzar pastinya akan dibanding-bandingkan dengan Ahn Hyo Seop. Selain sama-sama tinggi, imej mereka memang sangat bertolak belakang.
Tak hanya Abidzar, Ardhito Pramono yang seharusnya menjadi representasi pria dewasa dan berwibawa, juga dikritik karena dianggap kurang 'hot' dibandingkan dengan pemeran aslinya, Kim Min Kyu.
Sepertinya, standar ketampanan di Indonesia memang setinggi langit, atau mungkin netizen Indonesia hanya terlalu terobsesi dengan oppa-oppa Korea. (Bercanda, jangan dimasukkan ke hati ya.)
Dan puncak komedi, yang mungkin saja tidak disengaja, terjadi ketika para pemain, selain Ariel Tatum, dengan polosnya mengaku tidak menonton drama aslinya secara keseluruhan.
Abidzar, sang pemeran utama, dengan percaya diri menyatakan bahwa dia punya cara sendiri dalam memerankan karakternya. Sebuah pernyataan yang tentu saja membuat para fans drakor melotot tak percaya.
Penonton drakor terbiasa dengan totalitas para pemain dalam mendalami peran mereka, mulai dari riset hingga mengubah penampilan. Wajar jika pernyataan Abidzar menciptakan keributan di media sosial.
Bakal Sukses atau Flop?
Dengan segala kontroversi dan keraguan yang mengelilinginya, akankah "A Business Proposal" versi Indonesia berhasil mencuri hati penonton? Atau justru akan menjadi sebuah bencana sinematik yang akan dikenang sepanjang masa?
Hanya waktu yang menjawab, mengingat film arahan sutradara Rako Prijanto ini baru akan tayang di bioskop mulai 6 Februari 2025.
Namun, satu hal yang pasti, film ini akan menjadi bahan perbincangan hangat di media sosial. Entah itu pujian, hujatan, atau meme-meme lucu, yang penting ramai.
Karena di era digital ini, tidak dapat dipungkiri jika kontroversi adalah kunci menuju kesuksesan (atau setidaknya, popularitas).
Jadi, siapkan popcorn untuk menyaksikan "A Business Proposal" versi Indonesia. Sebuah film yang mungkin akan membuatmu tertawa, menangis, atau mungkin hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil bertanya-tanya, "Kenapa, ya, industri perfilman kita begini amat?"
Kontributor : Chusnul Chotimah
Brad Pitt akan membintangi dan memproduseri film Heart of the Beast yang disutradarai David Ayer.
Film Sukma dibintangi oleh deretan aktor dan aktris ternama Indonesia seperti Luna Maya dan Oka Antara.
Film anime Kagami no Kojo yang menyoroti pentingnya mengatasi trauma masa lalu.
Untuk menikmati momen perayaanTahun Baru China,salah satu aktivitas yang bisa dilakukan adalah nonton film. Tak peru bingung, berikut rekomendasi film Imlek.
Tidak semua game untuk anak-anak, kenali melalui rating usia yang disematkan.
Kasus kriminalitas yang dilakukan ABG makin nekat, psikolog sarankan orang tua lakukan tindakan preventif ini.
Alex Pastoor yang menjabat sebagai asisten pelatih timnas Indonesia justru dianggap lebih kompeten ketimbang Patrick Kluivert.
Survei yang dilakukan pada 4-10 Januari 2025 ini mengungkapkan bahwa masyarakat kelas ekonomi bawah mencatat kepuasan tertinggi, yakni 84,7 persen.
Belum ada yang khas dari Gibran pada 100 hari pertama masa kerjanya.
Ini bukan solusi akhir untuk mengakhiri kekerasan dan konflik bersenjata di Papua.
Ia beralasan bahwa biaya kuliah setiap mahasiswa di perguruan tinggi negeri (PTN) belum sepenuhnya ditanggung negara.