Bukalapak Diguyur Dana Segar IPO Malah Tidur Pulas
Home > Detail

Bukalapak Diguyur Dana Segar IPO Malah Tidur Pulas

Tim Liputan Bisnis

Senin, 20 Januari 2025 | 15:10 WIB

Suara.com - Dulu, siapa yang tak kenal dengan euforia meledaknya Bukalapak? Startup lokal kebanggaan Indonesia ini pernah menyandang status 'unicorn' yang gemilang, sebuah pencapaian monumental yang mengguncang industri e-commerce Tanah Air.

Ingatkah kita semua saat IPO-nya yang meriah, di mana dana segar mengalir deras seperti air bah, menjadikan Bukalapak salah satu penghimpun dana IPO terbesar di Indonesia bahkan hingga detik ini, semangat optimisme membuncah, seakan tidak ada yang tak mungkin bagi perusahaan rintisan yang satu ini.

Namun, seiring berjalannya waktu, euforia tak bertahan lama, hanya kurang dari 3 tahun masa keemasan, Bukalapak perlahan memudar. Sinar yang pernah memancar terang kini redup, bahkan nyaris padam. 

Bukalapak, yang dulunya begitu dinamis dan penuh inovasi, kini seolah menjadi startup 'kopong'. Tak ada lagi gebrakan-gebrakan baru yang mampu membius pasar. Kehadirannya di tengah persaingan bisnis digital yang semakin sengit terasa semakin loyo.

Setelah meraup dana IPO fantastis pada 2022 sebesar Rp21,90 triliun, perusahaan e-commerce ini memutuskan untuk mengurangi fokus pada bisnis intinya dan beralih ke penjualan produk virtual seperti pulsa, token listrik hingga pembayaran BPJS.

Keputusan ini memicu pertanyaan besar: Apa yang sebenarnya terjadi dengan Bukalapak? Apakah mereka kehabisan inovasi di tengah persaingan bisnis online yang semakin ketat? Atau mungkin ada alasan lain di balik pergeseran strategi bisnis ini?

Sumber Suara.com di internal mereka mengatakan perusahaannya kalah bersaing di tengah persaingan industri lokapasar Tanah Air yang ketat. Selain itu, minimnya inovasi dari para petinggi makin mempersulit ruang gerak Bukalapak.

Tak heran, kata sumber itu, perusahaan masih memiliki dana hasil IPO yang cukup besar. Tak ayal keputusan ini memunculkan sejumlah pertanyaan mengenai strategi bisnis Bukalapak ke depan.

Sumber itu juga mengatakan pengguna aplikasi Bukalapak terus menurun setiap harinya, hal ini diikuti dengan jumlah transaksi harian yang ikut menurun.

Hal ini juga diakui oleh Corporate Secretary Bukalapak, Cut Fika Lutfi yang mengatakan lini bisnis produk fisik pada Aplikasi dan laman daring Bukalapak terus menunjukkan penurunan kontribusi pendapatan dan pertumbuhan selama tiga tahun terakhir.

"Biaya operasional untuk lini bisnis tersebut terus menunjukkan peningkatan yang signifikan," terang dia.

Cut Fika juga mengakui, layanan produk fisik pada aplikasi maupun situs Bukalapak hanya memiliki kontribusi sekitar 3 persen dari seluruh pendapatan perusahaan.

Maka dari itu, manajemen Bukalapak akan beralih fokus pada layanan produk virtual serta lini bisnis yang telah dikembangkan selama beberapa tahun terakhir.

Langkah ini adalah bagian dari strategi jangka panjang Perseroan untuk terus relevan dan kompetitif di industri agar dapat menciptakan nilai bagi para pemangku kepentingan Perseroan, terutama pemegang saham Perseroan.

Hukum Rimba E-commerce RI

Di lain sisi, tidak mampu bersaingnya Bukalapak dalam percaturan e-commerce dalam negeri dikatakan Direktur Ekonomi Digital, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda disebabkan persaingan yang ketat dalam menggaet pasar, terutama soal harga jual.

Berdasarkan analisis dia, ekosistem e-commerce di Indonesia saat ini telah mengalami konsolidasi yang signifikan, membentuk hierarki yang cukup jelas. Dua pemain utama, Shopee dan gabungan Tokopedia-TikTok, mendominasi pasar dengan pangsa yang sangat besar.

Keduanya telah berhasil membangun basis pengguna yang loyal dan ekosistem yang kuat, didukung oleh investasi besar dalam hal ini 'bakar uang' dan strategi pemasaran yang agresif.

Sebelum merger Tokopedia dengan TikTok, persaingan di antara keduanya sudah sangat ketat. Namun, dengan bergabungnya TikTok Shop, persaingan menjadi semakin sengit.

Keduanya saling berlomba untuk menawarkan fitur-fitur baru, promosi yang menarik, dan pengalaman belanja yang lebih baik bagi pengguna.

"Ketersediaan dana yang melimpah memungkinkan mereka untuk terus berinvestasi dalam pertumbuhan dan ekspansi bisnis," kata Nailul Huda kepada Suara.com.

Di bawah duo raksasa tersebut, terdapat sejumlah platform e-commerce yang berusaha keras untuk mempertahankan posisinya.

Blibli, Lazada, dan Bukalapak sebelumnya merupakan pemain-pemain penting di pasar ini. Namun, dengan semakin kuatnya Shopee dan Tokopedia-TikTok, persaingan menjadi semakin sulit.

"Penutupan Bukalapak semakin mempersempit persaingan di level ini, sehingga hanya menyisakan Blibli dan Lazada," katanya.

Huda menambahkan, Shopee dan Tokopedia-TikTok saat ini bersaing begitu ketat. Mereka terus berinovasi dan 'membakar uang' hal ini yang tak dilakukan Bukalapak dan e-commerce lain yang minim modal.

"Inovasi yang dilakukan keduanya adalah mengembangkan Live Shopping. Shopee memang sudah mengembangkan live shopping ini secara masif. Sedangkan Tokopedia sangat terbantu dengan ekosistem live streaming TikTok sebagai media sosial," katanya.

Bahkan saat ini Shopee telah masuk dalam ekosistem YouTube, yang memudahkan mereka memasarkan produknya melalui video ataupun live streaming. Mereka juga masih 'membakar uang' guna menarik konsumen lebih banyak.

"Tidak bisa dipungkiri, konsumen kita masih price oriented consumer. Harga menjadi daya tarik utama dalam berbelanja via digital," katanya.

Alhasil, persaingan harga yang semakin sengit di sektor ini telah menciptakan tantangan baru bagi para pelaku bisnis untuk mengamankan pendanaan.

Dalam industri yang didominasi oleh pemain besar dengan kantong dalam, akses terhadap modal menjadi penentu keberhasilan.

Sementara tahun 2025 menjadi periode yang krusial. Investor, yang selama ini menjadi tulang punggung pertumbuhan e-commerce, kini bersikap lebih hati-hati. Keputusan The Fed terkait suku bunga menjadi faktor penentu utama dalam lanskap investasi global.

"Kenaikan suku bunga yang berkelanjutan akan meningkatkan biaya pendanaan bagi perusahaan-perusahaan teknologi, termasuk e-commerce.

Kondisi ini semakin diperparah oleh ketidakpastian ekonomi global," katanya.

Investor cenderung lebih memilih aset-aset yang dianggap lebih aman, seperti obligasi pemerintah, daripada mengambil risiko di sektor yang volatilitasnya tinggi seperti e-commerce.

"Akibatnya, aliran dana ke startup e-commerce menjadi tersendat," kata Huda memungkasi.


Terkait

Setelah Lepas Bisnis E-Commerce Produk Fisik, Bukalapak Kini Digugat PKPU
Minggu, 19 Januari 2025 | 15:09 WIB

Setelah Lepas Bisnis E-Commerce Produk Fisik, Bukalapak Kini Digugat PKPU

Bukalapak ini tengah dihadapi gugatan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh PT Harmas Jalasveva.

OJK Minta Perusahaan Properti Cari Dana di Pasar Modal Biar Muluskan Program 3 Juta Rumah
Selasa, 14 Januari 2025 | 17:38 WIB

OJK Minta Perusahaan Properti Cari Dana di Pasar Modal Biar Muluskan Program 3 Juta Rumah

OJK meminta perusahaan-perusahaan untuk memanfaatkan dana dari pasar modal lewat Initial Public Offering (IPO) sebagai modal penyediaan 3 juta rumah.

Gelombang PHK Terpa Pekerja Bukalapak Usai Tutup Bisnis Marketplace
Selasa, 14 Januari 2025 | 12:40 WIB

Gelombang PHK Terpa Pekerja Bukalapak Usai Tutup Bisnis Marketplace

PHK yang dilakukan Bukalapak ini berdampak pada sejumlah karyawan di berbagai departemen, terutama yang terkait langsung dengan operasional marketplace.

Terbaru
Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa
nonfiksi

Review Caught Stealing, Jangan Pernah Jaga Kucing Tetangga Tanpa Asuransi Nyawa

Sabtu, 01 November 2025 | 08:05 WIB

Film Caught Stealing menghadirkan aksi brutal, humor gelap, dan nostalgia 90-an, tapi gagal memberi akhir yang memuaskan.

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan nonfiksi

Niat Bantu Teman, Malah Diteror Pinjol: Kisah Mahasiswa Jogja Jadi Korban Kepercayaan

Jum'at, 31 Oktober 2025 | 13:18 WIB

Ia hanya ingin membantu. Tapi data dirinya dipakai, dan hidupnya berubah. Sebuah pelajaran tentang batas dalam percaya pada orang lain.

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur nonfiksi

Review Film The Toxic Avenger, Superhero 'Menjijikkan' yang Anehnya Cukup Menghibur

Sabtu, 25 Oktober 2025 | 08:00 WIB

Film ini rilis perdana di festival pada 2023, sebelum akhirnya dirilis global dua tahun kemudian.

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan nonfiksi

Tentang Waktu yang Berjalan Pelan dan Aroma Kopi yang Menenangkan

Jum'at, 24 Oktober 2025 | 13:06 WIB

Di sebuah kafe kecil, waktu seolah berhenti di antara aroma kopi dan tawa hangat, tersimpan pelajaran sederhana. Bagaimana caranya benar-benar di Buaian Coffee & Service.

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu? nonfiksi

Review Film No Other Choice yang Dibayang-bayangi Kemenangan Parasite di Oscar, Lebih Lucu?

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 09:05 WIB

No Other Choice memiliki kesamaan cerita dengan Parasite, serta sama-sama dinominasikan untuk Oscar.

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan nonfiksi

Kuku Kecil Mimpi Besar: Cerita Vio, Mahasiswa yang Menyulap Hobi Jadi Harapan

Jum'at, 17 Oktober 2025 | 13:12 WIB

Di tengah padatnya kuliah, mahasiswa Jogja bernama Vio menyulap hobi nail art menjadi bisnis. Bagaimana ia mengukir kesuksesan dengan kuku, kreativitas, dan tekad baja?

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung nonfiksi

Review Film Rangga & Cinta: Bikin Nostalgia Masa Remaja, Tapi Agak Nanggung

Sabtu, 11 Oktober 2025 | 09:00 WIB

Rangga & Cinta tak bisa menghindar untuk dibandingkan dengan film pendahulunya, Ada Apa Dengan Cinta? alias AADC.

×
Zoomed